Guru menjadi
ujung tombak pembangunan bidang pendidikan. Secara formal, guru bersentuhan
langsung dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat akan ilmu pengetahuan dan
keterampilan. Pemenuhan kebutuhan tersebut adalah kewajiban guru dan sekaligus
menjadi hak masyarakat. Oleh sebab itu, peran guru dalam mencerdaskan kehidupan
bangsa menjadi strategis dan harus terus dibina serta ditingkatkan.
Akan tetapi
dinamika kehidupan masyarakat saat ini bergerak dan berubah dengan sangat
cepat. Pengaruh perkembangan teknologi komunikasi yang menyebarkan berbagai informasi
hampir-hampir tidak dapat lagi terbendung. Setiap orang dengan leluasa menerima
dan mengakses berbagai media yang tidak sedikit menayangkan tindak kekerasan
secara vulgar.
Saat ini, permainan
(game) dalam jaringan (online) dan luar jaringan (offline) ber-konten perkelahian dan peperangan serta berbagai hal negatif lainnya
menjadi hal lumrah dan biasa dimainkan oleh siswa. Tentu saja kebiasaan
tersebut dapat memengaruhi sikap dan mental siswa. Mereka akan menjadi terbiasa
dengan aksi bertengkar, mengumpat, bersuara keras, dan tanpa tata krama. Malahan
mereka dapat terbiasa dengan adegan baku pukul, tawuran, dan mungkin pertumpahan
darah.
Akibat
kebiasaan menonton atau memainkan game
yang ber-konten negatif maka sikap
dan perilaku siswa dapat berubah menjadi jelek. Mereka mudah membentak, bertengkar,
berkelahi, dan melakukan tindakan kekerasan. Maka tidak heran jika banyak
kejadian seorang anak tidak hormat bahkan durhaka terhadap orang tua maupun
guru.
Hubungan sosial
siswa terhadap guru hendaknya serupa hubungan kasih sayang antara anak dan
orang tua. Siswa seharusnya menempatkan derajat guru selayaknya orang tua
mereka. Guru pantas mendapatkan perlakuan mulia baik di sekolah maupun di luar
sekolah, baik oleh siswa maupun orang tuanya dan masyarakat umum.
Sayangnya, tak
jarang guru mendapatkan perlakuan yang tidak pantas dari banyak pihak. Guru
menjadi objek tindak perundungan, pelecehan, dan kekerasan. Ada guru yang
dirundung maupun dipukul oleh siswa. Bahkan terdapat kasus guru dibunuh oleh
siswanya. Hal ini dapat terjadi akibat guru berada pada posisi yang berhadapan
langsung dengan siswa yang beragam karakternya. Di samping itu, suasana kejiwaan
dan mental warga sekolah tidak selamanya berada pada iklim sempurna, baik guru maupun
siswa. Boleh jadi tercipta suasana yang tidak kondusif bagi pembelajaran. Siswa
berada pada tingkatan emosi dan temperamen yang tidak stabil sehingga memengaruhi
sikap, perilaku, dan tindakannya
terhadap guru. Pada kondisi tersebut, sering kali guru berada pada situasi
rentan terhadap tindak kekerasan.
Situasi kerentanan
dapat pula dihadapi oleh guru bersumber dari sikap dan tindakan orang tua
siswa. Tidak jarang guru menghadapi ancaman, tindak kekerasan, dan persekusi terkait
pelaksanaan tugasnya di sekolah. Kadang terjadi kasus orang tua siswa
mendatangi guru di sekolah lalu melakukan pemukulan. Demikian pula ancaman
tuntutan orang tua yang melaporkan guru kepada kepolisian meskipun untuk kasus
yang tidak berat, misalnya mencubit siswa dengan wajar untuk tujuan
pendisiplinan. Sering pula terjadi orang tua bertindak berlebihan padahal belum
tahu duduk persoalan sebenarnya. Malahan ada orang tua yang membela anaknya
walaupun telah melakukan kesalahan. Hal ini dapat menjadi bumerang dan
merugikan orang tua dan anaknya, terutama terkait dengan pembentukan karakter
sang anak.
Tampaknya, penyediaan
perlindungan profesi guru menjadi sebuah keniscayaan yang mendesak. Guru harus
mendapat jaminan bebas dari intimidasi, ancaman, dan tindak kekerasan agar
dapat melaksanakan tugas dengan tenang dan profesional. Oleh sebab itu, setiap
guru wajib mendapat pembekalan Undang-Undang No. 10 Tahun 2017 tentang
Perlindungan Bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan serta peraturan lain yang
terkait. Hal ini dimaksudkan agar guru memahami dan menjadi yakin terhadap jaminan
perlindungan yang diberikan oleh pemerintah.
Apabila guru
tidak mendapatkan kepastian perlindungan maka akan muncul sikap apatis dalam
melaksanakan tugas. Mereka akan mengajar dan membimbing siswa dengan seadanya sebab
serba ragu dalam bertindak. Guru takut bila bermaksud mendisiplinkan siswa
misalnya, ditanggapi sebagai tindak kekerasan. Akhirnya guru dapat melakukan pembiaran
meskipun sebenarnya bertentangan dengan hati nuraninya. Pada akhirnya guru
berprinsip lebih baik mencari aman. Hasilnya boleh jadi akan semakin banyak siswa
bertingkah melampaui batas norma kesopanan dan norma lain.
Pada dasarnya,
tidak semua kasus tindak kekerasan terhadap guru tanpa aksi pemicu dari guru
sendiri. Tidak jarang guru melakukan tindakan pendisiplinan yang berlebihan,
walaupun mungkin sebagai reaksi atas kebandelan siswa. Dapat saja terjadi guru
dengan beragam persoalan yang dihadapinya menjadi lemah iman dan hilang
kesabaran. Guru menjadi mudah marah dan lepas kendali memberikan hukuman. Saat
seperti itu, guru bisa hilang kesadaran dan tidak mengacuhkan status
keprofesiannya. Meskipun tidak untuk pemakluman, namun hal itu terkadang dapat
dinilai sebagai “kewajaran” dalam batas-batas tertentu. Alasannya, guru juga
manusia biasa.
Sejatinya,
mendidik siswa bukan tugas guru semata. Dibutuhkan kerjasama dan kepaduan
tindakan antara guru, orang tua, pemerintah, dan masyarakat. Walaupun demikian,
selayaknya orang tua memiliki tanggung jawab yang jauh lebih besar dalam
mendidik anaknya. Orang tualah yang membentuk karakter dasar anak di rumah, bahkan
sejak sebelum sang anak dilahirkan ke dunia (Mujahidin Agus, guru SMA Negeri 3 Palopo).
#Tulisan ini telah dimuat di harian Palopo Pos, Senin/20 Mei 2019#