GERAKAN MASYARAKAT UNTUK PENDIDIKAN ANAK USIA DINI
Pendidikan pada saat anak masih usia dini (0 - 4 tahun) sejak lama sudah seharusnya menjadi pusat perhatian. Teladan dalam Islam telah mengisyaratkan hal itu, ketika umat manusia diperintahkan untuk menuntut ilmu sejak masa buaian hingga akhir hayat. Bahkan dinyatakan harus dimulai lebih awal lagi, yaitu sejak
seorang anak manusia masih di alam rahim ibunya.
Penelitian empirik bidang neurologi oleh Benyamin S. Bloom berhasil membuktikan bahwa pertumbuhan sel otak pada anak 0 – 4 tahun mencapai 50 % dari kapasitasnya. Pada usia 8 tahun, pertumbuhan itu mencapai 80%, dan akhirnya mencapai 100% saat berusia 18 tahun. Pada masa antara 0 – 8 tahun disebutkan sebagai masa emas (golden age). Pada masa tersebut, kecukupan gizi, keterjaminan kesehatan, dan peranan stimulasi psikososial atau rangsangan lingkungan pada anak akan mempengaruhi tingkat intelegensinya.
Rangsangan berupa sentuhan, percakapan, permainan, dan bentuk interaksi lain dengan lingkungannya dapat mengoptimalkan pertumbuhan otak anak. Bila rangsangan ini kurang baik, maka pertumbuhan otak anak akan lebih kecil 20 – 30% daripada ukuran normal. Hal ini akan mempengaruhi pula pada pembentukan sikap, kepribadian, dan kompetensi dasar anak yang membuatnya tidak berkembang secara optimal. Jika hal ini terjadi, maka pembentukan anak yang handal, sehat, cerdas, ceria, berakhlak mulia, dan siap memasuki babak baru pendidikan yang lebih tinggi akan sulit tercapai.
Kenyataan itu kemungkinan dapat saja terjadi. Terutama bila melihat kondisi perkembangan layanan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang ada hingga saat ini. Data yang dikeluarkan oleh Subdin Pendidikan Luar Sekolah, Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan, menunjukkan masih terdapat 1.179.926 (45,3% dari 2.603.017) anak usia 0 – 6 tahun di Sulawesi Selatan yang belum tersentuh layanan pendidikan. Kondisi ini terjadi salah satunya akibat ketidaktersediaan layanan PAUD yang mencukupi.
Akses masyarakat terhadap layanan PAUD hingga saat ini memang masih rendah. Pembentukan kelompok bermain atau layanan PAUD lainnya masih mengandalkan inisiatif dari masyarakat sendiri. Sehingga pertambahan lembaga layanan PAUD juga masih minim, belum sampai ke semua sentra permukiman penduduk. Akibatnya banyak anak pra sekolah yang tidak pernah mencicipi pendidikan awal sebelum memasuki sekolah dasar formal. Hal ini tentu dapat pula dikonotasikan betapa rendahnya dasar-dasar kepribadian, sikap, pengalaman, mental, dan pengetahuan mereka pada saat mulai belajar di SD.
Gerakan Masyarakat
Pada dasarnya, bila anak tanpa layanan PAUD memasuki SD pada usia enam tahun, paling tidak masih punya waktu dua tahun untuk mengoptimalkan perkembangan otak dengan baik. Namun kurun waktu itu agaknya tidak mencukupi untuk membekali mereka dengan berbagai stimulasi dasar. Apalagi mereka akhirnya harus menjadi terkungkung dengan aturan formalitas sekolah. Mereka berada dalam kondisi tertekan oleh berbagai tuntutan dan persaingan yang sengaja diciptakan, baik oleh sekolah maupun oleh orang tua. Secara perlahan mereka akan kehilangan masa bermain yang polos kekanak-kanakan. Anak mudah mengalami depresi, bahkan mungkin stres. Pada akhirnya hal ini dapat mempengaruhi kompetensi dasar mereka secara umum. Mereka mungkin akan mengalami berbagai kesulitan, yang dapat saja berpengaruh jelek pada optimalisasi potensi mereka dalam menempuh pendidikan dasar 9 tahun yang diwajibkan.
Oleh sebab itu, pemberdayaan masyarakat untuk dapat mengakses layanan PAUD harus dilakukan dengan segera. Akan tetapi, kesadaran masyarakat akan pentingnya PAUD perlu terlebih dahulu ditumbuhkan. Aspek inilah yang turut menjadi akar permasalahan. Sebab pengetahuan masyarakat akan pentingnya PAUD masih teramat sangat minim. Hal ini terjadi khususnya di pedesaan yang notabene adalah jumlah terbesar penduduk Indonesia. Kalaupun masyarakat tahu tentang PAUD, mungkin masih terbatas pada pendidikan bagi anak usia pra sekolah 4 – 6 tahun, yang sehari-hari dipahami sebagai anak usia Taman Kanak-Kanak. Sementara itu pula, secara umum diketahui bahwa biaya pendidikan di jenjang TK terkadang jauh lebih mahal daripada SD. Padahal, masih sangat banyak keluarga yang tingkat ekonominya masih pas-pasan. Akhirnya banyak orang tua dengan terpaksa tidak memasukkan anaknya ke TK sebelum masuk SD. Terlebih lagi karena secara umum masyarakat berpendapat bahwa TK bukanlah pendidikan formal dan wajib.
Maka langkah yang lebih awal dilakukan adalah sosialisasi secara meluas tentang program PAUD. Bukan hanya substansi dan urgensi PAUD yang harus dipahamkan dengan baik kepada masyarakat. Akan tetapi perlu pula disampaikan tentang bagaimana bentuk keterlibatan mereka dalam mendukung program tersebut. Masyarakat harus tahu keuntungan apa yang dapat diperoleh, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, baik bagi anak maupun bagi orangtua.
Bilamana pemahaman masyarakat terhadap program PAUD telah tinggi, maka akan sangat mudah untuk melibatkan mereka dalam sebuah gerakan massa. Terlebih karena dukungan dana dari pemerintah tidak tanggung-tanggung lagi. Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah Departemen Pendidikan Nasional telah menyediakan paket hibah Rp 25 juta sebayak 3.330 paket. Dana tersebut diperuntukkan bagi pendirian lembaga pendidikan anak usia dini tapi bukan taman kanak-kanak. Selain itu juga disediakan 3.220 paket hibah sebesar Rp 5 juta untuk bantuan operasional bagi lembaga pendidikan serupa yang mengalami kesulitan dan butuh bantuan dana.
Akan tetapi satu kekurangan dalam hal ini adalah karena informasi tentang program paket hibah itu tidak tersebar luas ke tengah masyarakat. Sehingga pelibatan masyarakat untuk mendukung gerakan PAUD tersebut menjadi tidak optimal.
Sementara itu, pendidikan anak usia dini sudah menjadi komitmen internasional yang disepakati Indonesia dalam rangka mewujudkan kesejahteraan anak. Kesepakatan internasional yang ikut disetujui Indonesia adalah Komitmen Jomtien, Thailand (1990) tentang kesejahteraan anak, Deklarasi Dakkar, Sinegal (2000) tentang perluasan dan perbaikan pendidikan anak usia dini, dan Komitmen New York (2002) untuk menciptakan dunia yang layak bagi anak lewat pendidikan berkualitas.
Oleh sebab itu, tuntutan untuk menggerakkan masyarakat dalam menyukseskan program PAUD sebenarnya semakin mendesak. Pemerintah, dalam hal ini Ditjen PLS Diknas, memang harus bergandeng tangan dengan masyarakat. Kerena kekuatan besar upaya ini ada di tangan mereka.
Pemberdayaan Potensi Umat
Upaya pemberdayaan masyarakat secara nyata dalam mendukung program PAUD pada dasarnya tidaklah sulit. PAUD adalah bentuk pelayanan pemerintah bagi pemenuhan kebutuhan dasar dan kesejahteraan rakyat. Dan bila ini telah dipahami dengan baik, maka masyarakat akan mudah untuk digerakkan. Terlebih lagi karena secara finansial, masyarakat tidak akan dirugikan atau diberi beban yang berat.
Ketika kesadaran akan manfaat program PAUD meningkat, maka masyarakat akan terlibat dengan kesadarannya sendiri. Bahkan boleh jadi berbagai fasilitas dan potensi yang dimiliki mungkin dapat dimanfaatkan dengan tanpa ada implikasi mencari keuntungan pribadi semata. Misalnya, pemanfaatan sarana desa seperti balai pertemuan, pos yandu, atau bahkan sarana ibadah yang telah ada di tengah masyarakat. Tidak ada salahnya jika sarana tersebut dioptimalkan pemanfaatannya demi kemaslahatan umat.
Sebagai contoh, pemanfaatan masjid atau sarana ibadah agama lain dan fasilitasnya (perpustakaan, ruang kelas TPA, pekarangan, dan lainnya), dapat dikombinasikan dengan pelayanan PAUD. Hal ini cukup beralasan karena tempat ibadah selalu didirikan pada sentra-sentra permukiman penduduk, baik di kota maupun di pelosok desa. Sehingga akses masyarakat terhadap pelayanan PAUD menjadi lebih dekat, mudah, dan murah. Apalagi bila jadwal pelayanan PAUD dapat bersifat fleksibel, maka penggunaan sarana tersebut memungkinkan untuk diatur dengan leluasa.
Sebagai gambaran, bila setiap masjid dan surau di Sulawesi Selatan yang jumlahnya mencapai 14.351 buah dapat melayani anak rata-rata 20 orang, maka jumlah anak yang akan terlayani adalah 287.020 orang. Jumlah itu cukup signifikan dalam upaya meningkatkan akses layanan kepada masyarakat.
Kelebihan lainnya adalah materi ataupun kurikulum PAUD yang diterapkan dapat disinergikan dengan materi pendidikan agama dan budi pekerti. Dengan demikian sejak dini seorang anak dapat dididik dengan asupan kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ), dan kecerdasan spiritual (SQ). Sehingga setiap anak dapat dibentuk menjadi individu yang berkarakter holistik dengan memiliki kecerdasan, emosi, dan keimanan yang sempurna. Diharapkan nantinya mereka dapat tumbuh menjadi generasi handal yang sehat, cerdas, tangguh, dan berakhlak mulia yang akan membuat negeri ini menjadi lebih gemah ripah loh jinawi. Semoga. (Diramu dari berbagai sumber).
Penulis: Mujahidin Agus, seorang guru.
Catatan: • Tulisan ini pernah dimuat di koran Palopo Pos dengan judul Gerakan Masyarakat untuk PAUD (Kamis/21 Juni 2007). • Tulisan ini menjadi pemenang Harapan 1 Lomba Jurnalistik tentang PAUD tingkat nasional yang terbuka untuk wartawan dan umum. Para pemenang diundang menghadiri perayaan Hari Anak Nasional bersama Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono di Jakarta.
Pendidikan pada saat anak masih usia dini (0 - 4 tahun) sejak lama sudah seharusnya menjadi pusat perhatian. Teladan dalam Islam telah mengisyaratkan hal itu, ketika umat manusia diperintahkan untuk menuntut ilmu sejak masa buaian hingga akhir hayat. Bahkan dinyatakan harus dimulai lebih awal lagi, yaitu sejak
seorang anak manusia masih di alam rahim ibunya.
Penelitian empirik bidang neurologi oleh Benyamin S. Bloom berhasil membuktikan bahwa pertumbuhan sel otak pada anak 0 – 4 tahun mencapai 50 % dari kapasitasnya. Pada usia 8 tahun, pertumbuhan itu mencapai 80%, dan akhirnya mencapai 100% saat berusia 18 tahun. Pada masa antara 0 – 8 tahun disebutkan sebagai masa emas (golden age). Pada masa tersebut, kecukupan gizi, keterjaminan kesehatan, dan peranan stimulasi psikososial atau rangsangan lingkungan pada anak akan mempengaruhi tingkat intelegensinya.
Rangsangan berupa sentuhan, percakapan, permainan, dan bentuk interaksi lain dengan lingkungannya dapat mengoptimalkan pertumbuhan otak anak. Bila rangsangan ini kurang baik, maka pertumbuhan otak anak akan lebih kecil 20 – 30% daripada ukuran normal. Hal ini akan mempengaruhi pula pada pembentukan sikap, kepribadian, dan kompetensi dasar anak yang membuatnya tidak berkembang secara optimal. Jika hal ini terjadi, maka pembentukan anak yang handal, sehat, cerdas, ceria, berakhlak mulia, dan siap memasuki babak baru pendidikan yang lebih tinggi akan sulit tercapai.
Kenyataan itu kemungkinan dapat saja terjadi. Terutama bila melihat kondisi perkembangan layanan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang ada hingga saat ini. Data yang dikeluarkan oleh Subdin Pendidikan Luar Sekolah, Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan, menunjukkan masih terdapat 1.179.926 (45,3% dari 2.603.017) anak usia 0 – 6 tahun di Sulawesi Selatan yang belum tersentuh layanan pendidikan. Kondisi ini terjadi salah satunya akibat ketidaktersediaan layanan PAUD yang mencukupi.
Akses masyarakat terhadap layanan PAUD hingga saat ini memang masih rendah. Pembentukan kelompok bermain atau layanan PAUD lainnya masih mengandalkan inisiatif dari masyarakat sendiri. Sehingga pertambahan lembaga layanan PAUD juga masih minim, belum sampai ke semua sentra permukiman penduduk. Akibatnya banyak anak pra sekolah yang tidak pernah mencicipi pendidikan awal sebelum memasuki sekolah dasar formal. Hal ini tentu dapat pula dikonotasikan betapa rendahnya dasar-dasar kepribadian, sikap, pengalaman, mental, dan pengetahuan mereka pada saat mulai belajar di SD.
Gerakan Masyarakat
Pada dasarnya, bila anak tanpa layanan PAUD memasuki SD pada usia enam tahun, paling tidak masih punya waktu dua tahun untuk mengoptimalkan perkembangan otak dengan baik. Namun kurun waktu itu agaknya tidak mencukupi untuk membekali mereka dengan berbagai stimulasi dasar. Apalagi mereka akhirnya harus menjadi terkungkung dengan aturan formalitas sekolah. Mereka berada dalam kondisi tertekan oleh berbagai tuntutan dan persaingan yang sengaja diciptakan, baik oleh sekolah maupun oleh orang tua. Secara perlahan mereka akan kehilangan masa bermain yang polos kekanak-kanakan. Anak mudah mengalami depresi, bahkan mungkin stres. Pada akhirnya hal ini dapat mempengaruhi kompetensi dasar mereka secara umum. Mereka mungkin akan mengalami berbagai kesulitan, yang dapat saja berpengaruh jelek pada optimalisasi potensi mereka dalam menempuh pendidikan dasar 9 tahun yang diwajibkan.
Oleh sebab itu, pemberdayaan masyarakat untuk dapat mengakses layanan PAUD harus dilakukan dengan segera. Akan tetapi, kesadaran masyarakat akan pentingnya PAUD perlu terlebih dahulu ditumbuhkan. Aspek inilah yang turut menjadi akar permasalahan. Sebab pengetahuan masyarakat akan pentingnya PAUD masih teramat sangat minim. Hal ini terjadi khususnya di pedesaan yang notabene adalah jumlah terbesar penduduk Indonesia. Kalaupun masyarakat tahu tentang PAUD, mungkin masih terbatas pada pendidikan bagi anak usia pra sekolah 4 – 6 tahun, yang sehari-hari dipahami sebagai anak usia Taman Kanak-Kanak. Sementara itu pula, secara umum diketahui bahwa biaya pendidikan di jenjang TK terkadang jauh lebih mahal daripada SD. Padahal, masih sangat banyak keluarga yang tingkat ekonominya masih pas-pasan. Akhirnya banyak orang tua dengan terpaksa tidak memasukkan anaknya ke TK sebelum masuk SD. Terlebih lagi karena secara umum masyarakat berpendapat bahwa TK bukanlah pendidikan formal dan wajib.
Maka langkah yang lebih awal dilakukan adalah sosialisasi secara meluas tentang program PAUD. Bukan hanya substansi dan urgensi PAUD yang harus dipahamkan dengan baik kepada masyarakat. Akan tetapi perlu pula disampaikan tentang bagaimana bentuk keterlibatan mereka dalam mendukung program tersebut. Masyarakat harus tahu keuntungan apa yang dapat diperoleh, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, baik bagi anak maupun bagi orangtua.
Bilamana pemahaman masyarakat terhadap program PAUD telah tinggi, maka akan sangat mudah untuk melibatkan mereka dalam sebuah gerakan massa. Terlebih karena dukungan dana dari pemerintah tidak tanggung-tanggung lagi. Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah Departemen Pendidikan Nasional telah menyediakan paket hibah Rp 25 juta sebayak 3.330 paket. Dana tersebut diperuntukkan bagi pendirian lembaga pendidikan anak usia dini tapi bukan taman kanak-kanak. Selain itu juga disediakan 3.220 paket hibah sebesar Rp 5 juta untuk bantuan operasional bagi lembaga pendidikan serupa yang mengalami kesulitan dan butuh bantuan dana.
Akan tetapi satu kekurangan dalam hal ini adalah karena informasi tentang program paket hibah itu tidak tersebar luas ke tengah masyarakat. Sehingga pelibatan masyarakat untuk mendukung gerakan PAUD tersebut menjadi tidak optimal.
Sementara itu, pendidikan anak usia dini sudah menjadi komitmen internasional yang disepakati Indonesia dalam rangka mewujudkan kesejahteraan anak. Kesepakatan internasional yang ikut disetujui Indonesia adalah Komitmen Jomtien, Thailand (1990) tentang kesejahteraan anak, Deklarasi Dakkar, Sinegal (2000) tentang perluasan dan perbaikan pendidikan anak usia dini, dan Komitmen New York (2002) untuk menciptakan dunia yang layak bagi anak lewat pendidikan berkualitas.
Oleh sebab itu, tuntutan untuk menggerakkan masyarakat dalam menyukseskan program PAUD sebenarnya semakin mendesak. Pemerintah, dalam hal ini Ditjen PLS Diknas, memang harus bergandeng tangan dengan masyarakat. Kerena kekuatan besar upaya ini ada di tangan mereka.
Pemberdayaan Potensi Umat
Upaya pemberdayaan masyarakat secara nyata dalam mendukung program PAUD pada dasarnya tidaklah sulit. PAUD adalah bentuk pelayanan pemerintah bagi pemenuhan kebutuhan dasar dan kesejahteraan rakyat. Dan bila ini telah dipahami dengan baik, maka masyarakat akan mudah untuk digerakkan. Terlebih lagi karena secara finansial, masyarakat tidak akan dirugikan atau diberi beban yang berat.
Ketika kesadaran akan manfaat program PAUD meningkat, maka masyarakat akan terlibat dengan kesadarannya sendiri. Bahkan boleh jadi berbagai fasilitas dan potensi yang dimiliki mungkin dapat dimanfaatkan dengan tanpa ada implikasi mencari keuntungan pribadi semata. Misalnya, pemanfaatan sarana desa seperti balai pertemuan, pos yandu, atau bahkan sarana ibadah yang telah ada di tengah masyarakat. Tidak ada salahnya jika sarana tersebut dioptimalkan pemanfaatannya demi kemaslahatan umat.
Sebagai contoh, pemanfaatan masjid atau sarana ibadah agama lain dan fasilitasnya (perpustakaan, ruang kelas TPA, pekarangan, dan lainnya), dapat dikombinasikan dengan pelayanan PAUD. Hal ini cukup beralasan karena tempat ibadah selalu didirikan pada sentra-sentra permukiman penduduk, baik di kota maupun di pelosok desa. Sehingga akses masyarakat terhadap pelayanan PAUD menjadi lebih dekat, mudah, dan murah. Apalagi bila jadwal pelayanan PAUD dapat bersifat fleksibel, maka penggunaan sarana tersebut memungkinkan untuk diatur dengan leluasa.
Sebagai gambaran, bila setiap masjid dan surau di Sulawesi Selatan yang jumlahnya mencapai 14.351 buah dapat melayani anak rata-rata 20 orang, maka jumlah anak yang akan terlayani adalah 287.020 orang. Jumlah itu cukup signifikan dalam upaya meningkatkan akses layanan kepada masyarakat.
Kelebihan lainnya adalah materi ataupun kurikulum PAUD yang diterapkan dapat disinergikan dengan materi pendidikan agama dan budi pekerti. Dengan demikian sejak dini seorang anak dapat dididik dengan asupan kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ), dan kecerdasan spiritual (SQ). Sehingga setiap anak dapat dibentuk menjadi individu yang berkarakter holistik dengan memiliki kecerdasan, emosi, dan keimanan yang sempurna. Diharapkan nantinya mereka dapat tumbuh menjadi generasi handal yang sehat, cerdas, tangguh, dan berakhlak mulia yang akan membuat negeri ini menjadi lebih gemah ripah loh jinawi. Semoga. (Diramu dari berbagai sumber).
Penulis: Mujahidin Agus, seorang guru.
Catatan: • Tulisan ini pernah dimuat di koran Palopo Pos dengan judul Gerakan Masyarakat untuk PAUD (Kamis/21 Juni 2007). • Tulisan ini menjadi pemenang Harapan 1 Lomba Jurnalistik tentang PAUD tingkat nasional yang terbuka untuk wartawan dan umum. Para pemenang diundang menghadiri perayaan Hari Anak Nasional bersama Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono di Jakarta.