Saturday, May 9, 2015

Tulisan siswa tentang pengalaman pertama Praktik Lapang Geografi

“BERSAMA SENJA MENAPAKI TANAH ANDULAN”

Ketika jarum jam terpisah jauh, selatan dan utara...
Pukul 06.00, dengan baju hijau muda polos, rompi hitam dengan kancing di tengahnya, celana kain berwarna warni, sneaker biru, beanie coklat, tak lupa sling bag coklat tempat cemilan bersemayam.
Style yang akan membawaku mengukir pengalaman baru
di Pincara dan goa Andulan, study tour yang dilaksanakan kelasku, X-E bersama kelas X-F SMA Negeri 3 Palopo.

Perlahan-lahan kaki-kakiku menaiki tangga bis itu, bis berwarna kuning dengan sekumpulan orang-orang yang tak asing di ingatanku. Mereka teman sekelasku, sekelompok orang dengan kegilaan masing-masing yang membuat mereka tambah heboh.

Aku  duduk di sebelah kanan, kursi ketiga. Bersama Mega Ulfiah, tukang selfie, tukang makan, tukang tidur tapi tak pernah gendut. Hanya beberapa menit aku duduk di kursi mungil itu, bis telah melaju. Membawa kami ke mata air panas, Pincara-Masamba. Berbagai rutinitas kami lakukan selagi di jalan, bernyanyi, berfoto, tidur, dan tentu saja makan. Perjalanan terasa sangat cepat, dikarenakan canda tawa selalu menyelimuti kami semua, dan tentulah karena cemilan yang melimpah.

Jalanan yang dilalui penuh berbatu, dan tak rata, seperti kehidupan saja. Jalan itu curam dan berkelok kelok. Ketika kami melalui jalan itu, bis berwarna putih, yang tepat berada di belakang kami terperosok ke lubang. Dengan perasaan kaget hampir semua anak berlarian keluar bis, kecuali aku dan ada beberapa anak lain. Dari kejauhan kulihat mereka semua mendorong bis itu dari arah samping. Bunyi raungan mesin menderu sebelum akhirnya bis itu kembali ke jalan. Raut lega terlihat dari wajah mereka, kami pun melanjutkan perjalanan.

Sesampai kami di ujung jalan aspal, kami pun harus berjalan kaki ke lokasi yang sesungguhnya. Kami melewati jembatan gantung yang tak jauh berbeda dengan jembatan gantung pada umumnya. Jembatan itu panjang, sangat cocok untuk melewati sungai yang di bawahnya dengan batu-batu besar berbentuk bongkah dan arus yang tak terlalu deras. Tapi jembatan itu terlihat rapuh, ada perasaan takut saat aku melewatinya. Dengan memegang salah satu tangan temanku, aku melewati jembatan dengan jantung berdegup dan kaki gemetar, ditambah perasaan pusing ketika jembatan itu bergoyang. Waktu saat itu serasa merambat sangat pelan. Ngeri juga rasanya.

Selepas dari jembatan gantung, kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki, sembari bernyanyi “naik naik kepuncak gunung” dan berfoto. Kami melewati kebun pohon rambutan yang buahnya telah memerah. Juga ada langsat yang sering disangka duku itu, dan sepasang sapi sedang mengunyah rumput. Setelah beberapa bukit terdaki, akhirnya kami pun sampai.

Di sana terdapat sungai berair dingin dan mata air panas berair panas tentunya yang berada di sampingnya. Keduanya terpisah, bagai ada celah yang memisahkan. Subhanallah..
Ini pertama kalinya aku pergi ke tempat mata air panas. Ketika mendekati lubang mata air, tersebar bau yang mengganjal, seperti bau tabung gas bocor atau bau telur busuk atau bau kentut temanku

Hihihi… Tidak, tidak! Itu bau belerang, ya… bau khas belerang, mirip dengan ketiga bau itu. Sumber mata air panas itu terletak di lereng bukit, dengan asap yang mengepul dan bau khasnya juga dengan batuan beku yang berwarna hitam yang mengelilinginya. Airnya memang tidak terlalu banyak tapi dapat membuatku belajar banyak. Panasnya lumayan tinggi, hingga tak sanggup kami menyentuhnya kecuali hanya kurang dari satu detik.

Kami beralih ke sungai di sampingnya, di lembah. Sungai berwarna bening itu tak terlalu deras tapi pasti cukup mampu menghanyutkanku yang tak bisa berenang. Di sana banyak bongkahan batu yang menurutku unik, seperti batu gamping atau kapur yang telah bermetamorfosis menjadi marmer. Juga ada batu yang mengalami pengelupasan kulit bawang dan bisa dilepas dengan tangan kosong. Di lantai tepi sungai terdapat batu konglomerat yang sangat menarik. Tapi aku tak mendapatkan breksi, sejenis batu sedimen aquatis seperti konglomerat, tapi bahan utamanya bersudut-sudut, tidak bulat seperti konglomerat.

Setelah mempelajari semua yang berada di sana, kami diberi waktu mandi, menikmati dinginnya air sungai dan sejuknya suasana. Tapi aku dan semua teman cewekku tidak mandi. Aku dan beberapa lainnya hanya bermain air di bibir sungai. Sempat pula kami berfoto ria, selfie, groupie, wefie.....

Beberapa menit berlalu, kami meninggalkan lokasi tersebut, melanjutkan perjalanan ke Goa Andulan,Walenrang.

Perjalanan ke sana tak terlalu lama tapi kami singgah untuk makan siang, jadi tetap memakan waktu. Jalanan ke sana juga sama seperti jalan sebelumnya, bahkan lebih parah lagi, terjal, jurang di kiri dan tebing di kanan atau sebaliknya. Mengerikan? Haha... bagiku tidak, bahkan sangat indah memukau. Ditambah awan cumulus yang cantik menghampar di atas kami, di selanya langit membiru. Di bawah terhampar hutan dengan air sungai yang berwarna kehijau-hijauan. Entah itu karena difusi dari warna langit atau banyak algae di dalam sungai itu. Ataupun karena banyak batu akik hijau di sana, hihihi…. Ketularan deh! Biar saja, yang penting panorama itu sangat cantik……!

Waktu yang ditempuh cukup lama tapi teman kami, Putera, dapat mencairkan keadaan dengan membuat lelucon dengan semua benda yang ada di sana. Kami belum sampai ke lokasi tujuan tapi bis telah berhenti, mengapa? Solar tak cukup untuk naik ke atas gunung, dan gunung yang akan dilewati masih ada beberapa. Terpaksa kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki.

Peluh tak tertahankan mengalir, pegalnya kaki, dan haus menimpa kami semua. Berjalan kaki sejauh lebih dari enam kilometer belum pernah kulakukan sebelumnya. Tapi suasana alam yang mengagumkan menghiburku. Banyak sungai sungai kecil yang kami lewati, airnya sejuk dan jernih sekali. Aku berada di barisan depan, tak heran aku cepat sampai. Kembali kami menyeberangi sungai di sebuah jembatan gantung. Walau tak seperti jembatan sebelumnya, kali ini aku tetap gemetar. Pasalnya air sungai di bawahnya sangat deras dan bergemuruh di sela-sela batu bongkahan. Lepas dari jembatan gantung aku melihat teman yang lain di kejauhan telah turun dari anak tangga yang menuju goa Andulan. Katanya mereka telah sampai ke gua, maka dari itu kami penasaran. Kami nekat menaiki anak tangga lagi yang katanya mencapai 500 anak tangga.

Walau capek yang teramat sangat, tapi tak mengalahkan rasa penasaran kami. Karena kakiku agaknya tak bisa diajak jalan lagi, aku pun menaiki anak tangga demi anak tangga itu dengan dibantu sebuah tongkat kayu. Hiiii... kayak nenek-nenek.... Tapi tak lama kemudian, suasana telah mulai gelap dan goa itu kelihatannya masih jauh di bagian puncak tebing gunung karang. Kami pun memutuskan untuk kembali saja. Tidak sampai ke mulut gua yang masih beberapa puluh anak tangga lagi. Dalam perjalanan kembali, kami sudah melihat banyak teman teman yang lain yang telah menunggu. Ternyata, mereka menunggu kami. Kami yang disangka hilang karena nekat menaiki ratusan anak tangga itu. Aku sampai dengan perasaan letih dan sepatu yang kotor. Kami masih menunggu teman lain yang kesasar, dan belum kembali.

Setelah beberapa menit berlalu, seorang temanku telah kembali, teman yang dari kejauhan sangat mudah terlihat karena memakai baju berwarana pink dengan kudung warna sama tetapi lebih menyala. Sedangkan empat orang lainnya belum kunjung kembali. Keempat teman itu semuanya berinisial A, yaitu Alif, Azima, Ainun, dan Alfi. Entah mereka berjalan ke mana. Pasalnya rombongankulah yang terakhir menuruni tangga dari gua. Sementara keempat teman kami itu tidak menuju ke tangga gua.

Enam orang teman lelaki kami dan guru pembimbing kami telah menyusul untuk mencari mereka. Entah sampai di mana. Tidak ada kepastian.

Lama kami menunggu dengan perasaan kuatir yang sangat. Saat akhirnya mereka tiba dengan selamat, kami pun sangat lega. Kami berpelukan dengan ketiga teman cewek yang baru tiba. Rasa haru mendesak di dada. Kami menangis haru bercampur gembira. Alhamdulillah, mereka kembali dengan selamat.

Keempat teman itu berkisah, mereka mengikuti panggilan empat “orang” di kejauhan dengan seragam yang sama dari sekolah kami. Saat mereka mulai mendekat, tiba-tiba saja pemanggil itu ternyata telah menjauh. Bahkan mereka mendengar suara teriakan yang memanggil mereka dari kejauhan. Mereka juga diperlihatkan jalan beraspal yang menuju ke gua sehingga mereka terus berjalan menuju jalan beraspal tersebut. Padahal di kampung itu tidak ada jalan beraspal sama sekali. Entah apa yang membuat mereka nyaris terpedaya. Untunglah rombongan pencari berhasil menemukan mereka sebelum tersesat lebih jauh. Yang pasti, saat guru kami mengabsensi semua peserta, tidak ada seorang pun yang tertinggal. Kisah itu membuat bulu kuduk kami berdiri. Tengkuk terasa merinding. Terlebih saat mendengar cerita penduduk setempat tentang kisah empat orang berinisial sama juga pernah mengalami hal serupa. Mereka juga terdiri dari seorang cowok dan tiga orang cewek. Malahan penduduk menyatakan bahwa "penunggu" wilayah itu memang terdiri dari seorang cowok dan tiga orang cewek. Hiiiiii................. ngeri mendengarnya.

Dengan perasaan yang masih mengambang, menjelang magrib, kami melanjutkan perjalanan kembali ke bis. Beruntung, aku bisa kembali ke lokasi bis dengan menumpang mini bus. Sedangkan banyak teman yang lain berjalanan kaki menelusuri jejak kaki mereka sebelumnya sejauh lebih dari enam kilometer. Kasihan melihatnya, tapi mau bagaimana lagi. Aku memang telah sangat letih dan rasanya tak mampu lagi berjalan.

Saat semua rombongan kami tiba di lokasi bis, kami istirahat dan shalat magrib terlebih dahulu. Perjalanan pulang kami lanjutkan. Semuanya diam, terasa hampa sejak peristiwa keempat teman kami yang tersesat. Perjalanan pun terasa sangat sangat jauh. Untunglah jurang di sisi jalan tidak terlihat lagi, gelap.

Dengan suasana yang masih tegang itu,aku sempat tertidur. Dan ketika terbangun bis telah melewati rumahku. Akupun turun di sekolah, dan menyuruh seseorang menjemputku.

Aku pulang dengan menoreh kisah baru…
Pengalaman baru..
Bersama langit senja yang menemani di saat berjalan kaki menuju goa Andulan…
Langit senja yang entah berwarna apa, oranye, merah atau kuning…
Dengan awan cumulus kelabu dan sirrus sebagai penari latar…
Tertoreh kisah penuh misteri di wilayah kars Andulan
Dan torehan itu kuberi judul… “Bersama Senja Menapaki Tanah Andulan”

Salam dari penulis:
Syela Rachmat
Kelas    X-E

SMA NEGERI 3 PALOPO



No comments: