KESUNGGUHAN DALAM PENANGANAN PAUD
Pada dekade terakhir ini, perhatian dunia terhadap Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) semakin meningkat. Tidak kurang dari UNESCO sebagai badan resmi PBB menyatakan bahwa Early Childhood Education menjadi potensi utama dalam pembangunan sumber daya manusia. Bahkan Deklarasi Dakar, Sinegal pada tahun 2000 menempatkan
Perluasan dan Peningkatan PAUD pada urutan pertama dari enam butir rumusan sasarannya.
Usia dini, 0 – 8 tahun memang merupakan masa yang menentukan dalam pembentukan kualitas SDM. Pada masa itulah, kecukupan gizi, keterjaminan kesehatan, dan peranan stimulasi psikososial atau rangsangan lingkungan pada anak akan memengaruhi tingkat intelegensinya. Selanjutnya hal itu juga akan memengaruhi pembentukan sikap, kepribadian, dan kompetensi anak. Setelah masa itu, potensi anak tidak banyak lagi berubah. Sehingga tak keliru bila usia 0 – 8 tahun dikatakan sebagai masa emas (golden age).
Berbekal penanganan PAUD yang baik, maka seorang anak akan memperoleh pula manfaat dalam meningkatkan kemampuan berkomunikasi, keterampilan bersosialisasi, dan kematangan mental untuk memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Bila demikian adanya, maka upaya penciptaan manusia yang berkualitas unggul bukanlah sebatas angan saja.
Oleh sebab itu, penanganan PAUD haruslah dilakukan secara sungguh-sungguh. PAUD haruslah dipandang sebagai upaya investasi jangka panjang yang hasilnya jelas dan pasti. Investasi itulah yang akan menjadi penentu arah perjalanan dan tingkat kemajuan bangsa di masa depan.
Diperlukan pertimbangan yang holistis
Melakukan investasi haruslah disertai analisis matang dengan melingkupi beragam jenis pertimbangan. Terlebih lagi bila investasi itu menyangkut masa depan bangsa dan negara. Maka analisis dan pertimbangan yang ditempuh harus dilakukan secara menyeluruh dan lebih saksama.
PAUD sebagai investasi untuk masa depan bangsa pun hendaknya merupakan hasil pertimbangan matang atas banyak hal. Segala faktor yang dapat dijadikan kekuatan (strength) dan peluang (opportunity) harus terakomodir dalam mendukung keberhasilan investasi itu. Sedangkan semua unsur yang menjadi kelemahan (weakness) dan kendala (threat) harus teridentifikasi dan dapat diminimalisir.
Penanganan PAUD setidaknya harus melingkupi pertimbangan atas ketersediaan dana, kecukupan lembaga pelaksana, kelengkapan sarana dan prasarana, dan keterpenuhan tenaga pendidik dan pengelola, serta keterjangkauan pelayanan (accessibility). Di samping itu, perlu pula memerhatikan keberterimaan PAUD di dalam masyarakat, dukungan pemerintah daerah, kesiapan pelaksanaan monitoring dan evaluasi, dan kebersesuaian yang sinergis antara tuntutan akan profesionalitas pendidik (tentor) dengan latar belakang keahliannya. Dengan kata lain, sebagai bentuk kesungguhan dalam penanganan PAUD, pertimbangan yang bersifat holistis adalah suatu keniscayaan.
Kesungguhan penanganan PAUD juga dapat dilihat dari upaya untuk memenuhi hal di atas dengan seideal mungkin. Bila itu dapat dilakukan maka potensi dan modal yang dimiliki untuk merancang masa depan bangsa melalui investasi PAUD akan berdaya guna secara optimal. Sebaliknya, selama hal tersebut di atas belum dapat terpenuhi maka investasi yang dilakukan akan memberikan hasil yang kurang optimal. Terlebih lagi bilamana masih dihambat oleh adanya berbagai kelemahan. Misalnya sosialisasi program yang tidak mampu menggugah hati masyarakat atau keterjangkauan pelayanan yang tidak maksimal. Juga bila terjadi praktik-praktik culas dalam pengelolaan dana. Atau bila lembaga pencetak tenaga pendidik profesional tidak tersedia atau tidak sanggup memenuhi jumlah tenaga yang dibutuhkan.
Tampaknya untuk kasus di Indonesia dan di banyak negara di dunia, hal yang terakhir tadi masih jauh dari kondisi ideal yang diharapkan. Saat ini, tentor dan termasuk pengelola lembaga PAUD non Taman Kanak-Kanak (non formal) umumnya belum memiliki standar profesionalisme yang memadai. Sekitar 85 persen tenaga yang direkrut masih terbatas pada lulusan SMA atau sederajat yang kemudian diberikan pelatihan-pelatihan singkat. Akan sangat berbeda bila tenaga tentor direkrut dari lulusan sebuah pendidikan profesi seperti halnya Pendidikan Guru Taman Kanak-Kanak (PGTK) atau Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD).
Laporan UNESCO tahun 2007 menyatakan bahwa di negara berkembang, tenaga yang terlibat dalam Early Childhood Care and Education (ECCE) sangat minim pelatihan. Bahkan di negara industri yang tingkat pendidikannya maju pun banyak melibatkan tenaga yang tidak terlatih. Banyak di antara pekerja tersebut hanyalah tenaga paruh waktu atau tenaga sukarela.
Syukurlah di Indonesia saat ini telah dirintis pendidikan sarjana khusus profesi untuk tenaga pendidik bagi lembaga PAUD. Hal itu merupakan langkah maju dalam upaya mempersungguh penanganan PAUD sebagai investasi.
Masih menurut laporan UNESCO, kekurangsungguhan penangan PAUD lainnya tergambar dari kenyataan bahwa separuh negara di dunia ternyata belum memiliki kebijakan publik untuk anak di bawah umur 3 tahun. Selain itu, di banyak negara, pendanaan untuk ECCE masih kurang diprioritaskan. Dari 75 negara yang memiliki data, 65 negara di antaranya mengalokasikan dana kurang dari 10 persen untuk program ECCE dari total dana untuk pendidikan publik. Bahkan lebih dari setengah negara tersebut hanya menganggarkan kurang dari 5 persen.
Diperlukan partisipasi masyarakat
Pencapaian keberhasilan pengelolaan PAUD sejatinya bukan merupakan tanggung jawab pemerintah semata. Tidak cukup bila hanya pemerintah yang berupaya tanpa ada dukungan masyarakat. Pemerintah hanya memberikan layanan untuk membantu masyarakat memenuhi kebutuhan dasarnya. Kunci utamanya adalah partisipasi masyarakat dalam menyertakan anaknya mengikuti PAUD. Sebab merekalah yang menjalani dan menikmati layanan pendidikan yang disediakan pemerintah.
Lantas apakah partisipasi masyarakat cukup sampai di situ? Untuk saat ini tidak cukup hanya sebatas menyertakan anaknya dalam PAUD. Masyarakat perlu menyadari bahwa secara finansial pemerintah belum dapat menyediakan dana sepenuhnya sesuai kebutuhan. Sehingga bentuk partisipasi masyarakat yang diharapkan mestinya lebih luas lagi. Kesungguhan juga harus tercermin dalam pelibatan dan pemberdayaan masyarakat.
Masyarakat secara langsung dapat terlibat dalam menyuskseskan gerakan PAUD dalam berbagai bentuk. Misalnya, membentuk lembaga PAUD secara swadaya, menjadi tentor sukarela, atau menyediakan prasarana berupa ruang belajar atau tempat bermain. Selain itu, seorang anggota masyarakat dapat juga bertindak sebagai tenaga kampanye atau penyuluh PAUD. Tujuannya adalah agar semakin banyak orang yang mau menyertakan anaknya dalam PAUD dan atau memberikan sumbangsih untuk kegiatan PAUD.
Kerjasama yang baik antara pemerintah dan masyarakat dapat menjadi salah satu kekuatan utama dalam menyukseskan program PAUD. Bila kekuatan yang dimiliki semakin besar dan kelemahan serta hambatan semakin minim, maka investasi masa depan dapatlah diyakini akan berhasil dengan baik. Terciptanya insan pembangunan Indonesia yang cerdas, terampil, tangguh, dan berkepribadian luhur bukanlah impian semata. Maka adalah suatu keniscayaaan jika Indonesia kelak dapat menjadi negara yang jauh lebih maju dan berjaya di percaturan dunia global. Semoga.
Catatan: Tulisan ini telah dimuat di Palopo Pos, Rabu/07 Mei 2008.
Pada dekade terakhir ini, perhatian dunia terhadap Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) semakin meningkat. Tidak kurang dari UNESCO sebagai badan resmi PBB menyatakan bahwa Early Childhood Education menjadi potensi utama dalam pembangunan sumber daya manusia. Bahkan Deklarasi Dakar, Sinegal pada tahun 2000 menempatkan
Perluasan dan Peningkatan PAUD pada urutan pertama dari enam butir rumusan sasarannya.
Usia dini, 0 – 8 tahun memang merupakan masa yang menentukan dalam pembentukan kualitas SDM. Pada masa itulah, kecukupan gizi, keterjaminan kesehatan, dan peranan stimulasi psikososial atau rangsangan lingkungan pada anak akan memengaruhi tingkat intelegensinya. Selanjutnya hal itu juga akan memengaruhi pembentukan sikap, kepribadian, dan kompetensi anak. Setelah masa itu, potensi anak tidak banyak lagi berubah. Sehingga tak keliru bila usia 0 – 8 tahun dikatakan sebagai masa emas (golden age).
Berbekal penanganan PAUD yang baik, maka seorang anak akan memperoleh pula manfaat dalam meningkatkan kemampuan berkomunikasi, keterampilan bersosialisasi, dan kematangan mental untuk memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Bila demikian adanya, maka upaya penciptaan manusia yang berkualitas unggul bukanlah sebatas angan saja.
Oleh sebab itu, penanganan PAUD haruslah dilakukan secara sungguh-sungguh. PAUD haruslah dipandang sebagai upaya investasi jangka panjang yang hasilnya jelas dan pasti. Investasi itulah yang akan menjadi penentu arah perjalanan dan tingkat kemajuan bangsa di masa depan.
Diperlukan pertimbangan yang holistis
Melakukan investasi haruslah disertai analisis matang dengan melingkupi beragam jenis pertimbangan. Terlebih lagi bila investasi itu menyangkut masa depan bangsa dan negara. Maka analisis dan pertimbangan yang ditempuh harus dilakukan secara menyeluruh dan lebih saksama.
PAUD sebagai investasi untuk masa depan bangsa pun hendaknya merupakan hasil pertimbangan matang atas banyak hal. Segala faktor yang dapat dijadikan kekuatan (strength) dan peluang (opportunity) harus terakomodir dalam mendukung keberhasilan investasi itu. Sedangkan semua unsur yang menjadi kelemahan (weakness) dan kendala (threat) harus teridentifikasi dan dapat diminimalisir.
Penanganan PAUD setidaknya harus melingkupi pertimbangan atas ketersediaan dana, kecukupan lembaga pelaksana, kelengkapan sarana dan prasarana, dan keterpenuhan tenaga pendidik dan pengelola, serta keterjangkauan pelayanan (accessibility). Di samping itu, perlu pula memerhatikan keberterimaan PAUD di dalam masyarakat, dukungan pemerintah daerah, kesiapan pelaksanaan monitoring dan evaluasi, dan kebersesuaian yang sinergis antara tuntutan akan profesionalitas pendidik (tentor) dengan latar belakang keahliannya. Dengan kata lain, sebagai bentuk kesungguhan dalam penanganan PAUD, pertimbangan yang bersifat holistis adalah suatu keniscayaan.
Kesungguhan penanganan PAUD juga dapat dilihat dari upaya untuk memenuhi hal di atas dengan seideal mungkin. Bila itu dapat dilakukan maka potensi dan modal yang dimiliki untuk merancang masa depan bangsa melalui investasi PAUD akan berdaya guna secara optimal. Sebaliknya, selama hal tersebut di atas belum dapat terpenuhi maka investasi yang dilakukan akan memberikan hasil yang kurang optimal. Terlebih lagi bilamana masih dihambat oleh adanya berbagai kelemahan. Misalnya sosialisasi program yang tidak mampu menggugah hati masyarakat atau keterjangkauan pelayanan yang tidak maksimal. Juga bila terjadi praktik-praktik culas dalam pengelolaan dana. Atau bila lembaga pencetak tenaga pendidik profesional tidak tersedia atau tidak sanggup memenuhi jumlah tenaga yang dibutuhkan.
Tampaknya untuk kasus di Indonesia dan di banyak negara di dunia, hal yang terakhir tadi masih jauh dari kondisi ideal yang diharapkan. Saat ini, tentor dan termasuk pengelola lembaga PAUD non Taman Kanak-Kanak (non formal) umumnya belum memiliki standar profesionalisme yang memadai. Sekitar 85 persen tenaga yang direkrut masih terbatas pada lulusan SMA atau sederajat yang kemudian diberikan pelatihan-pelatihan singkat. Akan sangat berbeda bila tenaga tentor direkrut dari lulusan sebuah pendidikan profesi seperti halnya Pendidikan Guru Taman Kanak-Kanak (PGTK) atau Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD).
Laporan UNESCO tahun 2007 menyatakan bahwa di negara berkembang, tenaga yang terlibat dalam Early Childhood Care and Education (ECCE) sangat minim pelatihan. Bahkan di negara industri yang tingkat pendidikannya maju pun banyak melibatkan tenaga yang tidak terlatih. Banyak di antara pekerja tersebut hanyalah tenaga paruh waktu atau tenaga sukarela.
Syukurlah di Indonesia saat ini telah dirintis pendidikan sarjana khusus profesi untuk tenaga pendidik bagi lembaga PAUD. Hal itu merupakan langkah maju dalam upaya mempersungguh penanganan PAUD sebagai investasi.
Masih menurut laporan UNESCO, kekurangsungguhan penangan PAUD lainnya tergambar dari kenyataan bahwa separuh negara di dunia ternyata belum memiliki kebijakan publik untuk anak di bawah umur 3 tahun. Selain itu, di banyak negara, pendanaan untuk ECCE masih kurang diprioritaskan. Dari 75 negara yang memiliki data, 65 negara di antaranya mengalokasikan dana kurang dari 10 persen untuk program ECCE dari total dana untuk pendidikan publik. Bahkan lebih dari setengah negara tersebut hanya menganggarkan kurang dari 5 persen.
Diperlukan partisipasi masyarakat
Pencapaian keberhasilan pengelolaan PAUD sejatinya bukan merupakan tanggung jawab pemerintah semata. Tidak cukup bila hanya pemerintah yang berupaya tanpa ada dukungan masyarakat. Pemerintah hanya memberikan layanan untuk membantu masyarakat memenuhi kebutuhan dasarnya. Kunci utamanya adalah partisipasi masyarakat dalam menyertakan anaknya mengikuti PAUD. Sebab merekalah yang menjalani dan menikmati layanan pendidikan yang disediakan pemerintah.
Lantas apakah partisipasi masyarakat cukup sampai di situ? Untuk saat ini tidak cukup hanya sebatas menyertakan anaknya dalam PAUD. Masyarakat perlu menyadari bahwa secara finansial pemerintah belum dapat menyediakan dana sepenuhnya sesuai kebutuhan. Sehingga bentuk partisipasi masyarakat yang diharapkan mestinya lebih luas lagi. Kesungguhan juga harus tercermin dalam pelibatan dan pemberdayaan masyarakat.
Masyarakat secara langsung dapat terlibat dalam menyuskseskan gerakan PAUD dalam berbagai bentuk. Misalnya, membentuk lembaga PAUD secara swadaya, menjadi tentor sukarela, atau menyediakan prasarana berupa ruang belajar atau tempat bermain. Selain itu, seorang anggota masyarakat dapat juga bertindak sebagai tenaga kampanye atau penyuluh PAUD. Tujuannya adalah agar semakin banyak orang yang mau menyertakan anaknya dalam PAUD dan atau memberikan sumbangsih untuk kegiatan PAUD.
Kerjasama yang baik antara pemerintah dan masyarakat dapat menjadi salah satu kekuatan utama dalam menyukseskan program PAUD. Bila kekuatan yang dimiliki semakin besar dan kelemahan serta hambatan semakin minim, maka investasi masa depan dapatlah diyakini akan berhasil dengan baik. Terciptanya insan pembangunan Indonesia yang cerdas, terampil, tangguh, dan berkepribadian luhur bukanlah impian semata. Maka adalah suatu keniscayaaan jika Indonesia kelak dapat menjadi negara yang jauh lebih maju dan berjaya di percaturan dunia global. Semoga.
Catatan: Tulisan ini telah dimuat di Palopo Pos, Rabu/07 Mei 2008.
No comments:
Post a Comment