Aku bersandar ke dinding dekat jendela. Pandanganku
melayang jauh ke atas awan. Arak berarak putih laksana kapas, gumpalan awan itu
melingkupi bumi biru. Aku takjub. Tak pernah aku melihat pemandangan serupa
ini. Di ujung, nun jauh di sana menggelantung awan kumulonimbus serupa gadah
raksasa menjulang jauh di atas kami. Semburat warna kuning berpadu jingga
sangat indah menghiasi satu sisi. Awan putih keabu-abuan diselingi warna gelap
di sisi lain menampilkan paduan yang semakin indah.
Sebenarnya, jam tidur seperti ini mataku sangat
lelah dan mengantuk. Namun kali ini beda, sangat berbeda! Kupaksakan mataku
untuk tidak terlelap. Aku ingin menikmati awan menghampar di sana. Keindahan
dan keteduhannya kuresapkan ke dalam hatiku. Deru mesin mendengung di telingaku
takkan mampu mengusik rasa yang sedang kunikmati. Aku masih terus menatap
hamparan awan. Perlahan hamparan itu berubah menjadi lebih tebal. Tebal,
gelap….dan akhirnya ….
Aku telah berada di masa kecilku.
“Oooeeee…. Bacooo…. Ada kapal terbaaaaang!” suara teriakan
memanggilku terdengar dari tepi jalan. Aku terhenyak dari lamunan. Sudah
kubayangkan pasti bukan cuma Udin yang berteriak-teriak kegirangan. Aku
bergegas menyambar baju kaos di sandaran kursi lalu berlari menuju pintu depan.
Suara lantai kayu rumah panggung kami berdentum beriringan, gemuruhnya seperti
suara ledakan senapan. Kukenakan baju sambil berlari. Lalu kedua kaki mungilku lincah
menjejaki anak tangga satu demi satu dengan sangat cepat. Jauh lebih lincah
daripada jemari pemain piono. Nadanya beralun kurang dari dua detik pada 13
anak tangga. Tapi….. eh, hanya 12 sebab anak tangga paling bawah tidak kujejak
lagi, kulangkahi lalu langsung melompat ke tanah. Aku berlari secepat kilat menuju
jalanan. Aku tak mau ketinggalan meskipun sedetik saja. Hal itu sangat
beralasan, kami jarang melihat kapal terbang melintas di atas kampung kami,
desa Ugi. Jikalau pun ada yang melintas, pastilah nun jauh tinggi di angkasa. Itu
pun hanya beberapa detik lalu ia akan menghilang di balik awan.
“Oeeeee… kapal terbaaannnggg…. Turunlah kemari…,”
teriakku sekeras mungkin padahal aku belum melihat kapal terbangnya. Begitulah
kami menyebutnya, bukan pesawat udara. Sambil berlari kepalaku mendongak ke
arah langit. Mataku mencari-cari kapal terbang. Aku tak pedulikan kedua kakiku
menjadi kotor oleh lumpur. Hujan semalam telah membecekkan tanah dan jalanan di
kampung kami. Jalanan di kampung kami memang tak ada yang berupa aspal.
Semuanya masih jalan tanah dengan batu kali kecil untuk mengeraskannya. Di sana
sini terdapat kubangan air yang telah bertransformasi menjadi lumpur liat
berwarna coklat.
Saat tiba di kerumunan teman-temanku, arah
pandanganku mengikuti telunjuk mereka. Oleh karena terburu-buru, hampir saja
aku terpeleset. Aku menabrak Udin. Untungnya dengan badan yang lebih kekar, ia sigap
menangkapku sehingga aku tidak jadi terjerembab ke tanah. Seakan tidak peduli
lagi, kami berteriak kegirangan, sahut bersahut.
“Kapaaalll…. Jatuhi kami uaaannggg…,” teriak Saleh
tak mau kalah nyaring. Malahan ia berteriak sambil berlonjak-lonjak. Maklumlah,
ia paling kecil di antara kami, berarti paling jarang melihat kapal terbang.
“Iyaaa…. Jatuhi kami uaaannnnggg…,” suara lantang
kami secara bersama mengulang teriakan Saleh.
Beberapa saat, sekira lima detik kemudian,
kegirangan kami terhenti. Ada sedikit kekecewaan terbersit. Akan tetapi raut
wajah kami tetap berseri. Mataku berbinar saking riangnya telah melihat kapal
terbang. Betapa tidak, bulan lalu terakhir kami ingin merasakan kegembiraan
yang sama, ternyata kami hanya dapat mendengar deru mesin kapal terbang.
Seluruh penjuru penglihatan kami terhalang awan tebal. Waktu itu kami lesu
dengan wajah tertunduk.
Aku sering menghayal suatu saat bisa terbang walaupun
aku tak tahu persis bentuk kapal terbang itu bagaimana. Untunglah aku memiliki
paman yang menjadi guru di kota Sengkang. Setiap pulang kampung beliau selalu
membawakan aku guntingan koran atau majalah. Beliau tahu persis aku sangat
senang dengan gambar kapal terbang. Apalagi kegemaranku menggambar kapal
terbang, jangan ditanya, aku sangat tergila-gila. Semua bukuku pasti ada gambar
kapal terbangnya, bahkan beberapa buah. Setiap ada waktu senggang, pasti aku
menggambar kapal terbang. Meskipun awalnya aku lebih sering menyontek dari
koran atau majalah tadi, namun akhirnya aku bisa menggambar tanpa menyontek.
Bahkan aku bisa membuat model kapal terbang dari tanah liat walaupun masih
sederhana. Ini salah satu kegemaranku juga. Menurut paman, untuk usiaku yang
sembilan tahun gambarku sudah sangat bagus. Tentu aku bangga dengan pujian itu.
Tapi aku tidak sombong. Aku hanya sangat gembira karena pujian itu sama dengan
kekaguman ibu, teman-teman, dan guruku. Lalu bapakku bukannya tidak kagum?
Jelas tidak kagum karena beliau sudah tiada sejak aku masih balita.
Tiba-tiba….
“Ciiiiit… ciiiit… ciiiit!” Suara mendecit terdengar beberapa
kali disertai goncangan lumayan keras.
Aku terkejut, gelagapan. Badanku semakin terguncang.
Rupanya baru saja aku melamun dan bunyi ban beradu dengan aspal telah
menyadarkanku. Serta merta aku mengusap mata sambil melirik ke teman dudukku,
seorang lelaki bule setengah baya. Ia mengulum senyum, mungkin menahan rasa
geli melihatku tadi. Aku hanya membalas dengan senyum di ujung bibir sambil
menundukkan kepala tanda hormat. Kubalikkan pandangan ke jendela. Aku terkejut,
awan putih yang menakjubkanku tadi telah menghilang, berganti dengan rumput dan
pepohonan yang menghijau. Aspal hitam kulihat bagaikan berlari menjauhiku
dengan sangat laju. Aku tersadar, rupanya kapal terbang yang kutumpangi telah
mendarat dengan sempurna. Alhamdulillah.
Ingatanku tiba-tiba tertuju ke ibu. Perasaan baru
saja beliau melepasku merantau untuk kuliah ke negeri orang. Pekan lalu kami
berpisah di terminal sebelum bis antarkota membawaku menuju Makassar. Aku
menangis tersedu-sedu. Tetapi ibuku dengan tegar berusaha menahan air matanya.
Kutahu, beliau telah kenyang dengan kesedihan. Perjuangan beliau menghidupi aku
dan kakakku sungguh sangat luar biasa. Syukurnya kami berdua tetap dapat
melanjutkan sekolah berbekal beasiswa. Kakakku kini telah meraih cita-citanya,
menjadi guru SD di kampungku.
Lalu saat ini, aku masih berada di dalam pesawat
udara. Ingat, bukan di atas ya! Hehehe… Akhirnya impianku untuk terbang telah
tercapai. Beberapa menit berselang pesawat berhenti dengan sempurna. Setelah
berkemas, aku mengikuti arus gerak penumpang.
“Welcome to Aeronautics
& Astronautics Engineering of Stanford University, Baco!” ucapku dalam hati saat menjejakkan
kaki di garbarata. Aku tersenyum sendiri sembari menghirup udara California.
Berbekal doa restu ibu dan ridha Ilahi, aku yakin beasiswaku kali ini dapat
mengantarkanku menjadi perancang pesawat udara (Jidint).
Alhamdulillah, cerpen ini bisa Juara 7, meskipun targetku masuk TIGA BESAR. Tapi lumayanlah untuk sebuah cerita yang kutulis secara nekat. Telah diterbitkan bersama karya peserta lain, naskahku hanya empat halaman dari 563 halaman bukunya.
No comments:
Post a Comment