“BERSAMA SENJA MENAPAKI TANAH ANDULAN”
Ketika jarum jam terpisah jauh, selatan
dan utara...
Pukul 06.00, dengan baju hijau muda
polos, rompi hitam dengan kancing di tengahnya, celana kain
berwarna warni, sneaker biru, beanie coklat, tak lupa sling bag coklat tempat
cemilan bersemayam.
Style yang akan membawaku mengukir
pengalaman baru
di Pincara dan goa Andulan, study tour yang dilaksanakan kelasku, X-E bersama kelas X-F SMA Negeri 3 Palopo.
di Pincara dan goa Andulan, study tour yang dilaksanakan kelasku, X-E bersama kelas X-F SMA Negeri 3 Palopo.
Perlahan-lahan kaki-kakiku menaiki
tangga bis itu, bis berwarna kuning dengan sekumpulan orang-orang yang tak
asing di ingatanku. Mereka teman sekelasku, sekelompok orang
dengan kegilaan masing-masing yang membuat mereka tambah heboh.
Aku
duduk di sebelah kanan, kursi ketiga. Bersama Mega
Ulfiah, tukang selfie, tukang makan, tukang tidur tapi tak pernah
gendut. Hanya beberapa menit aku duduk di kursi
mungil itu, bis telah melaju. Membawa kami ke mata air panas, Pincara-Masamba.
Berbagai rutinitas kami lakukan selagi di jalan,
bernyanyi, berfoto, tidur, dan tentu saja makan. Perjalanan
terasa sangat cepat, dikarenakan canda tawa selalu menyelimuti kami semua, dan tentulah
karena cemilan
yang melimpah.
Jalanan yang dilalui penuh
berbatu,
dan tak rata, seperti kehidupan saja. Jalan itu curam dan berkelok kelok.
Ketika
kami melalui jalan itu, bis berwarna putih, yang tepat berada di belakang kami
terperosok ke lubang. Dengan perasaan kaget hampir semua anak
berlarian keluar bis, kecuali aku dan ada beberapa anak lain. Dari kejauhan kulihat
mereka semua mendorong bis itu dari arah samping. Bunyi raungan mesin
menderu sebelum akhirnya bis itu kembali ke jalan. Raut lega
terlihat dari wajah mereka, kami pun melanjutkan perjalanan.
Sesampai kami di ujung
jalan aspal, kami pun harus berjalan kaki ke lokasi yang sesungguhnya. Kami
melewati jembatan gantung yang tak jauh berbeda dengan jembatan
gantung pada umumnya. Jembatan itu panjang, sangat cocok
untuk melewati sungai yang di bawahnya dengan batu-batu besar berbentuk
bongkah dan arus yang tak terlalu deras. Tapi jembatan itu terlihat rapuh, ada
perasaan takut saat aku melewatinya. Dengan memegang
salah satu tangan temanku, aku melewati jembatan dengan jantung berdegup dan
kaki gemetar, ditambah perasaan pusing ketika jembatan itu bergoyang. Waktu
saat itu serasa merambat sangat pelan. Ngeri juga rasanya.
Selepas dari jembatan
gantung, kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki, sembari bernyanyi
“naik naik kepuncak gunung” dan berfoto. Kami melewati kebun
pohon
rambutan yang buahnya telah memerah. Juga ada langsat yang
sering disangka duku itu, dan sepasang sapi sedang mengunyah rumput. Setelah
beberapa bukit terdaki, akhirnya kami pun sampai.
Di
sana
terdapat sungai berair dingin dan mata air panas berair panas tentunya yang
berada di sampingnya.
Keduanya terpisah, bagai ada celah yang memisahkan. Subhanallah..
Ini pertama kalinya aku pergi ke tempat
mata air panas. Ketika mendekati lubang mata
air, tersebar
bau
yang mengganjal, seperti bau tabung gas bocor atau bau telur busuk atau bau
kentut temanku.
Hihihi… Tidak, tidak! Itu bau
belerang, ya… bau khas belerang, mirip dengan ketiga bau itu. Sumber mata air
panas itu terletak di lereng bukit, dengan asap
yang mengepul dan bau khasnya juga dengan batuan beku yang
berwarna hitam yang mengelilinginya. Airnya memang tidak terlalu banyak
tapi dapat membuatku belajar banyak. Panasnya lumayan
tinggi, hingga tak sanggup kami menyentuhnya kecuali hanya kurang dari satu
detik.
Kami beralih ke
sungai
di sampingnya, di lembah. Sungai berwarna
bening itu tak terlalu deras tapi pasti cukup mampu
menghanyutkanku
yang tak bisa berenang. Di sana banyak bongkahan
batu
yang menurutku unik, seperti batu gamping atau kapur yang telah bermetamorfosis
menjadi marmer. Juga ada batu yang mengalami pengelupasan kulit
bawang dan bisa dilepas dengan tangan kosong.
Di lantai tepi sungai terdapat batu konglomerat yang sangat
menarik.
Tapi aku tak mendapatkan breksi, sejenis batu sedimen aquatis seperti
konglomerat, tapi bahan utamanya bersudut-sudut, tidak bulat
seperti konglomerat.
Setelah mempelajari semua yang berada
di sana, kami diberi waktu mandi,
menikmati dinginnya air sungai dan sejuknya suasana. Tapi aku dan semua teman cewekku tidak
mandi.
Aku dan beberapa lainnya hanya bermain air di bibir sungai. Sempat pula kami berfoto ria, selfie, groupie, wefie.....
Beberapa menit berlalu, kami meninggalkan lokasi tersebut, melanjutkan perjalanan ke Goa Andulan,Walenrang.
Beberapa menit berlalu, kami meninggalkan lokasi tersebut, melanjutkan perjalanan ke Goa Andulan,Walenrang.
Perjalanan ke
sana
tak terlalu lama tapi kami singgah untuk makan siang, jadi
tetap memakan waktu. Jalanan ke sana
juga sama seperti jalan sebelumnya, bahkan lebih parah lagi, terjal,
jurang
di kiri dan tebing di kanan atau
sebaliknya. Mengerikan? Haha... bagiku tidak, bahkan
sangat
indah memukau. Ditambah awan cumulus yang cantik
menghampar di atas kami, di
selanya langit membiru. Di bawah terhampar hutan dengan air
sungai
yang berwarna kehijau-hijauan. Entah itu karena
difusi dari warna langit atau banyak algae di dalam
sungai itu. Ataupun karena banyak batu akik
hijau di sana, hihihi…. Ketularan
deh! Biar saja, yang penting panorama itu sangat cantik……!
Waktu yang ditempuh cukup lama tapi
teman kami, Putera, dapat mencairkan
keadaan dengan membuat lelucon dengan semua benda yang ada di sana.
Kami
belum sampai ke lokasi tujuan tapi bis telah
berhenti, mengapa? Solar tak cukup untuk naik ke atas gunung, dan gunung yang
akan dilewati masih ada beberapa. Terpaksa kami
melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki.
Peluh tak tertahankan
mengalir,
pegalnya kaki, dan haus menimpa kami semua. Berjalan kaki
sejauh
lebih dari enam kilometer belum pernah kulakukan sebelumnya. Tapi
suasana alam yang mengagumkan menghiburku. Banyak sungai sungai
kecil yang kami lewati, airnya sejuk dan jernih sekali. Aku berada di barisan
depan, tak heran aku cepat sampai. Kembali kami
menyeberangi sungai di sebuah jembatan gantung. Walau tak seperti jembatan
sebelumnya, kali ini aku tetap gemetar. Pasalnya air sungai di bawahnya sangat
deras dan bergemuruh di sela-sela batu bongkahan. Lepas dari jembatan gantung
aku
melihat teman yang lain di kejauhan telah turun
dari anak tangga yang menuju goa Andulan. Katanya mereka telah sampai ke gua, maka dari itu kami
penasaran. Kami nekat menaiki anak tangga lagi yang
katanya mencapai 500 anak tangga.
Walau capek yang teramat sangat, tapi
tak mengalahkan rasa penasaran kami. Karena kakiku agaknya
tak
bisa diajak jalan lagi, aku pun menaiki anak tangga demi anak tangga
itu dengan dibantu sebuah tongkat
kayu. Hiiii... kayak nenek-nenek.... Tapi tak lama kemudian, suasana telah mulai
gelap dan goa itu kelihatannya masih jauh di bagian puncak
tebing gunung karang. Kami pun memutuskan untuk kembali saja. Tidak sampai ke
mulut gua yang masih beberapa puluh anak tangga lagi. Dalam perjalanan
kembali, kami sudah melihat banyak teman teman yang lain yang telah menunggu. Ternyata, mereka menunggu
kami. Kami yang disangka hilang
karena
nekat menaiki ratusan anak tangga itu. Aku sampai dengan
perasaan letih dan sepatu yang kotor. Kami masih menunggu teman lain yang kesasar, dan belum
kembali.
Setelah beberapa
menit berlalu, seorang temanku telah kembali, teman yang
dari kejauhan sangat mudah terlihat karena
memakai baju berwarana pink dengan kudung warna sama tetapi lebih
menyala.
Sedangkan empat orang lainnya belum kunjung kembali. Keempat
teman itu semuanya berinisial A, yaitu Alif, Azima, Ainun, dan Alfi. Entah
mereka berjalan ke mana. Pasalnya rombongankulah yang terakhir menuruni tangga
dari gua. Sementara keempat teman kami itu tidak menuju ke tangga gua.
Enam orang teman
lelaki kami dan guru pembimbing kami telah menyusul untuk mencari mereka. Entah
sampai di mana. Tidak ada kepastian.
Lama kami menunggu
dengan perasaan kuatir yang sangat. Saat akhirnya mereka tiba dengan
selamat, kami pun sangat lega. Kami berpelukan
dengan ketiga teman cewek yang baru tiba. Rasa haru mendesak di dada. Kami
menangis haru bercampur gembira. Alhamdulillah, mereka kembali dengan selamat.
Keempat teman itu
berkisah, mereka mengikuti panggilan empat “orang” di kejauhan dengan seragam
yang sama dari sekolah kami. Saat mereka mulai mendekat, tiba-tiba saja
pemanggil itu ternyata telah menjauh. Bahkan mereka mendengar suara teriakan
yang memanggil mereka dari kejauhan. Mereka juga diperlihatkan jalan
beraspal yang menuju ke gua sehingga mereka terus berjalan menuju jalan
beraspal tersebut. Padahal di kampung itu tidak ada jalan beraspal sama sekali.
Entah apa yang membuat mereka nyaris terpedaya. Untunglah rombongan pencari
berhasil menemukan mereka sebelum tersesat lebih jauh. Yang pasti, saat guru
kami mengabsensi semua peserta, tidak ada seorang pun yang tertinggal. Kisah
itu membuat bulu kuduk kami berdiri. Tengkuk terasa merinding. Terlebih saat mendengar cerita penduduk setempat tentang kisah empat orang berinisial sama juga pernah mengalami hal serupa. Mereka juga terdiri dari seorang cowok dan tiga orang cewek. Malahan penduduk menyatakan bahwa "penunggu" wilayah itu memang terdiri dari seorang cowok dan tiga orang cewek. Hiiiiii................. ngeri mendengarnya.
Dengan perasaan yang
masih mengambang, menjelang magrib, kami melanjutkan perjalanan kembali ke
bis. Beruntung,
aku
bisa kembali ke lokasi bis dengan menumpang mini
bus. Sedangkan
banyak
teman yang lain berjalanan kaki menelusuri jejak kaki mereka sebelumnya sejauh lebih
dari enam kilometer. Kasihan melihatnya, tapi mau bagaimana lagi.
Aku memang telah sangat letih dan rasanya tak mampu lagi berjalan.
Saat semua rombongan
kami tiba di lokasi bis, kami istirahat dan shalat magrib
terlebih
dahulu. Perjalanan pulang kami lanjutkan. Semuanya
diam, terasa hampa sejak peristiwa keempat teman kami yang tersesat. Perjalanan
pun terasa sangat sangat jauh. Untunglah jurang di sisi jalan tidak
terlihat lagi, gelap.
Dengan suasana yang masih tegang
itu,aku sempat tertidur. Dan ketika terbangun bis telah
melewati rumahku. Akupun turun di sekolah, dan menyuruh seseorang menjemputku.
Aku pulang dengan menoreh kisah baru…
Pengalaman
baru..
Bersama
langit senja yang menemani di saat berjalan kaki
menuju goa Andulan…
Langit
senja yang entah berwarna apa, oranye, merah atau
kuning…
Dengan
awan cumulus kelabu dan sirrus sebagai penari latar…
Tertoreh kisah penuh misteri di wilayah kars Andulan
Dan
torehan itu kuberi judul… “Bersama Senja
Menapaki Tanah Andulan”
Salam
dari penulis:
Syela
Rachmat
Kelas X-E
SMA
NEGERI 3 PALOPO
No comments:
Post a Comment