Siswa SMP Negeri 5 Takalar berkunjung ke pusat industri gerabah di Patallassang, Takalar, 2004
Guru berkewajiban memberikan pembelajaran yang bermakna dan kontekstual kepada siswa. Hal ini tentu saja bertujuan agar siswa dapat memahami dan menghubungkan materi ajar dengan kehidupan nyata yang akan mereka hadapi. Ringkasnya, harus ada kebersesuaian antara teori di kelas atau sekolah dengan praktiknya di dalam masyarakat.
Termotivasi oleh maksud tersebut, saat masih mengajar di SMP Negeri 5 Takalar, sekitar tahun 2003, saya meminta izin kepada kepala sekolah untuk melaksanakan kunjungan industri dan studi wisata. Oleh karena pertimbangan biaya dan waktu maka diputuskan untuk melakukan kunjungan ke pusat industri gerabah di Takalar Lama (Patallassang).
Lokasi yang dikunjungi hanya berjarak sekitar 10 km dari sekolah. Walaupun dekat, rupanya masih banyak siswa saya yang belum pernah ke kota lama. Kami mengunjungi pusat industri rakyat yang menghasilkan beragam gerabah. Kami, ya termasuk saya, belajar tahap-tahap pembuatan mulai dari pemilihan tanah, penyaringan/penghalusan, pengolahan, dan pembuatan serta pembakaran gerabah. Gerabah yang dihasilkan beragam jenis, mulai dari ukuran besar seperti tempayan atau gumbang atau guci, pot bunga, bangku teras, dan beragam guci kecil untuk vas bunga dan asesories.
Namun sayang sekali, rekaman foto sangat sedikit yang saya buat. Maklumlah, waktu itu masih pakai rollfilm dan kamera pinjaman. Hhhhhhaaaa hahahaha….. biarlah, setidaknya siswa dan saya punya pengalaman belajar langsung di lokasi industri. Bahkan saya sempat membuat sebuah keramik kecil dengan menggunakan alat sederhana, meja berputar yang digerakkan dengan kaki. Sayangnya keramik tersebut tidak bisa saya bawa pulang karena masih basah. Saya hanya sempat menitipnya ke pemilik usaha agar dibakar hingga menjadi sebuah guci kecil. Sebagai tanda khusus, pada bagian dalam guci tersebut sengaja tidak saya ratakan seperti guci lainnya namun saya menyisakan tonjolan serupa potongan tiang. Entah di mana guci tesebut saat ini.
Setelah selesai kunjungan industri, kami menuju pantai untuk rekreasi. Saat itu, selain siswa, beberapa orang guru juga turut serta. Sementara saya membawa istri serta anak pertama dan kedua saya (Jey dan Ichaz) yang masih berumur sekitar 6 dan 2 tahun. Sebagai kenang-kenangan saya mengambil beberapa foto. Salah satu foto yang berkesan adalah “foto selfie” saya dengan latar siswa dan anak saya di pantai. Saya yakin saat itu masih belum ada istilah selfie dan masih sangat jarang orang melakukannya *).
Kami menikmati sejuknya air laut dengan debaran ombaknya yang cukup menggelora. Sementara itu guru lain dan istri saya duduk di bawah pohon, mereka tidak ikut mandi. Akan tetapi kegembiraan kami segera berakhir karena ada kejadian yang hampir sangat disesali. Anak kedua saya tersapu ombak dan hampir saja terbawa arus “rip current”. Syukur ibunya menyadari dan berteriak dari pantai sehingga saya tersadar dan menolong Ichaz dengan cepat. Setelah kejadian itu, kami memutuskan untuk segera meninggalkan pantai, kembali ke sekolah.
Selang berapa lama kemudian kami sampai di sekolah. Setelah semua siswa pulang ke rumah masing-masing, saya sekeluarga pulang ke Makassar dengan naik motor. Perjalanan sekitar 48 km kami tempuh lebih dari satu jam. Alhamdulillah kami tiba dengan selamat.
Catatan:
*) Saya sudah melakukan selfie sejak lama dengan menggunakan kamera film. Bahkan tahun 1994, selfie pertama saya lakukan saat hendak memasuki halaman Istana Negara (17 Agustus 1994).
Selfie, 2004. Pakai kamera film!!! Hahahaha...... tentu saja dengan lensa belakang.
1 comment:
As reported by Stanford Medical, It's in fact the SINGLE reason women in this country get to live 10 years more and weigh an average of 42 lbs less than us.
(And really, it has NOTHING to do with genetics or some hard exercise and EVERYTHING around "how" they eat.)
P.S, What I said is "HOW", and not "WHAT"...
TAP this link to discover if this quick quiz can help you unlock your true weight loss possibility
Post a Comment