Thursday, April 30, 2020

SELFIE EXPERT IN BEIJING



Semasa kecil salah satu impian terbesarku adalah terbang dengan menggunakan pesawat terbang. Tentu saja waktu itu aku tidak tahu bagaimana caranya untuk meraih impian itu. Hidup di kampung yang terpencil dengan masyarakat petani yang serba sederhana adalah kesaharian kami. Walaupun ayahku seorang guru matematika dan bahasa Inggris di satu-satunya SMP di Kec. Sabbangparu, Kab. Wajo namun itu belum cukup membuka cakrawala berpikirku tentang pesawat terbang. Betapa tidak, kapal terbang – begitulah kami menyebutnya – yang biasa kami lihat hanya sesekali melintas jauh di angkasa di atas kampung kami, Ugi. Saat itu, aku dan teman-teman sebayaku akan berteriak-teriak dan melonjak-lonjak gembira ketika kapal terbang itu terlihat meskipun hanya beberapa detik.
Oee….. kappala luttuuuu… nonnoki mae….,” suara teriakan kami dengan bahasa Bugis. Artinya, “Hai kapal terbang… turunlah kemari…”
Buangakki mae doweee….,” suara teriakan lain yang kami lantungkan tanpa pikir bahwa itu takkan berguna. Artinya, “Jatuhkan uang buat kamiiii….”
Saat kapal terbang itu menghilang di balik awan maka kami merasa kehilangan sebab tidak tahu kapan lagi kami akan mengalami kegembiraan serupa. Apalagi saat musim hujan, tentulah kami tidak bisa melihat kapal terbang sebab tertutup awan tebal. Kalau pun ada yang melintas, biasanya hanya dapat kami dengar suara gemuruhnya, itupun jika hujan tidak turun.
Hingga keluarga kami pindah bermukim ke Ujungpandang (sekarang Makassar) di akhir tahun 1970-an aku tak pernah membayangkan untuk bisa terbang. Padahal SD, SMP, dan SMA aku jalani di kota besar itu. Bahkan saat kuliah di IKIP Ujungpandang, mimpi itu belum terbayang sama sekali. Ternyata takdirku untuk terbang  mendekapku saat mendapat predikat sebagai Mahasiswa Berprestasi IKIP Ujungpandang tahun 1992. Saat itulah pertama kalinya aku terbang menggunakan pesawat. Aku berangkat ke Jakarta tanpa ditemani siapa pun, maksudku tentulah hanya bersama kru pesawat dan sesama penumpang saja. Meskipun bukan pesawat besar namun pesawat itu jenis jet milik maskapai Sempati Air.
Salah satu rangkaian acara yang kami ikuti adalah Peringatan Detik-Detik Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia ke-47 di Istana Negara. Sebelum memasuki pintu gerbang istana, kami antre untuk diperiksa. Salah satu obyek yang diperiksa dengan teliti adalah kamera. Setiap kamera harus dikutip kosong oleh petugas untuk memastikan bahwa benda itu tidak berbahaya. Tentu saja waktu itu kami menggunakan kamera roll film, kamera digital belum umum dipakai. Bahkan kamera roll film saja masih menjadi barang mewah. Aku belum sanggup memilikinya sehingga harus meminjam milik Suparno, teman kuliahku.
Saat tiba giliranku diperiksa, petugas hendak meraih kamera di tanganku tapi kucegah. Kupikir daripada satu kutipan terbuang percuma, mendingan aku memotret diriku sendiri. Jadilah aku melakukan “selfie” pertamaku tepat di usia 23 tahun tanggal 17 Agustus 1992. Menurutku itu merupakan salah satu momen terbaik dalam hidupku yang hingga sekarang foto hasil cetaknya masih tersimpan.
Nah, setelah masa itu, aku tidak ingat lagi kapan persisnya mulai hobi memotret diri sendiri. Meskipun masih menggunakan kamera roll film sering kali aku selfie apalagi sejak memiliki kamera sendiri. Aku sering selfie jika berada pada lokasi tertentu yang unik atau tempat yang pertama kali kudatangi. Aku pernah selfie dengan latar belakang siswaku di SMP Negeri 5 Takalar ketika kami belajar di luar kelas tahun 2003. Bahkan aku pernah selfie bersama Prof. Bambang Sudibyo saat beliau menjabat masih Menteri Pendidikan.
Hobiku berselfie makin menjadi-jadi sejak aku memiliki handphone berkamera 2 MP hadiah dari Pantech. Hadiah itu kuperoleh melalui seleksi karya tulis tingkat nasional tahun 2006. Meskipun hape itu belum memiliki kamera depan tapi aku sudah terbiasa menggunakan kamera belakang sebelumnya. Bahkan hingga saat ini aku alergi menggunakan kamera depan untuk berselfie, termasuk untuk merekam video. Menggunakan hape berkamera digital membuatku lebih leluasa berselfie. Sejak 2007 aku telah memotret maupun berselfie dengan sejumlah pejabat dan artis nasional, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudoyono kala itu.
Pada tahun 2015 aku pernah melakukan selfie dengan Presiden Joko Widodo menjadi latar belakangku sekitar dua meter jaraknya. Waktu itu usai acara puncak Peringatan Hari Guru Nasional, Pak Presiden mendatangi kerumunan guru yang antusias mau berjabat tangan. Aku pun ikut berjejal mendekat dan berhasil berjabat tangan dengan beliau. Malahan aku sempat menyampaikan kiriman salam dari rekan guru di Palopo dan beliau menimpali dengan ramah. Kemudian aku bermaksud berselfie dengan jarak dekat tetapi pengawal beliau melarang dengan tegas. Agaknya waktu itu Pak Jokowi belum hobi selfie deh. Akhirnya aku mundur menjauh beberapa langkah dan “mencuri” kesempatan berselfie dengan gerak cepat, tentu saja tidak menggunakan kamera depan ya!
Momen kedua, saat puncak Peringatan Hari Guru tahun 2018 di Stadion Pakansari Bogor. Sebenarnya aku bahkan duduk berdampingan dengan Presiden Joko Widodo di tribun utama dan sambil ngobrol. Akan tetapi karena momennya tidak cocok akhirnya aku tidak bisa berselfi dengan beliau saat itu. Lalu saat beliau berpidato di podium maka kesempatan itu kumanfaatkan lagi untuk berselfie dengan latar belakang Pak Jokowi meskipun Prof. Unifah, Ketua Umum PGRI, menjadi agak kesal dengan tingkahku itu. Hehehehe…. Maafkan daku ya, Bu. Efek guru “agak nakal” nih?
Seusai acara itu tentu saja aku sempatkan berjabat tangan dan berfoto dengan Pak Presiden, meskipun bukan selfie tapi dipotret oleh pengawal beliau. Di ruang bawah tribun utama, saat beliau hendak pulang para penerima Satyalancana Pendidikan berfoto bersama. Usai foto bareng, Pak Jokowi berselfie dengan kami tapi karena aku berada di belakang maka pastilah tidak termuat di hape beliau. Makanya aku dengan sigap berselfi dengan obyek Pak Jokowi berselfi juga. Hahahaha…
Maaf, nah kira-kira dengan bekal kisah nyata itu sudah pantaskah aku disebut seorang selfie expert? Silakan kawan menilai sendiri, aku cuma bisa mengklaim sepihak. Jika diakui ya… tidak masalah, kalaupun masih meragukan ya… juga tidak masalah sih. Tapi perlu diketahui bahwa aku tidak egois ya, aku tetap memotret objek menarik apapun walau tanpa ada aku di dalamnya. Jika hal itu belum cukup untuk meraih gelar selfie expert apalagi pakai kata in Beijing maka mari melanjutkan membaca kisahku.

Terbang ke Beijing pada tanggal 17 April 2017 merupakan salah satu kisah luar biasa yang kualami. Betapa tidak, meskipun aku sudah puluhan kali naik pesawat tapi itu merupakan pengalaman pertama kali terbang keluar negeri. Selain itu, sejak SD aku sudah mengenal tujuh keajaiban dunia, salah satunya adalah Tembok Raksasa China. Berkunjung ke negara itu, apalagi ke tembok raksasanya menjadi obsesiku sejak lama. Saat duduk di SMP dan SMA aku sangat antusias membaca majalah tentang negara itu dan berbagai kisah kekaisarannya. Malah aku sudah tahu kisah kaisar terakhirnya, Kaisar Puyi sebelum film The Last Emperior menjadi booming. Aku kagum dengan kemajuan teknologi dan budaya negara itu yang bahkan banyak menjadi teknologi dasar pertama di dunia, misalnya asal muasal bubuk mesiu, roket, dan kertas. Belakangan, saat kuliah, barulah kusadari pula betapa pentingnya negara itu bagi perdagangan dunia hingga kisah Jalur Sutera melegenda. Bahkan menurutku wajarlah negara itu disebutkan dalam hadits Nabi Muhammad SAW terkait dengan kewajiban mencari ilmu.
Terbang ke Beijing menjadi lebih fantastis bagiku sebab sebelumnya terjadi “arogansi” pejabat daerah Sulawesi Selatan yang hampir membuat kami gagal berangkat. Kami yang kumaksud adalah aku dan kawan sekampungku, Burhanuddin (Juara 1 OGN Ekonomi) dari Sengkang. Aku tidak tahu persis sebab musababnya, yang jelas saat SK para peserta Benchmarking ke Beijing sudah kami terima tiba-tiba keluar SK baru yang tidak memuat kedua nama kami. Akhirnya kami hanya bisa pasrah, berarti belum rezekinya. Akan tetapi rupanya Alloh Sub’hanahuu Wata’ala menakdirkan lain. Setelah mengalami pembatalan keberangkatan dan perseteruan tersebut bisa selesai maka terbitlah SK terbaru yang mencantumkan lagi kedua nama kami. Alhamdulillah. Salah satu impianku dapat terwujud.
Lalu apa kaitannya dengan selfie expert? Hahaha…. sabar ya….

Sejatinya, istilah selfie expert itu kupinjam dari salah satu tagline merek hape yang kebetulan kupakai. Kisah awalnya, saat mengikuti Pemilihan Guru Berprestasi Tingkat Nasional tahun 2016, aku meminjam hape anakku. Hape itulah yang kupakai mendokumentasikan semua kegiatanku, tentu saja termasuk berselfie ria, baik sendiri maupun berdua, bertiga, berempat, dan beramai-ramai. He eh, kalau lebih dari satu orang bukan selfie ya? Hehehe… terserahlah apa istilahnya, wefie atau groufie kali ya?
Sepulang dari acara tersebut, aku mendapatkan hadiah istimewa dari pacar alias istri tercinta, bukan mantan pacar ya – pasalnya kami masih pacaran lho hingga kini sebab begitu kenal sehari esoknya langsung nikah. Eits! Jangan bilang “wow” ya? Itu kisahku yang fantastis juga. Ups, koq membahas itu.
Nah, hadiah itu berupa hape Op*o F1 yang tagline-nya selfie expert. Sejak itu aku makin menjadi-jadi berselfie, berwefie, maupun bergroufie, sekali lagi dengan menggunakan kamera belakang ya. Bukan hanya berfoto, merekam video pun aku melakukannya sendiri. Tentu saja hasilnya berbeda dan jelas terlihat. Kelebihan saat mengambil foto dan merekam video dengan kamera belakang adalah kita akan tampil apa adanya dan tidak terbalik. Tulisan yang terekam tetap seperti seharusnya. Misalnya, jika memotret tulisan “AMBULANCE” menggunakan kamera depan maka tulisannya menjadi terbalik seperti pada mobil ambulance. Sedangkan jika menggunakan kamera belakang maka tulisan itu tidak terbalik, tetap “AMBULANCE”. Hehehe… aku yakin Anda pasti paham maksudku!
Berangkat ke Beijing merupakan hadiah istimewa buatku dari pemerintah. Pasalnya, itu kuperoleh melalui perjuangan panjang hingga meraih penghargaan sebagai Pemenang I Guru SMA Berprestasi Tingkat Nasional. Saat mengikuti pembekalan sebelum ke Beijing, aku sempat berfoto dengan fotoku yang terpajang dalam bingkai besar di dinding ruangan. Ini juga kuanggap menjadi selfie istimewaku lho. Ndak apa ‘kan?
Ketika waktu keberangkatan tiba, tentu saja kami sempatkan berfoto bersama di bandara. Aku tentu ikutan, tapi juga sambil selfie dengan mengambil obyek rombongan, hahaha… Saat kami telah berada di dalam pesawat – ingat bukan di atas ya – kami berfoto lagi dan aku berselfie juga. Setelah terbang hampir selama tujuh jam, kami pun mendarat dan menghirup udara non-tropis. Kami turun melalui garbarata menuju tempat pengambilan bagasi. Selfie pertama yang kulakukan saat itu adalah mengambil latar belakang garbarata yang di atasnya terpajang neonbox warna kuning dengan angka unik, 212. Hahaha… aku penggemar Wiro Sableng, meskipun tanpa embel-embel kata “berat”.
Selanjutnya, petualang selfie expert semakin meraja lela. Selama delapan hari di Beijing, tiga hari kami habiskan untuk mengikuti pelatihan dan kunjungan ke SMA dan SMK berstandar internasional. Kami juga mengunjungi beragam obyek wisata, di antaranya kompleks olimpiade Beijing, Tembok Raksasa China, Istana Musim Semi, Lapangan Tiananmen, dan Kota Terlarang. Kami sempat pula melakukan sholat jumat di masjid tertua dan terluas di Beijing, Masjid Niujie yang terletak di jalan lembu di pusat kota. Masjid tersebut dibangun tahun 996 pada zaman Dinasti Liao, bandingkan dengan Masjid Agung Banten yang tertua di Indonesia dibangun tahun 1552 dan Masjid Jami’ Palopo dibangun tahun 1604.
Selama berada di Beijing, aku berhasil mengambil foto lebih dari 1.200 buah. Sangat sedikit ‘kan??? Dari jumlah itu, sekitar 640 foto merupakan hasil selfie, wefie maupun groufi. Gayaku berselfie dengan cepat dan menggunakan kamera belakang sempat membuat heran beberapa teman seperjalanan. Bahkan ada yang sampai minta diajari segala, dan berhasil juga.
Jumlah foto tersebut dilengkapi dengan belasan video yang didominasi video selfie juga. Namun dari sekian foto itu ada beberapa yang menurutku lebih istimewa, bukan hanya karena lokasinya. Foto selfieku peringkat ketiga terbaik adalah saat memegang batu bongkahan bekas renovasi lantai Kota Terlarang. Aku berselfie bersama pekerja yang memberikan batu itu dan menjadi oleh-oleh istimewa yang kubawa pulang ke rumah. Peringkat kedua adalah saat aku selfie di Tembok Raksasa China dengan latar belakang salah satu menaranya di puncak gunung. Dan….. yang terbaik adalah…. saat aku selfie di Lapangan Tainanmen dengan mengacungkan jengkal kiriku seakan mengukur ketinggian Monumen Pahlawan Rakyat di kejauhan. Foto itu kuambil hanya satu kali jepret dengan menggunakan kamera belakang. Ujung jari manisku selurus ujung atas monumen sementara ibu jariku selurus dengan landasan monumen.
Demikian kisahku demi menjadi selfie expert meskipun mungkin di luar ekspektasi Anda. Tak apalah jika memang begitu meskipun aku tetap berharap semoga ada secuil yang dapat menjadi inspirasi, biar tulisanku ini ada manfaatnya walau hanya secuil pula. Hmmm….. Terima kasih telah rela membaca dengan sabar! Wassalam (29042020-tiga tahun terlambat dari yang harusnya).