Saturday, August 8, 2020

AKU INGIN TERBANG! - CerpenKOE - Juara 7 Nasional



Aku bersandar ke dinding dekat jendela. Pandanganku melayang jauh ke atas awan. Arak berarak putih laksana kapas, gumpalan awan itu melingkupi bumi biru. Aku takjub. Tak pernah aku melihat pemandangan serupa ini. Di ujung, nun jauh di sana menggelantung awan kumulonimbus serupa gadah raksasa menjulang jauh di atas kami. Semburat warna kuning berpadu jingga sangat indah menghiasi satu sisi. Awan putih keabu-abuan diselingi warna gelap di sisi lain menampilkan paduan yang semakin indah.
Sebenarnya, jam tidur seperti ini mataku sangat lelah dan mengantuk. Namun kali ini beda, sangat berbeda! Kupaksakan mataku untuk tidak terlelap. Aku ingin menikmati awan menghampar di sana. Keindahan dan keteduhannya kuresapkan ke dalam hatiku. Deru mesin mendengung di telingaku takkan mampu mengusik rasa yang sedang kunikmati. Aku masih terus menatap hamparan awan. Perlahan hamparan itu berubah menjadi lebih tebal. Tebal, gelap….dan akhirnya ….
Aku telah berada di masa kecilku.
“Oooeeee…. Bacooo…. Ada kapal terbaaaaang!” suara teriakan memanggilku terdengar dari tepi jalan. Aku terhenyak dari lamunan. Sudah kubayangkan pasti bukan cuma Udin yang berteriak-teriak kegirangan. Aku bergegas menyambar baju kaos di sandaran kursi lalu berlari menuju pintu depan. Suara lantai kayu rumah panggung kami berdentum beriringan, gemuruhnya seperti suara ledakan senapan. Kukenakan baju sambil berlari. Lalu kedua kaki mungilku lincah menjejaki anak tangga satu demi satu dengan sangat cepat. Jauh lebih lincah daripada jemari pemain piono. Nadanya beralun kurang dari dua detik pada 13 anak tangga. Tapi….. eh, hanya 12 sebab anak tangga paling bawah tidak kujejak lagi, kulangkahi lalu langsung melompat ke tanah. Aku berlari secepat kilat menuju jalanan. Aku tak mau ketinggalan meskipun sedetik saja. Hal itu sangat beralasan, kami jarang melihat kapal terbang melintas di atas kampung kami, desa Ugi. Jikalau pun ada yang melintas, pastilah nun jauh tinggi di angkasa. Itu pun hanya beberapa detik lalu ia akan menghilang di balik awan.
“Oeeeee… kapal terbaaannnggg…. Turunlah kemari…,” teriakku sekeras mungkin padahal aku belum melihat kapal terbangnya. Begitulah kami menyebutnya, bukan pesawat udara. Sambil berlari kepalaku mendongak ke arah langit. Mataku mencari-cari kapal terbang. Aku tak pedulikan kedua kakiku menjadi kotor oleh lumpur. Hujan semalam telah membecekkan tanah dan jalanan di kampung kami. Jalanan di kampung kami memang tak ada yang berupa aspal. Semuanya masih jalan tanah dengan batu kali kecil untuk mengeraskannya. Di sana sini terdapat kubangan air yang telah bertransformasi menjadi lumpur liat berwarna coklat. 
Saat tiba di kerumunan teman-temanku, arah pandanganku mengikuti telunjuk mereka. Oleh karena terburu-buru, hampir saja aku terpeleset. Aku menabrak Udin. Untungnya dengan badan yang lebih kekar, ia sigap menangkapku sehingga aku tidak jadi terjerembab ke tanah. Seakan tidak peduli lagi, kami berteriak kegirangan, sahut bersahut.
“Kapaaalll…. Jatuhi kami uaaannggg…,” teriak Saleh tak mau kalah nyaring. Malahan ia berteriak sambil berlonjak-lonjak. Maklumlah, ia paling kecil di antara kami, berarti paling jarang melihat kapal terbang.
“Iyaaa…. Jatuhi kami uaaannnnggg…,” suara lantang kami secara bersama mengulang teriakan Saleh.
Beberapa saat, sekira lima detik kemudian, kegirangan kami terhenti. Ada sedikit kekecewaan terbersit. Akan tetapi raut wajah kami tetap berseri. Mataku berbinar saking riangnya telah melihat kapal terbang. Betapa tidak, bulan lalu terakhir kami ingin merasakan kegembiraan yang sama, ternyata kami hanya dapat mendengar deru mesin kapal terbang. Seluruh penjuru penglihatan kami terhalang awan tebal. Waktu itu kami lesu dengan wajah tertunduk.
Aku sering menghayal suatu saat bisa terbang walaupun aku tak tahu persis bentuk kapal terbang itu bagaimana. Untunglah aku memiliki paman yang menjadi guru di kota Sengkang. Setiap pulang kampung beliau selalu membawakan aku guntingan koran atau majalah. Beliau tahu persis aku sangat senang dengan gambar kapal terbang. Apalagi kegemaranku menggambar kapal terbang, jangan ditanya, aku sangat tergila-gila. Semua bukuku pasti ada gambar kapal terbangnya, bahkan beberapa buah. Setiap ada waktu senggang, pasti aku menggambar kapal terbang. Meskipun awalnya aku lebih sering menyontek dari koran atau majalah tadi, namun akhirnya aku bisa menggambar tanpa menyontek. Bahkan aku bisa membuat model kapal terbang dari tanah liat walaupun masih sederhana. Ini salah satu kegemaranku juga. Menurut paman, untuk usiaku yang sembilan tahun gambarku sudah sangat bagus. Tentu aku bangga dengan pujian itu. Tapi aku tidak sombong. Aku hanya sangat gembira karena pujian itu sama dengan kekaguman ibu, teman-teman, dan guruku. Lalu bapakku bukannya tidak kagum? Jelas tidak kagum karena beliau sudah tiada sejak aku masih balita.
Tiba-tiba….
“Ciiiiit… ciiiit… ciiiit!” Suara mendecit terdengar beberapa kali disertai goncangan lumayan keras.
Aku terkejut, gelagapan. Badanku semakin terguncang. Rupanya baru saja aku melamun dan bunyi ban beradu dengan aspal telah menyadarkanku. Serta merta aku mengusap mata sambil melirik ke teman dudukku, seorang lelaki bule setengah baya. Ia mengulum senyum, mungkin menahan rasa geli melihatku tadi. Aku hanya membalas dengan senyum di ujung bibir sambil menundukkan kepala tanda hormat. Kubalikkan pandangan ke jendela. Aku terkejut, awan putih yang menakjubkanku tadi telah menghilang, berganti dengan rumput dan pepohonan yang menghijau. Aspal hitam kulihat bagaikan berlari menjauhiku dengan sangat laju. Aku tersadar, rupanya kapal terbang yang kutumpangi telah mendarat dengan sempurna. Alhamdulillah.
Ingatanku tiba-tiba tertuju ke ibu. Perasaan baru saja beliau melepasku merantau untuk kuliah ke negeri orang. Pekan lalu kami berpisah di terminal sebelum bis antarkota membawaku menuju Makassar. Aku menangis tersedu-sedu. Tetapi ibuku dengan tegar berusaha menahan air matanya. Kutahu, beliau telah kenyang dengan kesedihan. Perjuangan beliau menghidupi aku dan kakakku sungguh sangat luar biasa. Syukurnya kami berdua tetap dapat melanjutkan sekolah berbekal beasiswa. Kakakku kini telah meraih cita-citanya, menjadi guru SD di kampungku.
Lalu saat ini, aku masih berada di dalam pesawat udara. Ingat, bukan di atas ya! Hehehe… Akhirnya impianku untuk terbang telah tercapai. Beberapa menit berselang pesawat berhenti dengan sempurna. Setelah berkemas, aku mengikuti arus gerak penumpang.
Welcome to Aeronautics & Astronautics Engineering of Stanford University, Baco! ucapku dalam hati saat menjejakkan kaki di garbarata. Aku tersenyum sendiri sembari menghirup udara California. Berbekal doa restu ibu dan ridha Ilahi, aku yakin beasiswaku kali ini dapat mengantarkanku menjadi perancang pesawat udara (Jidint).


Alhamdulillah, cerpen ini bisa Juara 7, meskipun targetku masuk TIGA BESAR. Tapi lumayanlah untuk sebuah cerita yang kutulis secara nekat. Telah diterbitkan bersama karya peserta lain, naskahku hanya empat halaman dari 563 halaman bukunya.



Foto ini hanya ilustrasi
Foto ini hanya ilustrasi



No comments: