Tuesday, June 26, 2018

Pelibatan Keluarga untuk Pembelajaran Bermutu



Pendidikan merupakan proses yang berlangsung sepanjang hayat. Proses tersebut diawali bahkan sebelum seseorang terlahir ke dunia. Semasa dalam kandungan, seorang bayi mulai “belajar” dan mendapatkan didikan melalui ibunya. Otak janin mulai memeroleh stimulasi dari apa yang didengarnya sejak dalam kandungan dan akan menjadi pembentuk awal kepribadian anak.  Dalam pandangan Islam, didikan tersebut terutama ia peroleh dari perilaku dan sifat kedua orang tuanya. Maka tak heran bila seseorang harus selektif dalam memilih jodoh, terutama memenuhi kriteria agamanya yang baik.
Berbagai suku di Indonesia memiliki aturan adat yang berkaitan dengan anjuran dan pantangan bagi ibu hamil. Aturan tersebut dapat berkaitan dengan makanan maupun perilaku, sikap, dan perbuatan calon ibu dan bapaknya. Secara logis, asupan makanan yang baik pastilah berpengaruh positif secara langsung kepada janin. Sementara perilaku, sikap, bahkan ucapan ibu dan ayah si bayi tidaklah berpengaruh seperti asupan makanan. Akan tetapi hal itu dimaksudkan untuk menciptakan suasana lingkungan yang baik, sebab tetap akan memengaruhi kondisi janin. Hal ini menjadi keyakinan masyarakat bahwa janin dalam kandungan dapat dipengaruhi oleh kondisi di luar rahim. Terlepas dari berupa mitos ataupun bukan, pada dasarnya aturan itu diberlakukan untuk memberikan pengaruh positif terhadap janin. Terciptanya kondisi calon bayi dan lingkungannya yang baik tentu saja menjadi harapan bagi setiap keluarga.
Banyak penelitian modern akhirnya membuktikan bahwa janin dalam kandungan sudah dapat berinteraksi dan dipengaruhi lingkungannya. Don Campbell (1997) menyimpulkan bahwa mendengarkan musik klasik berpengaruh positif bagi pengembangan mental bayi, walaupun mendapat banyak penentangan. Penelitian lain menyatakan bahwa janin dalam kandungan telah mampu mendengar sejak masa kehamilan 23 pekan. Eino Partanen (2013) melaporkan hasil penelitian mereka bahwa bayi dapat mengenal musik dan suara dari luar kandungan serta berefek mengembangkan dan meningkatkan daya tanggap otak dan tersimpan dalam ingatan hingga empat bulan setelah bayi lahir tanpa stimulasi tambahan.
Setelah seorang bayi lahir ke dunia, peran stimulasi dari orang tua dan keluarga lebih dibutuhkan. Bayi akan menerima ransangan dengan semua panca inderanya. Ia mulai belajar dari apa yang dilihat, didengar, dirasa, dibau, dan diraba. Kemampuan belajar tersebut akan berkembang pesat selama masa keemasan (golden age) bayi, yaitu hingga usia lima tahun. Pada masa tersebut, pembentukan watak, sifat, dan kepribadian bayi juga berkembang seiring pertumbuhan fisiknya. Seorang balita akan lebih mudah belajar tentang sesuatu dan juga mudah meniru dan merekamnya dalam ingatan. Oleh karena itu, penumbuhan karakter positif harus sedini mungkin dilakukan. Orang tua adalah model pembelajaran bagi anak-anaknya (Jatnika, 2018a). Dengan demikian karakter maupun sikap yang berkaitan dengan proses belajar juga harus ditanamkan lebih awal. Beberapa di antara sikap tersebut adalah rasa ingin tahu, minat baca, berpikir kritis, mandiri, disiplin, dan kebutuhan untuk berprestasi. Bila sikap-sikap tersebut tertanam dengan baik maka pada usia sekolah hingga dewasa pun sikap tersebut akan terbawa dan selalu diterapkannya.
Sehubungan dengan pembelajaran bermutu, maka hasil bentukan watak setiap siswa di rumah pada dasarnya akan memengaruhi proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru. Tentu saja proses pembelajaran akan berbeda bila siswa memiliki karakter positif dibandingkan jika tidak. Siswa dengan karakter mandiri, disiplin, memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, rajin membaca, dan terpacu untuk selalu berprestasi akan menghasilkan proses pembelajaran yang aktif dan partisipatif. Pembelajaran akan berlangsung dengan partisipasi tinggi dari siswa (student centered). Selain itu, guru akan mudah untuk menerapkan pendekatan saintifik seperti inquiry, problem based, project based, dan discovery learning. Mereka akan menghidupkan suasana belajar dengan berbagai pertanyaan yang mungkin saja tidak disangka-sangka akan muncul. Suasana kelas akan menjadi “gaduh” dengan berbagai argumentasi kritis yang dipaparkan oleh mereka dalam diskusi.
Selanjutnya, setiap siswa akan mengalami pembiasaan dalam menghargai pendapat orang lain, mudah bekerja sama dalam tim, bersikap toleran terhadap perbedaan, dan berpikiran terbuka. Para siswa akan terbiasa hidup dalam masyarakat ilmiah. Berikutnya, penciptaan suasana persaingan sehat juga akan berlangsung dengan mudah bila setiap siswa memiliki kebutuhan untuk berprestasi. Demikian pula penumbuhan semangat kebersamaan dan patriotisme kebangsaan, pun dapat ditumbuhkan melalui proses pembelajaran yang bermutu.
Pada akhirnya, tentu saja peran guru secara optimal akan menjadi keniscayaan untuk mendukung perwujudan suasana belajar yang bermutu. Guru akan selalu merasa tertantang untuk menghadirkan pembelajaran yang lebih baik dari hari ke hari. Ia tidak akan tinggal diam untuk memenuhi kebutuhan siswa yang istimewa tersebut sehingga guru akan terpacu untuk senantiasa meningkatkan kompetensi dan keprofesionalan mereka. Guru akan terpicu untuk menjadi teladan bagi siswanya termasuk dalam menghasilkan karya gemilang dan prestasi mengagumkan. Bila hal ini terjadi maka pembelajaran yang berlangsung akan lebih meningkat dan juga akan mencetak siswa yang bermutu, baik aspek penguasaan ilmu pengetahuan maupun aspek sikap dan kepribadian.
Akan tetapi upaya perwujudan pembelajaran bermutu tidak hanya sampai di situ. Tidak berhenti pada upaya setiap orang tua membentuk karakter positif anaknya dan dukungan guru profesional yang hebat. Lebih jauh lagi, orang tua dapat menjadi supervisor dan bahkan evaluator terhadap kinerja guru. Orang tua siswa tidak boleh berdiam diri terhadap pembelajaran yang diikuti anaknya di sekolah. Mereka dapat berkomunikasi terhadap guru dalam hal upaya peningkatan mutu pembelajaran. Orang tua memiliki tanggung jawab terhadap keberhasilan sekolah dalam menyajikan pembelajaran yang bermutu (Jatnika, 2018b). Misalnya, orang tua dapat menyampaikan koreksi bilamana terdapat kekeliruan penyampaian materi ajar yang diterima anaknya. Atau dapat pula memberikan saran dan perbaikan terhadap metode pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru.
Pada tingkatan peran yang lebih dalam, orang tua dan sekolah dapat membentuk kelompok atau forum komunikasi antara guru atau sekolah dan orang tua. Mereka dapat membahas upaya pelibatan keluarga dan masyarakat dalam meningkatkan mutu pembelajaran. Sebagai contoh, orang tua dapat bergotong royong dalam memenuhi kebutuhan sekolah akan alat pelajaran, alat praktikum, media pembelajaran berbasis teknologi informasi, pengadaan alat olahraga dan kesenian serta kebutuhan kegiatan ekstrakurikuler lainnya. Atau secara bersama-sama mereka dapat merancang kegiatan ilmiah ataupun kebudayaan, misalnya melaksanakan pekan sains atau pekan kesenian baik dalam bentuk kompetisi ataupun pameran dan pementasan. Tentu saja semua itu menjadi kebutuhan bukan hanya bagi sekolah tetapi terlebih bagi siswa dan juga orang tuanya. Apabila siswa dapat mengikuti pembelajaran yang bermutu karena ketersediaan fasilitas dan peluang berprestasi maka tentu saja mereka dapat menjadi generasi harapan orang tua, negara, dan bangsa di masa mendatang.
Secara luas, keseluruhan keluarga dan masyarakat dari banyak elemen seperti para pakar, peneliti, dosen, birokrasi, dan bahkan tentara, polisi, hakim, pemilik usaha kecil, pengusaha besar, pemilik bengkel, olahragawan, seniman, dan budayawan pun pada dasarnya dapat memberikan sumbangsih bagi pembelajaran bermutu di sekolah. Berbagai pihak tersebut dapat dihadirkan di sekolah untuk menjadi “guru praksis” bagi siswa sesuai dengan kebutuhan pembelajaran yang dirancang guru di kelas. Hal ini didasari oleh pemikiran bahwa guru memiliki keterbatasan terutama terkait dengan penerapan ilmu dalam kehidupan sehari-hari dan kebutuhan lapangan kerja. Tidak semua materi pelajaran yang diberikan kepada siswa mampu diajarkan oleh guru untuk kepentingan praktis. Oleh karena itu, pelibatan keluarga dan masyarakat luas tersebut akan sangat membantu untuk menyediakan pembelajaran nyata bagi siswa. Siswa dapat belajar dari pelaku profesional dan pelaku ekonomi serta penggiat seni ataupun lainnya secara langsung yang mungkin tidak tercakup dalam pelajaran teori di sekolah. Di samping itu, menghadirkan sosok yang sukses di bidangnya dapat dijadikan motivator yang efektif bagi siswa.
Mungkin aktivitas tersebut pada langkah awal tampaknya terlalu idealis dan berlebihan. Akan tetapi hal itu bukan sesuatu yang mustahil untuk dilakukan. Sebagai tahap awal perintisan, pelibatan masyarakat dari berbagai profesi dan jenis mata pencaharian tersebut dapat dimulai dari orang tua siswa sendiri. Setiap sekolah tentu saja memiliki data nama orang tua siswa yang lengkap dengan jenis pekerjaan, alamat dan bahkan nomor telepon. Sekolah dapat mendata semua orang tua siswa yang dapat dilibatkan dalam proyek pembelajaran praktis bagi siswa. Jadi, pihak yang menjadi narasumber atau “guru praksis” dalam kegiatan pembelajaran di kelas adalah orang tua siswa sendiri.
Tentu saja tidak semua materi ajar akan menjadi objek pembelajaran praktis tersebut. Harus ada perancangan materi dan waktu pembelajaran, misalnya dalam satu pekan disediakan satu kali pertemuan untuk setiap mata pelajaran. Materi ajar yang disajikan tersebut ditentukan oleh guru dengan mendapat kesepakatan dari “guru praksis” yang akan dihadirkan untuk menjadi narasumber. Selain itu, kisah pengalaman narasumber saat menuntut ilmu atau saat bekerja akan menjadi sumber belajar yang kaya dan menjadi nilai tambah bagi siswa untuk meningkatkan motivasi belajar mereka. Kebutuhan akan prestasi juga dapat lebih dibangkitkan melalui kisah nyata para narasumber.
Kegiatan pembelajaran praktis tersebut dapat menjadi program tahunan maupun setiap semester. Dapat pula dilengkapi dengan pembelajaran luar sekolah dengan mengunjungi tempat-tempat industri atau pabrik, sawah, kebun, lokasi kebakaran hutan, lokasi bekas tanah longsor atau gempa bumi, sanggar seni, pengadilan, pasar, laboratorium, dan lain-lain. Kombinasi program tersebut tentu akan memberikan pengetahuan dan pengalaman yang lebih beragam kepada siswa dan juga bagi guru serta orang tua siswa. Setiap pihak akan belajar dari apa yang dilakukannya, setidaknya pengalaman tersebut dapat menambah wawasan berpikir sehingga semuanya akan menjadi lebih dewasa dan bijak. Bila proyek pelibatan masyarakat tersebut dapat diterapkan oleh sekolah, maka jargon pembelajaran sepanjang hayat akan tercipta sebab belajar dilaksanakan sejak bayi hingga usia lanjut sekalipun. Sejatinya, siapapun jua pasti selalu mendapat pelajaran dari berbagai peristiwa yang dialami dan disaksikan hingga akhir hidupnya. Belajar adalah proses yang tiada henti. #sahabatkeluarga.

Referensi:
Jatnika, Y., 2018a. Orang tua adalah Model Pembelajaran bagi Anak-anaknya (online) https://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id/laman/index.php?r=tpost/xview& id=4832, diakses     25 Juni 2018.
Jatnika, Y., 2018b. Tiga R untuk Kemitraan Sekolah dengan Orang tua (online) https://sahabat-keluarga.kemdikbud.go.id/laman/index.php?r=tpost/xview& id=4830, diakses 25 Juni 2018.
Partanen, E., 2013. Prenatal Music Exosure Induces Long-Term Neural Effects (online). http://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0078946, diakses 1 April 2013.
Wikipedia, 2018. Mozart Effect (online) https://en.wikipedia.org/wiki/Mozart_effect, diakses 26 Juni 2018.