Friday, February 28, 2020

Alat Eksperimen Sains Sederhana: Elastisitas/Tekanan Udara/Termometer

Alat eksperimen ini telah dipresentasikan di hadapan juri dan peserta pemilihan Guru SMP Berprestasi Tk. Provinsi Sulawesi Selatan, Juli 2008. Alhamdulillah, saya diamanahi menjadi Juara 1. Akan tetapi pada saat pemilihan di tingkat nasional bulan Agustus 2008, saya tidak berhasil sama sekali. Apapun hasilnya, alhamdulillah untuk kedua kalinya saya berada di acara dan tempat yang sama (1992 dan 2008). Saya mengikuti Upacara Bendera HUT Kemerdekaan RI ke-63 di Istana Negara yang bertepatan dengan usia saya yang 39 tahun. 










Alhamdulillah, Agustus 2016 saya dianugrahi Pemenang I Gupres SMA meskipun upacaranya di Senayan tapi bukan di Istana Negara, saya berumur 47 tahun. Alhamdulillah.










Maaf, tadi itu sekadar mengenang nostalgia ya.

Cara Pembuatan Alat Eksperimen
1.         Alat dan Bahan
a.         Alat
1)        Pisau tajam atau pisau cutter dan solder listrik.
2)        Spidol permanen warna hitam.
3)        Penggaris 30 cm satu buah
b.        Bahan
1)  Botol plastik kecil yang bening, bekas air minum kemasan 2 buah, beserta penutupnya.
2)      Botol plastik besar bekas air minum kemasan 2 buah.
3)      Selang plastik diameter 6 mm sepanjang 60 cm.
4)      Lem serba guna yang cocok untuk plastik dan isolasi bening.

2.      Proses Pembuatan Alat Peraga I (lihat Gambar 1)
a.        Ambil satu buah botol plastik bekas (botol A). Buat satu lubang berdiameter 5 mm pada sisi botol berjarak 5 cm dari dasarnya.
b.   Ambil dua penutup botol. Buat lubang berdiameter 5 mm pada setiap penutup botol tersebut.
c.       Selang plastik dipotong dua, masing-masing sepanjang 30 cm.
d.    Ambil satu selang. Masukkan salah satu ujungnya sepanjang 1 cm ke lubang penutup botol dari arah luarnya. Beri lem di tepi lubangnya pada sisi luar dan sisi dalam penutup botol. Tunggu hingga kering, pastikan tidak terjadi kebocoran. Lakukan hal yang sama pada ujung selang lainnya dengan penutup botol kedua. Pemberian lem dapat diulangi setelah lem pertama kering.
e.   Ambil selang kedua. Masukkan salah satu ujungnya ke dalam lubang pada botol A sepanjang 1 cm.
f.      Beri lem di sekeliling selang yang melekat ke badan botol. Beri lem yang agak banyak untuk menghindari kebocoran, tunggu hingga kering. Bila perlu pemberian lem dilakukan lebih dari satu kali.
g.    Lengkungkan selang itu ke atas dan rapatkan ke botol lalu beri isolasi agar selang itu melekat ke botol. Posisikan agar ujung selang lebih tinggi daripada mulut botol.
h.    Beri tanda ukur berupa garis-garis datar pendek mulai dari jarak 10 cm dari bawah ke atas hingga mendekati leher botol. Beri tanda ukur serupa pada selang plastik di botol itu.
i.   Siapkan dua botol plastik bekas yang besar. Potong kedua botol itu masing-masing setinggi 21 cm dari dasarnya.
j.        Alat peraga telah siap.

Cara Penggunaan Alat Eksperimen

            Alat atau perlengkapan dan bahan yang dibutuhkan dalam menggunakan alat peraga ini adalah:
1.    Cangkir plastik satu buah.
2.    Air panas 0,5 liter (jangan yang baru saja mendidih karena akan membuat botol plastik berubah bentuk)
3.    Air es 0,5 liter dan air dingin 0,5 liter.
4.    Pewarna makanan (merah) 1 botol kecil.
            Cara menggunakan Alat Peraga adalah sebagai berikut:
-    Isilah  botol A dengan air dingin hingga setinggi 12 cm. Masukkan pewarna makanan ke dalamnya dan guncangkan dengan pelan botol itu untuk meratakan warnanya.
-    Tutup rapat botol itu dengan penutup berselang yang telah disiapkan. Tutup pula botol kedua (botol B) dengan penutup botol lainnya. Sehingga diperoleh dua buah botol yang penutupnya saling dihubungkan dengan selang plastik. Botol A berisi air warna merah sedangkan botol B dalam keadaan kosong.
-   Siapkan dua buah botol plastik besar yang telah dipotong. Isilah botol itu dengan air panas hingga setinggi 6 cm (wadah A). Isi pula botol besar lainnya (wadah B) dengan air es setinggi 6 cm.
-    Masukkan botol B (botol kosong) ke dalam wadah A (berisi air panas) tanpa menekannya. Amati apa yang terjadi dengan permukaan air di dalam selang. Lima detik kemudian, tekan botol itu hingga bagian dasarnya rapat ke wadah selama 5 – 10 detik. Amati gerakan dan tinggi permukaan air.
-    Kemudian keluarkan botol B dari wadah A, lalu masukkan ke dalam wadah B (berisi air es) tanpa menekannya. Amati gerakan permukaan air di dalam selang. Setelah 5 detik, tekan botol B hingga rapat ke dasar wadah. Amati gerakan permukaan airnya.
-    Setelah 5 – 10 detik, pindahkan lagi botol B ke wadah A, letakkan selama 1 – 2 detik lalu tekan hingga ke dasar selama 5 detik. Amati gerakan dan tinggi air di dalam selang.
-   Setelah itu pindahkan lagi botol B ke wadah B dengan proses dan lama yang relatif sama. Lakukan pemindahan beberapa kali.

Percobaan dapat pula dilakukan dengan memegang botol B dengan kedua telapak tangan tanpa menekannya, pada saat suhu masih normal. Bandingkan bila botol B tersebut disentuh dengan telapak tangan yang panas (kering) dan bila disentuh dengan telapak tangan yang dingin (telah direndam dalam air es).














Foto: Pelaksanaan Praktikum Geografi di SMP Negeri 3 Belopa, Kab. Luwu, Sulawesi Selatan (November 2006). Koleksi pribadi: Mujahidin Agus

Friday, February 7, 2020

PERTAMA KALI BELAJAR DI LUAR KELAS, 2004

Siswa SMP Negeri 5 Takalar berkunjung ke pusat industri gerabah di Patallassang, Takalar, 2004

Guru berkewajiban memberikan pembelajaran yang bermakna dan kontekstual kepada siswa. Hal ini tentu saja bertujuan agar siswa dapat memahami dan menghubungkan materi ajar dengan kehidupan nyata yang akan mereka hadapi. Ringkasnya, harus ada kebersesuaian antara teori di kelas atau sekolah dengan praktiknya di dalam masyarakat.
Termotivasi oleh maksud tersebut, saat masih mengajar di SMP Negeri 5 Takalar, sekitar tahun 2003, saya meminta izin kepada kepala sekolah untuk melaksanakan kunjungan industri dan studi wisata. Oleh karena pertimbangan biaya dan waktu maka diputuskan untuk melakukan kunjungan ke pusat industri gerabah di Takalar Lama (Patallassang).
Lokasi yang dikunjungi hanya berjarak sekitar 10 km dari sekolah. Walaupun dekat, rupanya masih banyak siswa saya yang belum pernah ke kota lama. Kami mengunjungi pusat industri rakyat yang menghasilkan beragam gerabah. Kami, ya termasuk saya, belajar tahap-tahap pembuatan mulai dari pemilihan tanah, penyaringan/penghalusan, pengolahan, dan pembuatan serta pembakaran gerabah. Gerabah yang dihasilkan beragam jenis, mulai dari ukuran besar seperti tempayan atau gumbang atau guci, pot bunga, bangku teras, dan beragam guci kecil untuk vas bunga dan asesories.
Namun sayang sekali, rekaman foto sangat sedikit yang saya buat. Maklumlah, waktu itu masih pakai rollfilm dan kamera pinjaman. Hhhhhhaaaa hahahaha….. biarlah, setidaknya siswa dan saya punya pengalaman belajar langsung di lokasi industri. Bahkan saya sempat membuat sebuah keramik kecil dengan menggunakan alat sederhana, meja berputar yang digerakkan dengan kaki. Sayangnya keramik tersebut tidak bisa saya bawa pulang karena masih basah. Saya hanya sempat menitipnya ke pemilik usaha agar dibakar hingga menjadi sebuah guci kecil. Sebagai tanda khusus, pada bagian dalam guci tersebut sengaja tidak saya ratakan seperti guci lainnya namun saya menyisakan tonjolan serupa potongan tiang. Entah di mana guci tesebut saat ini.
Setelah selesai kunjungan industri, kami menuju pantai untuk rekreasi. Saat itu, selain siswa, beberapa orang guru juga turut serta. Sementara saya membawa istri serta anak pertama dan kedua saya (Jey dan Ichaz) yang masih berumur sekitar 6 dan 2 tahun. Sebagai kenang-kenangan saya mengambil beberapa foto. Salah satu foto yang berkesan adalah “foto selfie” saya dengan latar siswa dan anak saya di pantai. Saya yakin saat itu masih belum ada istilah selfie dan masih sangat jarang orang melakukannya *).
Kami menikmati sejuknya air laut dengan debaran ombaknya yang cukup menggelora. Sementara itu guru lain dan istri saya duduk di bawah pohon, mereka tidak ikut mandi. Akan tetapi kegembiraan kami segera berakhir karena ada kejadian yang hampir sangat disesali. Anak kedua saya tersapu ombak dan hampir saja terbawa arus “rip current”. Syukur ibunya menyadari dan berteriak dari pantai sehingga saya tersadar dan menolong Ichaz dengan cepat. Setelah kejadian itu, kami memutuskan untuk segera meninggalkan pantai, kembali ke sekolah.
Selang berapa lama kemudian kami sampai di sekolah. Setelah semua siswa pulang ke rumah masing-masing, saya sekeluarga pulang ke Makassar dengan naik motor. Perjalanan sekitar 48 km kami tempuh lebih dari satu jam. Alhamdulillah kami tiba dengan selamat.  

Catatan:
*) Saya sudah melakukan selfie sejak lama dengan menggunakan kamera film. Bahkan tahun 1994, selfie pertama saya lakukan saat hendak memasuki halaman Istana Negara (17 Agustus 1994).

Selfie, 2004. Pakai kamera film!!! Hahahaha...... tentu saja dengan lensa belakang.





Saturday, February 1, 2020

Komputer Pertama, 2004

Foto komputer pertama di SMP Negeri 5 Takalar (Foto: koleksi pribadi Jidint)

SMP Negeri 5 Takalar terletak di Kec. Polongbangkeng Selatan Kab. Takalar. Sekolah ini berada di lereng bukit Bulukunyi, berhadapan dengan tempat rekreasi permadian yang telah lama tidak beroperasi. Di dekat puncak bukit terdapat Monumen Perjuangan LAPRIS. Saat itu, Desa Bulukunyi dapat dikategorikan sebagai desa tertinggal dan terpencil. Jarak tempat tinggal saya di pinggiran Selatan kota Makassar lumayan jauh, sekitar 48 km. Awalnya saya menggunakan kendaraan umum untuk berangkat ke sekolah sebab saya belum memiliki kendaraan sendiri. Mobil angkutan umum disebut “pete-pete” di Makassar dan sekitarnya. Setidaknya saya naik pete-pete tiga kali barulah bisa sampai di sekolah. Agar tidak terlambat saya harus meninggalkan rumah selambatnya pukul 06.15. Perjalanan biasanya saya tempuh selama satu sampai satu setengah jam. Itupun jika semuanya lancar, maksudnya saat pindah pete-pete untuk jalur selanjutnya tidak perlu lama menunggu karena penumpang sudah hampir penuh. Nah, kalau penumpang masih kurang maka saya tinggal pasrah saja sebab tidak mungkin pete-pete berangkat jika muatannya kurang. Hal inilah yang menjadi penyebab utama terkadang saya telat beberapa menit masuk kelas. Untunglah setahun kemudian saya membeli sebuah motor tua bekas, Hon*a C 90. Saat menggunakan sepeda motor tersebut saya lebih leluasa mengatur waktu berangkat ke sekolah. Perjalanan ke sekolah biasanya kutempuh 45 menit sebab ruas jalan yang rusak membuatku melambatkan laju motor.
Saat pertama kali bertugas di SMP Negeri 5 Takalar tahun 2001, ada rasa prihatin menyusup di sela kesyukuranku. Betapa tidak, saya datang melaporkan diri kepada Kepala Sekolah sekitar bulan September, puncak musim kemarau di sana. Di sepanjang jalan setelah lepas dari jalur poros provinsi yang terlihat hanya sawah dan kebun yang kering kerontang. Rerumputan tidak ada lagi yang berwarna hijau. Tersisa hanya semak belukar di beberapa tempat, itupun telah mulai meranggas. Hanya pepohonan tinggi dan deretan pohon kelapa yang menyisakan dedaunan berwarna hijau. Kondisi serupa juga terjadi di sekitar sekolahku. Untungnya di bagian atas bukit masih terdapat kebun jambu mete dan pisang yang lebih hijau. Beberapa pohon tinggi menjulang juga masih tersisa di sekitar bekas permandian. Kesan hutan yang rada lebat masih dapat menyejukkan mata. Rasa prihatin juga sering terbersit saat melewati rumah-rumah penduduk di tepi jalan. Kondisi rumah mereka umumnya kurang layak. Belakangan barulah kutahu bahwa banyak di antara mereka hanya petani penggarap. Sementara panen padi hanya sekali setahun ditambah dengan panen jagung atau kacang hijau juga hanya sekali.
Oleh karena hanya saya yang berlatar belakang sesuai, akhirnya saya ditugasi mengajarkan geografi untuk semua tingkatan kelas. Namun pun demikian, guru di sekolahku belum lengkap padahal sudah ada beberapa orang guru honorer. Menanggapi hal tersebut, saya menawarkan diri untuk menjadi guru keterampilan bagi kelas tiga. Saya mengajarkan siswa untuk merancang busana, menggambar pola, dan juga “menjahit”. Kebetulan menjahit menjadi salah satu hobi saya sejak duduk di SMP. Pada tahap perancangan busana saya tidak menemui kendala. Namun untuk penggambaran pola dan menjahit, barulah masalahnya terjadi, kami tidak memiliki mesin jahit dan tak sanggup membeli kain. Akhirnya, siswa kuminta untuk mencari koran bekas atau kertas kantong semen bekas. Pola rancangan kami digambar di kertas bekas tersebut. Selanjutnya pola itu langsung digunting diserupakan dengan kain. Kemudian guntingan pola tersebut kami lem sebagai pengganti jahitan mesin. Walhasil, jadilah busana kertas dengan beragam model. Sayangnya proses dan hasil kegiatan tersebut tidak sempat saya foto untuk dijadikan kenangan. Maklumlah, saat itu kamera digital dan hape berkamera belum semurah sekarang ini. Sementara kamera dengan roll film juga masih sangat mahal.
Suatu waktu, saya sempat berbincang-bincang dengan kepala sekolah, Bapak Jawani. Setelah panjang lebar berdiskusi dan saya berusaha meyakinkan beliau, maka karena dana terbatas diputuskanlah sekolah membeli komputer walaupun hanya bekas dan cuma satu unit. Jadilah saya ditugasi membeli komputer tersebut di Makassar. Saya pilih desktop “Comp*q” bekas dengan monitor CRT. Akhirnya sekolah kami memiliki komputer pertama. Komputer itu ditempatkan di ruang kecil yang sedianya untuk UKS.  
Sesuai hasil diskusi kami, saya mengajarkan pengenalan dan penggunaan komputer kepada kelas tiga saja. Hal ini dilakukan sebab mereka sudah hampir tamat, jadi diberikan prioritas. Sejak saat itu saya mengajarkan mereka menggunakan komputer. Rupanya tantangannya lumayan berat. Pertama, saya harus sangat sabar sebab semua siswaku belum pernah melihat apalagi menggunakan komputer. Jadi mereka sangat kaku bercampur takut untuk berbuat meskipun – tentu saja – telah saya berikan contoh. Kedua, siswa juga harus bersabar mengantri sebab setidaknya mereka berjumlah 25-30 orang dalam satu kelas. Oleh sebab itu, saya mengajarkan mereka secara antri pula, bergantian. Materi ajar yang kuberikan pun hanya sedit demi sedikit sehingga untuk satu kali pertemuan mereka semua mendapat giliran praktik langsung. Ketiga, saya juga harus menyediakan waktu untuk berbagi dengan beberapa guru sejawatku. Di samping itu, saya juga merangkap menjadi juru ketik untuk sejumlah laporan kegiatan sekolah. Pasalnya, belum ada satupun dari rekanku yang mampu menggunakan komputer.
Alhamdulillah, sebelum saya meninggalkan SMP Negeri 5 Takalar tahun 2006 karena dipindahtugaskan, sekolah itu telah memiliki tiga komputer bekas untuk pembelajaran siswa. Selain itu, kepala sekolah juga telah membeli unit komputer baru untuk digunakan di ruangannya. Satu unit komputer bekas ditempatkan di ruang wakil kepala sekolah. Dan yang berkesan, beberapa rekanku sudah mampu menggunakan komputer.


Selanjutnya saya bertugas di SMP Negeri 3 Belopa Kab. Luwu. Sekolah itu terletak di pinggir Selatan kota Belopa, hanya berjarak kurang dari dua kilometer dari kantor Bupati Luwu. Seperti halnya di Takalar saya pun mengusulkan kepada kepala sekolah, Pak Irhamuddin untuk mengajarkan komputer kepada siswa. Alhasil, awalnya kami diberikan sebuah laptop dan sebuah komputer desktop. Kami menggunakan ruang kelas yang masih kosong untuk dijadikan laboratorium komputer. Oleh karena jumlah komputer juga terbatas, maka siswa pun bergiliran menggunakan komputer. Selain mengajarkan penggunaan komputer, saya memanfaatkan fasilitas tersebut untuk mengajarkan geografi. Saya membuat animasi berbasis PowerPoint sehingga siswa dapat belajar mandiri untuk materi-materi tertentu. Sayangnya saya hanya satu tahun di sekolah ini karena dipindahtugaskan ke SMA Negeri 01 Unggulan Kamanre.





Foto-foto penggunaan komputer di SMP Negeri 3 Belopa, Kab. Luwu (Foto: koleksi pribadi Jidint, sudah menggunakan hape kamera Pantech dng 2MB, hadiah lomba menulis tk nasional 2006)