Showing posts with label guru kreatif. Show all posts
Showing posts with label guru kreatif. Show all posts

Tuesday, August 11, 2020

Kasus Perbedaan Waktu - contoh saja

Kasus 1.
Apabila Anda melakukan perjalanan darat dari Kalimantan Timur menuju Kalimantan Tengah (melintasi perbatasan provinsi), apa yang Anda lakukan terhadap jam tangan untuk menyesuaikan waktu setempat? Mengapa demikian?

Kalimantan Timur masuk dalam Waktu Indonesia Tengah (WITA) sedangkan Kalimantan Tengah masuk dalam Waktu Indonesia Barat (WIB). WITA lebih cepat satu jam daripada WIB, maka ketika berjalan dari Kaltim ke Kalteng dan melintasi batas provinsi maka Anda harus mengubah jam tangan Anda lebih lambat (mundur) satu jam untuk menyesuaikan waktu setempat (WIB). Hal ini terjadi karena salah satu batas pembagian waktu di Indonesia mengikuti batas provinsi antara Kaltim dan Kalteng. Hal serupa terjadi jika Anda berjalan dari Kalimantan Selatan menuju Kalimantan Tengah.
Jika melakukan perjalanan dengan arah sebaliknya, dari Kalteng menuju Kaltim dan dari Kalteng menuju Kalsel maka Anda harus mengubah jam tangan satu jam lebih cepat untuk menyesuaikan waktu setempat (WITA)

Jenis perjalanan baik darat maupun laut dan udara, tidak menjadi masalah karena tidak memberikan pengaruh apapun terhadap penyesuaian waktu. Perubahan atau penyesuaian waktu tetap harus dilakukan meskipun Anda hanya berjalan kaki melintasi batas provinsi antara Kalimantan Tengah dengan Kalimantan Timur serta antara Kalimantan Tengah dengan Kalimantan Selatan.

Batas waktu di Indonesia yang mengikuti batas provinsi di darat hanya ada di pulau Kalimantan. Batas waktu lainnya tetap mengikuti batas provinsi tetapi bukan di darat melainkan batas di laut, misalnya batas WIB dan WITA terletak di selat Bali (antara pulau Jawa dan pulau Bali).




Kasus 2.
Jika Anda melakukan perjalanan dari Tokyo menuju Hawaii (melintasi Batas Tanggal Internasional) apa yang harus Anda lakukan untuk menyesuaikan waktu dan hari/tanggal setempat? Mengapa demikian?

Perjalanan dari Tokyo – Jepang yang terletak di belahan bumi Timur menuju ke Hawaii yang terletak di belahan bumi Barat akan melintasi Batas Tanggal Internasional.
Jika melintasi Batas tanggal Internasional dari arah Barat ke Timur (dari belahan bumi timur ke belahan bumi barat) atau dengan kata lain melintasi 180o Bujur, maka Anda harus mengubah waktu menjadi lebih lambat satu hari dibandingkan waktu/hari tempat asal Anda di belahan bumi Timur (Tokyo).

Hal ini terjadi sebab ketika Anda melintasi bujur 180o maka wilayah belahan bumi barat saat itu masih berada pada waktu/hari/tanggal yang lebih lambat daripada waktu di kota Tokyo. Sementara ketika Anda melintasi bujur 180o tersebut berarti Anda telah mendahului satu hari lebih cepat daripada waktu belahan bumi barat (Hawaii). Maka Anda harus mengundurkan waktu satu hari lebih lambat daripada waktu Tokyo untuk menyesuaikan waktu di Hawaii.


Kasus 3.
Apabila Anda melakukan perjalanan dari Padang menuju Kuala Lumpur – Malaysia (melintasi perbatasan negara), apa yang Anda lakukan terhadap jam tangan Anda untuk menyesuaikan waktu setempat? Mengapa demikian?

Secara astronomis posisi Kuala Lumpur terletak di sekitar 105o BT yang sama dengan GMT +7 jam. Akan tetapi patokan waktu Malaysia ditetapkan pemerintah yaitu GMT +8 jam yang sama dengan Waktu Indonesia Tengah (WITA). Dengan demikian jika terbang dari Padang menuju Kuala Lumpur itu sama halnya dengan Anda terbang dari WIB (Padang) menuju WITA yang sama waktunya dengan Kuala Lumpur.
Berarti Anda harus memajukan jam tangan Anda satu jam lebih cepat untuk menyesuaikan waktu di Kuala Lumpur (GMT +8 jam).


Kasus 4.
Jika Anda melakukan perjalanan dari Meksiko menuju Jaya Pura (melintasi Batas Tanggal Internasional) apa yang harus Anda lakukan untuk menyesuaikan waktu dan hari/tanggal setempat? Mengapa demikian?

Meksiko terletak di belahan bumi Barat yang waktunya lebih lambat daripada belahan bumi Timur, sementara Jaya Pura terletak di belahan bumi Timur. Oleh sebab itu, ketika Anda terbang dari Meksiko ke arah Barat menuju Jaya Pura dan melintasi bujur 180o maka berarti Anda “mempercepat” waktu/hari/tanggal satu hari lebih cepat. Maka ketika melintasi bujur 180sebagai Batas Tanggal Internasional maka Anda harus memajukan waktu di jam tangan Anda satu hari lebih cepat ketika sampai di Jaya Pura untuk menyesuaikan waktu setempat.


Demikian penjelasan ini. Mohon disampaikan jika ada koreksi dan penyempurnaan. Terima kasih. 
Semoga bermanfaat.





Foto hanya ilustrasi (Jidint's)





Saturday, August 8, 2020

AKU INGIN TERBANG! - CerpenKOE - Juara 7 Nasional



Aku bersandar ke dinding dekat jendela. Pandanganku melayang jauh ke atas awan. Arak berarak putih laksana kapas, gumpalan awan itu melingkupi bumi biru. Aku takjub. Tak pernah aku melihat pemandangan serupa ini. Di ujung, nun jauh di sana menggelantung awan kumulonimbus serupa gadah raksasa menjulang jauh di atas kami. Semburat warna kuning berpadu jingga sangat indah menghiasi satu sisi. Awan putih keabu-abuan diselingi warna gelap di sisi lain menampilkan paduan yang semakin indah.
Sebenarnya, jam tidur seperti ini mataku sangat lelah dan mengantuk. Namun kali ini beda, sangat berbeda! Kupaksakan mataku untuk tidak terlelap. Aku ingin menikmati awan menghampar di sana. Keindahan dan keteduhannya kuresapkan ke dalam hatiku. Deru mesin mendengung di telingaku takkan mampu mengusik rasa yang sedang kunikmati. Aku masih terus menatap hamparan awan. Perlahan hamparan itu berubah menjadi lebih tebal. Tebal, gelap….dan akhirnya ….
Aku telah berada di masa kecilku.
“Oooeeee…. Bacooo…. Ada kapal terbaaaaang!” suara teriakan memanggilku terdengar dari tepi jalan. Aku terhenyak dari lamunan. Sudah kubayangkan pasti bukan cuma Udin yang berteriak-teriak kegirangan. Aku bergegas menyambar baju kaos di sandaran kursi lalu berlari menuju pintu depan. Suara lantai kayu rumah panggung kami berdentum beriringan, gemuruhnya seperti suara ledakan senapan. Kukenakan baju sambil berlari. Lalu kedua kaki mungilku lincah menjejaki anak tangga satu demi satu dengan sangat cepat. Jauh lebih lincah daripada jemari pemain piono. Nadanya beralun kurang dari dua detik pada 13 anak tangga. Tapi….. eh, hanya 12 sebab anak tangga paling bawah tidak kujejak lagi, kulangkahi lalu langsung melompat ke tanah. Aku berlari secepat kilat menuju jalanan. Aku tak mau ketinggalan meskipun sedetik saja. Hal itu sangat beralasan, kami jarang melihat kapal terbang melintas di atas kampung kami, desa Ugi. Jikalau pun ada yang melintas, pastilah nun jauh tinggi di angkasa. Itu pun hanya beberapa detik lalu ia akan menghilang di balik awan.
“Oeeeee… kapal terbaaannnggg…. Turunlah kemari…,” teriakku sekeras mungkin padahal aku belum melihat kapal terbangnya. Begitulah kami menyebutnya, bukan pesawat udara. Sambil berlari kepalaku mendongak ke arah langit. Mataku mencari-cari kapal terbang. Aku tak pedulikan kedua kakiku menjadi kotor oleh lumpur. Hujan semalam telah membecekkan tanah dan jalanan di kampung kami. Jalanan di kampung kami memang tak ada yang berupa aspal. Semuanya masih jalan tanah dengan batu kali kecil untuk mengeraskannya. Di sana sini terdapat kubangan air yang telah bertransformasi menjadi lumpur liat berwarna coklat. 
Saat tiba di kerumunan teman-temanku, arah pandanganku mengikuti telunjuk mereka. Oleh karena terburu-buru, hampir saja aku terpeleset. Aku menabrak Udin. Untungnya dengan badan yang lebih kekar, ia sigap menangkapku sehingga aku tidak jadi terjerembab ke tanah. Seakan tidak peduli lagi, kami berteriak kegirangan, sahut bersahut.
“Kapaaalll…. Jatuhi kami uaaannggg…,” teriak Saleh tak mau kalah nyaring. Malahan ia berteriak sambil berlonjak-lonjak. Maklumlah, ia paling kecil di antara kami, berarti paling jarang melihat kapal terbang.
“Iyaaa…. Jatuhi kami uaaannnnggg…,” suara lantang kami secara bersama mengulang teriakan Saleh.
Beberapa saat, sekira lima detik kemudian, kegirangan kami terhenti. Ada sedikit kekecewaan terbersit. Akan tetapi raut wajah kami tetap berseri. Mataku berbinar saking riangnya telah melihat kapal terbang. Betapa tidak, bulan lalu terakhir kami ingin merasakan kegembiraan yang sama, ternyata kami hanya dapat mendengar deru mesin kapal terbang. Seluruh penjuru penglihatan kami terhalang awan tebal. Waktu itu kami lesu dengan wajah tertunduk.
Aku sering menghayal suatu saat bisa terbang walaupun aku tak tahu persis bentuk kapal terbang itu bagaimana. Untunglah aku memiliki paman yang menjadi guru di kota Sengkang. Setiap pulang kampung beliau selalu membawakan aku guntingan koran atau majalah. Beliau tahu persis aku sangat senang dengan gambar kapal terbang. Apalagi kegemaranku menggambar kapal terbang, jangan ditanya, aku sangat tergila-gila. Semua bukuku pasti ada gambar kapal terbangnya, bahkan beberapa buah. Setiap ada waktu senggang, pasti aku menggambar kapal terbang. Meskipun awalnya aku lebih sering menyontek dari koran atau majalah tadi, namun akhirnya aku bisa menggambar tanpa menyontek. Bahkan aku bisa membuat model kapal terbang dari tanah liat walaupun masih sederhana. Ini salah satu kegemaranku juga. Menurut paman, untuk usiaku yang sembilan tahun gambarku sudah sangat bagus. Tentu aku bangga dengan pujian itu. Tapi aku tidak sombong. Aku hanya sangat gembira karena pujian itu sama dengan kekaguman ibu, teman-teman, dan guruku. Lalu bapakku bukannya tidak kagum? Jelas tidak kagum karena beliau sudah tiada sejak aku masih balita.
Tiba-tiba….
“Ciiiiit… ciiiit… ciiiit!” Suara mendecit terdengar beberapa kali disertai goncangan lumayan keras.
Aku terkejut, gelagapan. Badanku semakin terguncang. Rupanya baru saja aku melamun dan bunyi ban beradu dengan aspal telah menyadarkanku. Serta merta aku mengusap mata sambil melirik ke teman dudukku, seorang lelaki bule setengah baya. Ia mengulum senyum, mungkin menahan rasa geli melihatku tadi. Aku hanya membalas dengan senyum di ujung bibir sambil menundukkan kepala tanda hormat. Kubalikkan pandangan ke jendela. Aku terkejut, awan putih yang menakjubkanku tadi telah menghilang, berganti dengan rumput dan pepohonan yang menghijau. Aspal hitam kulihat bagaikan berlari menjauhiku dengan sangat laju. Aku tersadar, rupanya kapal terbang yang kutumpangi telah mendarat dengan sempurna. Alhamdulillah.
Ingatanku tiba-tiba tertuju ke ibu. Perasaan baru saja beliau melepasku merantau untuk kuliah ke negeri orang. Pekan lalu kami berpisah di terminal sebelum bis antarkota membawaku menuju Makassar. Aku menangis tersedu-sedu. Tetapi ibuku dengan tegar berusaha menahan air matanya. Kutahu, beliau telah kenyang dengan kesedihan. Perjuangan beliau menghidupi aku dan kakakku sungguh sangat luar biasa. Syukurnya kami berdua tetap dapat melanjutkan sekolah berbekal beasiswa. Kakakku kini telah meraih cita-citanya, menjadi guru SD di kampungku.
Lalu saat ini, aku masih berada di dalam pesawat udara. Ingat, bukan di atas ya! Hehehe… Akhirnya impianku untuk terbang telah tercapai. Beberapa menit berselang pesawat berhenti dengan sempurna. Setelah berkemas, aku mengikuti arus gerak penumpang.
Welcome to Aeronautics & Astronautics Engineering of Stanford University, Baco! ucapku dalam hati saat menjejakkan kaki di garbarata. Aku tersenyum sendiri sembari menghirup udara California. Berbekal doa restu ibu dan ridha Ilahi, aku yakin beasiswaku kali ini dapat mengantarkanku menjadi perancang pesawat udara (Jidint).


Alhamdulillah, cerpen ini bisa Juara 7, meskipun targetku masuk TIGA BESAR. Tapi lumayanlah untuk sebuah cerita yang kutulis secara nekat. Telah diterbitkan bersama karya peserta lain, naskahku hanya empat halaman dari 563 halaman bukunya.



Foto ini hanya ilustrasi
Foto ini hanya ilustrasi