Wednesday, May 22, 2019

Guru Rentan Tindak Kekerasan



Guru menjadi ujung tombak pembangunan bidang pendidikan. Secara formal, guru bersentuhan langsung dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat akan ilmu pengetahuan dan keterampilan. Pemenuhan kebutuhan tersebut adalah kewajiban guru dan sekaligus menjadi hak masyarakat. Oleh sebab itu, peran guru dalam mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi strategis dan harus terus dibina serta ditingkatkan.
Akan tetapi dinamika kehidupan masyarakat saat ini bergerak dan berubah dengan sangat cepat. Pengaruh perkembangan teknologi komunikasi yang menyebarkan berbagai informasi hampir-hampir tidak dapat lagi terbendung. Setiap orang dengan leluasa menerima dan mengakses berbagai media yang tidak sedikit menayangkan tindak kekerasan secara vulgar.
Saat ini, permainan (game) dalam jaringan (online) dan luar jaringan (offline) ber-konten perkelahian dan peperangan serta berbagai hal negatif lainnya menjadi hal lumrah dan biasa dimainkan oleh siswa. Tentu saja kebiasaan tersebut dapat memengaruhi sikap dan mental siswa. Mereka akan menjadi terbiasa dengan aksi bertengkar, mengumpat, bersuara keras, dan tanpa tata krama. Malahan mereka dapat terbiasa dengan adegan baku pukul, tawuran, dan mungkin pertumpahan darah.
Akibat kebiasaan menonton atau memainkan game yang ber-konten negatif maka sikap dan perilaku siswa dapat berubah menjadi jelek. Mereka mudah membentak, bertengkar, berkelahi, dan melakukan tindakan kekerasan. Maka tidak heran jika banyak kejadian seorang anak tidak hormat bahkan durhaka terhadap orang tua maupun guru.
Hubungan sosial siswa terhadap guru hendaknya serupa hubungan kasih sayang antara anak dan orang tua. Siswa seharusnya menempatkan derajat guru selayaknya orang tua mereka. Guru pantas mendapatkan perlakuan mulia baik di sekolah maupun di luar sekolah, baik oleh siswa maupun orang tuanya dan masyarakat umum.
Sayangnya, tak jarang guru mendapatkan perlakuan yang tidak pantas dari banyak pihak. Guru menjadi objek tindak perundungan, pelecehan, dan kekerasan. Ada guru yang dirundung maupun dipukul oleh siswa. Bahkan terdapat kasus guru dibunuh oleh siswanya. Hal ini dapat terjadi akibat guru berada pada posisi yang berhadapan langsung dengan siswa yang beragam karakternya. Di samping itu, suasana kejiwaan dan mental warga sekolah tidak selamanya berada pada iklim sempurna, baik guru maupun siswa. Boleh jadi tercipta suasana yang tidak kondusif bagi pembelajaran. Siswa berada pada tingkatan emosi dan temperamen yang tidak stabil sehingga memengaruhi sikap, perilaku, dan  tindakannya terhadap guru. Pada kondisi tersebut, sering kali guru berada pada situasi rentan terhadap tindak kekerasan.
Situasi kerentanan dapat pula dihadapi oleh guru bersumber dari sikap dan tindakan orang tua siswa. Tidak jarang guru menghadapi ancaman, tindak kekerasan, dan persekusi terkait pelaksanaan tugasnya di sekolah. Kadang terjadi kasus orang tua siswa mendatangi guru di sekolah lalu melakukan pemukulan. Demikian pula ancaman tuntutan orang tua yang melaporkan guru kepada kepolisian meskipun untuk kasus yang tidak berat, misalnya mencubit siswa dengan wajar untuk tujuan pendisiplinan. Sering pula terjadi orang tua bertindak berlebihan padahal belum tahu duduk persoalan sebenarnya. Malahan ada orang tua yang membela anaknya walaupun telah melakukan kesalahan. Hal ini dapat menjadi bumerang dan merugikan orang tua dan anaknya, terutama terkait dengan pembentukan karakter sang anak.
Tampaknya, penyediaan perlindungan profesi guru menjadi sebuah keniscayaan yang mendesak. Guru harus mendapat jaminan bebas dari intimidasi, ancaman, dan tindak kekerasan agar dapat melaksanakan tugas dengan tenang dan profesional. Oleh sebab itu, setiap guru wajib mendapat pembekalan Undang-Undang No. 10 Tahun 2017 tentang Perlindungan Bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan serta peraturan lain yang terkait. Hal ini dimaksudkan agar guru memahami dan menjadi yakin terhadap jaminan perlindungan yang diberikan oleh pemerintah.
Apabila guru tidak mendapatkan kepastian perlindungan maka akan muncul sikap apatis dalam melaksanakan tugas. Mereka akan mengajar dan membimbing siswa dengan seadanya sebab serba ragu dalam bertindak. Guru takut bila bermaksud mendisiplinkan siswa misalnya, ditanggapi sebagai tindak kekerasan. Akhirnya guru dapat melakukan pembiaran meskipun sebenarnya bertentangan dengan hati nuraninya. Pada akhirnya guru berprinsip lebih baik mencari aman. Hasilnya boleh jadi akan semakin banyak siswa bertingkah melampaui batas norma kesopanan dan norma lain.
Pada dasarnya, tidak semua kasus tindak kekerasan terhadap guru tanpa aksi pemicu dari guru sendiri. Tidak jarang guru melakukan tindakan pendisiplinan yang berlebihan, walaupun mungkin sebagai reaksi atas kebandelan siswa. Dapat saja terjadi guru dengan beragam persoalan yang dihadapinya menjadi lemah iman dan hilang kesabaran. Guru menjadi mudah marah dan lepas kendali memberikan hukuman. Saat seperti itu, guru bisa hilang kesadaran dan tidak mengacuhkan status keprofesiannya. Meskipun tidak untuk pemakluman, namun hal itu terkadang dapat dinilai sebagai “kewajaran” dalam batas-batas tertentu. Alasannya, guru juga manusia biasa.
Sejatinya, mendidik siswa bukan tugas guru semata. Dibutuhkan kerjasama dan kepaduan tindakan antara guru, orang tua, pemerintah, dan masyarakat. Walaupun demikian, selayaknya orang tua memiliki tanggung jawab yang jauh lebih besar dalam mendidik anaknya. Orang tualah yang membentuk karakter dasar anak di rumah, bahkan sejak sebelum sang anak dilahirkan ke dunia (Mujahidin Agus, guru SMA Negeri 3 Palopo).

#Tulisan ini telah dimuat di harian Palopo Pos, Senin/20 Mei 2019#

No comments: