Friday, December 11, 2015

Narasi SIMPOSIUM GURU NASIONAL 2015 - Jidint

PELUANG 1 : 3.366
Berawal dari panggilan telepon Kabag Kepegawaian Dinas Pendidikan, Dra. Najasi yang terkesan sangat mendadak, aku mendapat sebuah tantangan besar untuk menjadi peserta Simposium Guru 2015. Naskahku yang sempat terbengkalai dengan semangat kuselesaikan sebab tenggat waktu tinggal dua pekan. Untunglah karya ilmiah itu sudah selesai separuhnya.
Tiga hari kemudian, naskah itu berhasil ku-upload ke dalam web panitia. Awalnya aku tidak terlalu berharap untuk lolos seleksi, 250 orang! Karena kuyakin pesertanya pastilah ribuan. Terbukti aku menjadi peserta ke-2.000 sekian-sekian. Tetapi yang membuatku lebih pasrah lagi adalah panitia mendasarkan penilaiannya 60% naskah dan 40% pilihan pengunjung web (penyuka tanda bintang). Huh! Aku kesal dan mendongkol dengan syarat 40% itu! Puluhan kali aku mengikuti lomba karya ilmiah tingkat nasional, baru kali ini sangat aneh syarat seleksinya.
Walhasil, aku tidak dapat menghindar, tentu saja! Akhirnya aku membuat selebaran untuk mencari dukungan, setidaknya dari siswa-siswiku, baik secara langsung maupun melalui pengurus OSIS dan sejawat guru. Terus terang, aku sangat malu. Maluuuu banget amat sekali! Soalnya, aku takut malah nantinya malu-maluin, kalau tidak lolos!
Untunglah, akhirnya aku berhasil meraih bintang sekitar 200-an. Tapi, aku masih apatis sebab banyak peserta yang sudah ribuan bintangnya, bahkan ada yang mencapai 4.000 lebih. Wow hebaaaaat! Syukurlah, jauh di lubuk hatiku yang paling dalam aku tetap menyimpan setitik harapan dan segunung do’a selalu terpanjatkan ke hadirat Ilahi Robbi.
Singkat cerita, ya disingkat, sebab ternyata waktu menunggu pengumuman yang hanya sepekan rasanya seakan berbulan-bulan lamanya. Ternyata pada hari yang dijanjikan, waktu bergulir terasa jauh lebih lama. Detik demi detik berganti seakan dalam gerakan lambat hingga seperti sejam rasanya. Aku menunggu, setiap saat membuka web dan akun facebook panitia. Namun hingga lewat pukul 23.59’.59” WITA pengumuman itu tidak ada. Aku belum tidur. Aku menunggu hingga satu jam lagi dengan harapan patokan waktu WIB yang dijadikan batas waktu. Ternyata panitia mengabarkan bahwa pengumuman ditunda hingga esok hari. Terus terang, hatiku semakin mendongkol dan juga mulai curiga. Apalagi komen para peserta di facebook mulai rada-rada aneh dan seakan mengajukan mosi tidak percaya. Namun aku masih tetap berharap dan mengomentari secara positif di facebook.
Singkat cerita lagi, waktu terasa makin melambat, lebih pelan daripada gerakan lambat. Akhirnya, pada ba’da isya keesokan harinya, aku membuka akun facebook panitia. Rupanya, pengumumannya belum juga dimuat! Huh! Rasa sebal makin membuncah. Akhirnya aku berbaring untuk tidur saja. Untunglah aku tidak pernah bermasalah dengan yang satu ini, tidur. Tentu saja aku tak ingat lagi pukul berapa aku berhasil tidur, pokoknya aku tertidur pulas tanpa rasa gelisah (teman yang tahu pastilah tidak heran dengan kelebihanku yang satu ini).
Ba’da subuh, esok harinya lagi. Aku membuka akun facebook yang baru dua hari terakhir sangat aktif kubuka. Aku hanya membaca komen dari akun Om Thamrin: “selamat bersimposium”. Alhamdulillah, aku berucap. Meskipun aku belum melihat pengumumannya tentu saja aku yakin bahwa aku lolos seleksi. Dengan semangat yang menyala, aku mencari pengumuman resminya. Sayangnya, passwordku di web panitia terlupakan. Maka kucarilah dari akun facebook panitia, dan berhasil. Kulihat namaku terdaftar di nomor urut 133. Sayangnya hanya dua orang dari Luwu Raya, berdua dengan Ibu Nur Amaliah, S.Pd. dari SMKN 1 Terpadu Bua Ponrang (selamat ya Bu).
Sekali lagi, singkat cerita. Alhamdulillah, 21 November 2015 aku sampai dengan selamat di sebuah hotel di bilangan Mampang Prapatan, Jakarta. Walaupun panitia terkesan belum siap, namun akhirnya aku berhasil mendapatkan kamar di lantai 3, berdua dengan Pak Rubiman, S.Pd.,M.Pd., seorang pengawas dari Lombok Timur, NTB. Itupun setelah berpromosi bahwa aku mencari pasangan lalu beliau menyambutku untuk menjadi teman sekamar. Siang hingga sore itu belum ada kegiatan resmi. Malam harinya, kami berkumpul di Ballroom untuk pembukaan dan pembagian kelompok presentasi karya. Aku bertemu dengan sejumlah guru senior yang pernah beberapa kali kami satu acara lomba ataupun pelatihan sebelumnya. Sejatinya, nyaliku mulai ciut juga. Tapi kuyakinkan diri bahwa aku juga bukan guru biasa, pede aja lagi, selangit! Aku berhasil menjadi satu di antara 250 orang dengan total jumlah peserta 3.366 orang, menurutku itu sudah luar biasa. Peluang 1 :  3.366 berhasil kuraih!
Keesokan harinya, tepat pukul 08.00 WIB, sesuai jadwal kami telah berada di kelompok masing-masing untuk tampil menyajikan karya. Namun rupanya beberapa waktu kemudian, masalah mulai muncul. Panitia menyatakan bahwa hanya 60 orang terbaik yang akan presentasi, sisanya hanya menjadi pendengar, termasuk aku! Padahal sebelumnya, melalui web dan pengumuman dinyatakan bahwa 250 orang tersebut adalah pemenang dan akan menyajikan karya serta mendapat hadiah. Makanya aku, termasuk sebagian besar peserta lain membawa alat peraga hasil inovasi masing-masing untuk ditampilkan. Awalnya, acara berjalan hingga siang hari dengan agenda mendengarkan 60 peserta saja. Hasilnya, pada sesi berikutnya banyak peserta tidak hadir sebab tidak menjadi penyaji. Aku dan Pak Rubiman tetap antusias, kami duduk di bagian depan. Menurutku, gagal menjadi penyaji akan lebih buruk bila tidak mendapat tambahan ilmu dan pengalaman dari peserta lain. Keanehan berikutnya yang kuketahui, ternyata beberapa peserta berhasil lolos seleksi walaupun tanda bintangnya sedikit dan bahkan nol! Yah, begitulah, rezeki tak bakalan tertukar, hiburku dalam hati. Sejak muncul komen di facebook memang aku pun membalasnya bahwa meskipun nol tanda bintangnya jika lolos pastilah karyanya terbilang luar biasa. Itu wajar kan?
Siang hari, pukul 13.48 WIB, tak disangka ternyata Pak Anies Baswedan, Mendikbud datang berkunjung. Saat masuk ke kelompok kami dan duduk di belakang, sejumlah peserta menghampiri beliau untuk berfoto. Pak Rubiman pun tak mau ketinggalan momen langka itu. Aku hanya sempat menengok ke belakang tapi tidak beranjak dari kursi. Sejatinya akupun ingin berfoto dengan menteri hebat itu, tapi aku lebih memilih mendengarkan presentasi Ibu Wahyu Ratnawati, guru SD Cemara Dua No. 13 Surakarta, Jawa Tengah.
Ternyata di balik layar terjadi kasat kusut setelah kedatangan Pak Anies. Banyak peserta yang menyampaikan keluhan dan protes tentang gagalnya sebagian besar peserta untuk presentasi padahal mereka telah bersiap (terima kasihku untuk itu). Akhirnya panitia menyampaikan bahwa semua peserta akan tampil dan kelompok dibagi menjadi lima. Malam harinya setelah aku tampil, tiba-tiba Pak Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan, Sumarna Surapranata, Ph.D. datang ke ruangan di kelompok kami. Awalnya sih aku tak mengenal beliau apalagi baru beberapa bulan menjabat. Setelah sekat-sekat ruang dibuka, peserta diminta untuk masuk dan sebagian besar berdiri di bagian belakang dan pinggir ruangan. Pak Dirjen menyampaikan bahwa semua guru yang datang di acara ini adalah pemenang. Setiap orang akan menerima hadiah berupa laptop dan dana pembinaan. Tentu saja kami semua kegirangan. Alhamdulillah. Hanya saja, menurut beliau sementara ini laptop baru tersedia 90 buah sehingga peserta dari luar Jawa yang didahulukan. Apabila peserta luar Jawa lebih dari 90 orang maka pembagian laptop tersebut dilakukan dengan undian. Laptop bagi peserta lain akan dikirimkan sekitar bulan Februari dan Maret langsung ke sekolah masing-masing.
Saat itu, aku yang tepat duduk di hadapan Pak Dirjen langsung ditunjuk beliau mendapat amanah untuk menjadi ketua dan penanggung jawab pembagian laptop tersebut. Sejatinya aku sangat terkejut dan tak menyangka sama sekali. Sempat pula Pak Dirjen memperlihatkan alat peraga sederhana ciptaanku sebagai sebuah karya kreatif. Aku diminta untuk mendaftarkan karya itu ke HAKI. Aku sempat besar kepala, manusiawi kan? Malam itu, hati kami terutama guru dari luar Jawa sangat berbunga-bunga. Peserta dari Jawa masih was-was dan berkali-kali memintaku untuk memperjelas janji Pak Dirjen. Bahkan mereka mendesakku untuk meminta hitam di atas putih atas janji tersebut. Aku memahami keraguan teman-teman tersebut, namun panitia berhasil meyakinkan mereka bahwa janji Pak Dirjen adalah janji pejabat yang tentu saja akan menjadi bumerang apabila tidak dipenuhi. Malam itu, kami mengikuti acara presentasi hingga pukul 01.00, bahkan ada kelompok yang puluhan menit lebih lama.
Keesokan harinya, setelah sholat subuh, seperti yang diminta oleh panitia, usai sarapan kami sudah berada di lobby hotel dengan pakaian batik untuk mengikuti acara di Istora Senayan. Kami meninggalkan hotel sekira pukul 06.15 WIB dengan lima buah bis besar. Setiba di Istora Senayan, kelompok kami, Simposium Guru (250 orang) menuju pintu masuk yang masih berpagar rapat. Saat itu aku bertemu lagi beberapa orang guru yang pernah bertemu di berbagai lomba sebelumnya. Mereka bukan dari kelompok kami tetapi dari berbagai acara lainnya seperti Lomba Inovasi Pembelajaran SMP, P4TK IPA, P4TK Bahasa, Guru Berprestasi, Lomba Kreativitas Guru, dan lain-lain deh. Akhirnya kami harus masuk lewat pintu utama yang ternyata mulai sesak. Nyaris setengah jam baru aku berhasil masuk ke bagian belakang deretan kursi utama.
Acara inti hari itu adalah pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan. Selanjutnya para guru dari berbagai unsur disajikan materi dokumenter, motivasi, dan hiburan berupa lagu dan tari. Pada bagian akhir acara, para guru dibagi berdasarkan kelompok dan masing-masing mengikuti penyajian materi terpilih di tempat terpisah. Kami dari kelompok Simposium Guru tetap berada di ruang utama untuk menyaksikan 10 penyaji terbaik. Sayang sekali aku tidak termasuk kategori dari kelompok ini. Selesai acara, kami berdesakan menuju panggung utama untuk mengambil gambar. Aku dihampiri teman, Amirullah, M.Pd. dari SMP Khusus Jeneponto. Diperlihatkannya padaku label bertulis Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Label itu bekas ditempelkan di kursi Pak Anies Baswedan. Terus terang aku merasa kecolongan, biasanya aku yang agresif mengumpulkan label seperti itu. Aku merasa kalah. Untuk pengobat hati, aku ambil label kursi Dirjen Dikdasmen. Menjelang ashar, aku pun meninggalkan Istora Senayan menuju bis.
Keesokan harinya, pukul 06.00 WIB lewat beberapa menit bis kami telah meninggalkan hotel menuju Istora Senayan. Hari itu kami tampil berbeda, baju putih dengan bawahan hitam. Banyak teman yang berpakaian sangat parlente, sangat rapi. Aku cuma menirukan gaya Pak Jusuf Kalla, kaki baju di luar dengan lengan baju digulung di tengah hasta. Santai. Kami berdesakan masuk melalui pintu berbeda dengan kemarin. Terpaksa kelompok kami harus mengalah dari guru berprestasi yang memang kompak dan tertib. Akhirnya aku dan beberapa teman berhasil masuk ke ruang utama Istora Senayan. Cukup lama kami berada di ruangan itu. Kami menyempatkan diri mengabadikan momen itu termasuk ber-selfie ria. Namun tiba-tiba, terdengar pengumuman bahwa semua guru yang sudah berada di dalam gedung harus keluar dan memberikan waktu bagi Paspampres melakukan sterilisasi untuk kedatangan presiden.
Aku tidak menunggu pengumuman itu diulangi. Aku langsung keluar dan menuju pintu masuk lalu mengambil posisi antri di bagian terdepan di dekat detector dan scanner Paspampres. Kami menunggu sekitar 40 menit sebelum akhirnya antrian masuk satu persatu melalui detector. Tentu saja aku yang masuk paling dahulu. Aku bergegas menuju ruang utama dan mencari posisi strategis di bagian tengah di belakang kursi kehormatan. Meskipun sudah banyak guru yang mendahuluiku, namun aku mendapat posisi yang cukup bagus atas pertolongan seorang ibu guru dari Palu (maaf namanya kulupa). Tak lama berselang, Pak Anies Baswedan serta sejumlah menteri dan undangan kehormatan lainnya mulai memasuki ruang utama. 
Selang beberapa puluh menit kemudian, Pak Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia memasuki ruang utama Istora Senayan dan sekaligus tempat Peringatan Hari Guru Nasional, 24 November 2015. Acara inti antara lain adalah pidato Mendikbud lalu pemberian penghargaan bagi pemateri terpilih dan pemenang berbagai lomba ilmiah guru (terus terang lagi, aku cemburu). Acara lainnya adalah pemberian tanda kehormatan bidang pendidikan bagi perwakilan guru dan pidato oleh Presiden Jokowi (aku semakin cemburu). Pada acara tersebut, panitia juga menghadirkan sejumlah guru Pak Jokowi saat mengenyam pendidikan di SMP dan SMA. Usai berpidato, Pak Jokowi menyalami satu persatu guru beliau sebelum berfoto bersama dan kembali ke tempat duduknya. Uniknya, kursi yang diduduki oleh presiden dan pejabat lainnya adalah kursi yang sama dengan kursi undangan khusus, bukannya sofa mewah. Perbedaannya dengan kursi kami (undangan biasa) hanya karena kursi mereka berbungkus kain putih seperti halnya di pesta pernikahan. Sementara kursi kami tanpa pembungkus.
Seusai acara, presiden menghampiri para undangan untuk berjabat tangan. Tentu saja terjadi kerumunan yang padat, semua hendak berebut. Awalnya aku tidak tertarik untuk ikut berjubel. Namun karena mengingat amanah dari sejumlah rekan guru dan siswa SMA Negeri 3 Palopo yang berpesan untuk menyampaikan salam mereka bagi presiden, akhirnya aku berdiri dan nekat juga, apalagi memang beliau menuju ke arah tempatku duduk. Awalnya aku hanya hendak ber-selfie dari jauh dengan Pak Jokowi namun dilarang oleh Paspampres. Akhirnya aku menunggu momen yang tepat dan berhasil berjabat tangan dengan Pak Jokowi. “Kiriman salam dari Palopo, Pak!” ujarku saat itu. “Oo… Palopo,” jawab Beliau. Entah apa maksudnya dengan jawaban itu. Ah, aku tak mau ambil pusing, yang penting amanah sudah kupenuhi buat sejawat guru dan siswaku. Beberapa detik kemudian aku menjauh memberi kesempatan bagi yang lain. Lalu aku nekat, aku ber-selfie dengan Pak Jokowi di belakangku. Wow…… berhasil!
Entah berapa lama, Pak Jokowi pun berhasil keluar dari kerumunan lalu menghilang ke pintu VVIP. Akhirnya aku dan banyak peserta lainnya menuju panggung untuk berfoto bersama dan ber-selfie ria. Lalu di antara kerumunan orang, kudekatilah kursi Presiden dan kursi Mendiknas yang tentu saja memang berdampingan. Tak lama kemudian, tak sengaja aku bertemu dengan Pak Amirullah, M.Pd. di depan panggung. Lalu secara diam-diam kuperlihatkanlah dua label istimewa berlogo garuda yang kulekatkan di bagian dalam tasku. Ha… aku puas telah membalas “dendamku” padanya! Aku tahu ia terdiam dengan senyum misterius. Kemenangan telak bagiku. Maaf Pak Amirullah, agak lebay nih!
Hari itu dan kemarin, aku sempat bertemu dan berfoto dengan keluarga besarku yang juga mengikuti acara lomba. Aku bertemu dengan Tante Lia, Tante Evie, dan Adik Aan. Sayang sekali aku tidak sempat bertemu dengan Om Kadir dan Om Sidin.
Singkat cerita lagi, kami tiba di hotel saat matahari telah condong ke barat. Sore itu aku dihubungi oleh panitia agar menyiapkan nama-nama penerima 90 buah laptop. Terus terang aku sudah siapkan namun ada beberapa penyesuaian yaitu aku mengutamakan rekan guru yang berasal dari provinsi atau pulau jauh. Namun ternyata aku melakukan kekeliruan sebab dari 24 orang guru dari Sulawesi Selatan, aku hanya menjatahkan 10 laptop dan itupun untuk guru yang jauh dari Makassar dan Gowa. Walhasil, pada malam penyerahan laptop tersebut, sejumlah teman guru dari Makassar, Gowa, Pangkep, Parepare, dan Soppeng mengajukan protes kepadaku. Puluhan kali aku meminta maaf atas kesalahan yang kulakukan. Aku terdesak dan tak menyangka akan jadi kacau begitu. Namun akhirnya diputuskan bahwa laptop yang menjadi bagianku diserahkan ke F (maaf sengaja disingkat), guru dari Soppeng yang memang ngotot. Malam itu, aku gelisah dan agak susah tidur.
Namun rupanya, benarlah bahwa rezeki tak pernah tertukar. Alloh telah menentukan dan tak ada yang dapat mengubahnya. Keesokan harinya, hari terakhir, aku mendapat telepon dari Pak Husni, guru dari Soppeng. Pak Husni menyampaikan bahwa F meminta maaf atas kejadian semalam dan bermaksud untuk menyerahkan kembali laptop itu kepadaku. Aku bertemu langsung dengan Pak Husni di lantai dua, dia menjelaskan dengan lengkap mengapa F akhirnya mau menerima kenyataan bahwa ia harus menunggu kiriman laptop bagiannya sendiri. Menjelang siang, aku menuju kamar Pak Husni di lantai lima dengan pertolongan petugas hotel. Memang setiap kartu kunci kamar hanya dapat dipakai di lantai sesuai posisi kamar setiap penghuni. Jadi penghuni tidak bisa bebas menuju kamar di lantai lain. Di kamar Pak Husni yang rupanya juga menjadi kamar F, aku mengambil laptop hadiahku setelah mengobrol beberapa saat.
Hari itu, aku menikmati makan siang terakhir lalu meninggalkan hotel menuju Bandara Soekarno-Hatta. Namun karena salah mengambil metromini, aku tersesat ke terminal Kampung Rambutan. Keadaan itu tak kusia-siakan, aku naik ojek menuju Gang Mandor Hasan di mana dua orang adik kandungku dan keluarga menetap. Aku berhasil menemui Adik Diah yang tentu saja sangat terkejut, namun gagal bertemu Adik Sirun yang masih di kantor. Aku bertemu dengan beberapa anak mereka. Menjelang pukul 15.00 WIB aku naik Gojek kembali ke terminal lalu naik Damri menuju bandara.
Aku senantiasa berucap syukur, alhamdulillah. Tak lupa kuucapkan terima kasih buat seluruh pendukungku (he eh, kayak pilkada saja). Juga beribu maaf dan berjuta terima kasih buat sejawat guru dari Sulawesi Selatan yang belum saatnya menerima laptop secara langsung atas kebesaran hati dan segala pengertiannya. Terima kasih but Pak Husni. Terima kasih banyak buat Pak Rubiman atas segala arahan dan saran serta pengalaman yang dibaginya. He-eh, terima kasih juga atas bajunya yang tertinggal, padahal sudah kuingatkan untuk periksa lemari pakaian saat masih di kamar hotel. Terima kasih buat semuanya, mari tetap semangat. (Jidint) 

Mujahidin Agus, S.Pd.,M.Si.,M.Pd.
Guru geografi SMAN 3 Palopo