Setiap masyarakat memiliki kebudayaan. Oleh karena kebudayaan terdiri dari beragam unsur maka kebudayaan dapat dipandang sebagai suatu sistem. Kebudayaan dengan unsur-unsurnya menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan dalam memberikan ciri khas tertentu. Salah satu unsur budaya adalah aturan atau norma dan nilai baik dalam bentuk tertulis
maupun tidak tertulis. Norma dan nilai tersebut menjadi unsur kebudayaan yang universal, terdapat dalam setiap masyarakat. Hal itu pula yang dapat mencerminkan jati diri masyarakat tersebut.
Salah satu sistem norma yang terdapat dalam masyarakat manapun di Indonesia adalah kesopanan. Melalui norma kesopanan, perilaku setiap anggota masyarakat diatur dan dijalankan sehingga hubungan sosial antaranggota dapat berlangsung dengan baik. Pada masyarakat yang masih konservatif, norma kesopanan dijalankan dengan sangat ketat. Setiap warga menaati norma tersebut dengan tertib dan disiplin. Sanksi atas pelanggaran norma juga dijalankan dengan ketat sehingga tingkat pelanggaran menjadi rendah.
Sebaliknya, pada masyarakat yang lebih modern, pemberlakuan norma kesopanan mulai terkikis sedikit demi sedikit. Banyak anggota masyarakat tidak lagi mengindahkan norma itu dalam kegiatannya sehari-hari. Atau setidaknya, perilaku mereka tidak sepenuhnya mematuhi norma yang seharusnya berlaku. Mungkin banyak orang modern memandang bahwa norma kesopanan tidak terlalu penting. Akibatnya mereka tidak memperdulikan bagaimana sikap dan tingkah lakunya dalam bergaul dan bersosialisasi di tengah masyarakat.
Aturan lain yang mengatur suatu masyarakat adalah sistem nilai, di antaranya kejujuran. Nilai kejujuran menjadi salah satu hal pokok yang membentuk kepribadian seseorang. Kejujuran dapat melandasi perilaku lain seperti disiplin dan bekerja keras. Seseorang akan melaksanakan tugas dengan disiplin dan kerja keras jika hatinya penuh diwarnai kejujuran, demi memeroleh hasil yang berberkah. Demikian pula siswa, mereka akan belajar dengan disiplin dan sungguh-sungguh demi memeroleh hasil dan prestasi yang membawa berkah. Oleh sebab itu, nilai kejujuran harus ditanamkan sejak dini kepada setiap siswa.
Masalahnya, saat ini terjadi penurunan ketaatan siswa dalam menjalankan norma kesopanan dan nilai kejujuran. Sejatinya, pergaulan di sekolah seharusnya tetap mengindahkan sopan santun dan kejujuran yang berlaku dalam masyarakat. Dengan demikian, siswa sebagai warga sekolah dan juga masyarakat wajib taat dan menjalankan norma tersebut. Terlebih lagi karena sikap dan perilaku yang taat pada norma kesopanan dan kejujuran menjadi cerminan keberhasilan pendidikan. Hal ini berkaitan dengan tujuan pendidikan untuk menciptakan manusia Indonesia yang cerdas dan berbudi pekerti luhur. Apabila siswa belum memiliki budi pekerti luhur dan kejujuran tinggi maka dapat dinyatakan bahwa pendidikan belumlah berhasil.
Akan tetapi dalam kenyataan saat ini, tidak sedikit siswa yang melanggar norma kesopanan, baik di sekolah maupun di tempat lain. Sopan santun yang seringkali dilanggar antara lain adalah berjalan seenaknya tanpa minta tabe’ (tabik) atau pamit di hadapan orang tua maupun guru. Seringkali juga siswa terlihat duduk di atas meja dengan kaki di atas kursi, atau duduk di kursi dan kaki juga di kursi. Selain itu, dalam bercakap banyak siswa yang tidak lagi berbahasa halus terutama kepada teman sendiri. Bahasa kasar yang umum diucapkan oleh kebanyakan siswa di Palopo seperti penggunaan kata sapaan “ko” yang seharusnya “ki”, kata “mu” seharusnya “ta”, dan kata sapaan “baga” yang berarti tolol.
Demikian pula nilai kejujuran, banyak siswa yang tidak menjalankannya dengan ketat. Hal ini sangat mudah terlihat saat pelaksanaan ulangan harian, ulangan semester, bahkan ujian akhir. Siswa menyontek menjadi hal umum padahal ini dapat menjadi cikal bakal tindakan koruptif. Meskipun di bawah pengawasan ketat, ada saja cara siswa untuk menyontek. Terlebih lagi dengan maraknya penggunaan telepon canggih, cara menyontek pun semakin beragam. Hal ini menjadi tantangan tersendiri dunia pendidikan. Pengawasan ketat dan sanksi pada dasarnya bukanlah solusi yang baik. Pembiasaan dan pembudayaan nilai kejujuran seharusnya ditumbuhkan dan bukan dipaksakan. Maka dari itu, penanaman dan pembudayaan nilai kejujuran harus menjadi prioritas utama.
Banyak hal yang dapat dinyatakan sebagai penyebab menurunnya ketaatan siswa dalam bersopan santun dan berperilaku jujur. Berkembangnya teknologi informasi dapat dijadikan faktor utama yang memengaruhi siswa, sebab tidak sedikit informasi dan tayangan teve serta internet yang memaparkan ketidaksopanan dan ketidakjujuran secara terbuka. Faktor ini memicu pula berkembangnya sikap individualis karena mencontoh budaya yang katanya modern. Akibatnya siswa bersikap semaunya karena merasa punya hak individu yang tidak boleh diganggu. Tentu saja ini pernyataan yang salah sebab manusia adalah makhluk sosial, semua sikap, ucapan, dan tindakan seseorang pasti berdampak pada orang lain.
Hal lain yang dapat ditemukenali sebagai penyebab menurunnya kesopanan dan kejujuran siswa adalah ketiadaan teladan, khususnya di rumah. Orang tua adalah pemberi teladan yang paling tepat bagi anaknya. Apabila orang tua memberi teladan yang baik maka anaknya akan berperilaku baik pula. Sayangnya, saat ini tidak sedikit orang tua terlalu sibuk dengan aktivitasnya sendiri sehingga kurang memerhatikan kebutuhan anaknya akan teladan yang baik dalam bersikap, bertutur, dan bertindak. Keteladanan juga menjadi tanggung jawab guru dan tenaga kependidikan di sekolah. Setiap mereka hendaknya memberikan teladan yang baik sebab siswa akan langsung melihat dan mencontoh. Akan tetapi, tidak jarang guru bersikap, bertutur, dan bertindak yang tidak tepat sehingga menjadi contoh yang kurang baik. Misalnya, mungkin ada oknum guru tidak menyadari ketika mengajar sambil duduk di atas mejanya. Atau ketika lewat di hadapan guru lain apalagi di depan siswa tidak meminta pamit atau tabe’ terlebih dahulu. Bahkan ada saja oknum yang mengucapkan kata-kata yang kurang sopan – seperti dituliskan di atas – dalam bercakap. Begitu pula jika seorang guru bertindak tidak adil, akan memicu siswa menjadi tidak jujur. Misalnya, terjadi pembiaran bila siswa menyontek dan tidak diberi sanksi secara adil oleh guru. Hal ini dapat membuat siswa yang sebelumnya jujur dapat terpicu untuk berbuat tidak jujur pula. Semua itu tentu saja akan memengaruhi kepribadian siswa.
Selanjutnya, faktor lingkungan tidak bisa diabaikan dalam pembentukan watak dan kepribadian anak. Betapapun baiknya orang tua memberikan teladan tetapi jika lingkungan pergaulan anak tidak mendukung maka keteladanan itu akan terkikis. Apabila lingkungan pergaulan kurang bagus – karena tidak semua anak bersopan santun dan jujur – maka secara perlahan akan memengaruhi kepribadian anak lainnya.
Terkikisnya norma kesopanan dan nilai kejujuran di sekolah bukanlah hal sepele, tidak boleh dibiarkan terjadi. Sebab sikap, ucapan, dan tindakan seseorang mencerminkan pribadinya. Bahkan seringkali aspek tersebut menjadi unsur penilaian terhadap keberhasilan orang tua dan sekolah dalam mendidik. Sehingga jika seorang siswa berperilaku sopan, bertutur santun, dan bertindak kebajikan maka orang akan menanyakan siapa orang tuanya atau di mana sekolahnya. Namun demikian pula sebaliknya, apabila seorang siswa bertindak kasar, bertutur tidak sopan, dan melanggar peraturan maka orang tua dan sekolahnya pulalah yang dinilai jelek dan gagal.
Walaupun agaknya tampak sepele, tetapi terkikisnya norma kesopanan dan nilai kejujuran di lingkungan sekolah perlu untuk menjadi keprihatinan bersama. Betapa tidak, pada saatnya nanti mereka akan menjadi penggerak utama pembangunan nasional. Mereka akan menjadi pemimpin yang harus dapat diteladani semua aspek kehidupannya. Maka keberhasilan pembangunan nasional akan ditentukan bagaimana mereka menerapkan norma kesopanan dan nilai kejujuran dalam masyarakat.
Para pejuang dan pendiri bangsa tidak menginginkan pembangunan fisik bergerak melaju tetapi moral masyarakat hancur. Impian dan cita-cita mereka adalah negara Indonesia menjadi negara maju dengan mengedepankan norma dan nilai luhur sebagai kebudayaan dan jati diri bangsa. Zaman jangan sampai mengikis budi pekerti sebagai bukti kesuksesan dalam menguatkan pendidikan dan keberhasilan memajukan kebudayaan.
Oleh sebab itu, solusi yang harus dijalankan untuk mengatasi terkikisnya budi pekerti adalah memajukan pendidikan yang menjunjung tinggi norma dan nilai luhur dalam masyarakat. Orang tua, guru, masyarakat, tokoh agama, dan pemerintah harus bergandeng tangan membentuk budi pekerti luhur setiap anak sedini mungkin. Semua pihak harus memberi teladan yang baik sesuai jati diri bangsa. (Jidint/16042018).
Salah satu sistem norma yang terdapat dalam masyarakat manapun di Indonesia adalah kesopanan. Melalui norma kesopanan, perilaku setiap anggota masyarakat diatur dan dijalankan sehingga hubungan sosial antaranggota dapat berlangsung dengan baik. Pada masyarakat yang masih konservatif, norma kesopanan dijalankan dengan sangat ketat. Setiap warga menaati norma tersebut dengan tertib dan disiplin. Sanksi atas pelanggaran norma juga dijalankan dengan ketat sehingga tingkat pelanggaran menjadi rendah.
Sebaliknya, pada masyarakat yang lebih modern, pemberlakuan norma kesopanan mulai terkikis sedikit demi sedikit. Banyak anggota masyarakat tidak lagi mengindahkan norma itu dalam kegiatannya sehari-hari. Atau setidaknya, perilaku mereka tidak sepenuhnya mematuhi norma yang seharusnya berlaku. Mungkin banyak orang modern memandang bahwa norma kesopanan tidak terlalu penting. Akibatnya mereka tidak memperdulikan bagaimana sikap dan tingkah lakunya dalam bergaul dan bersosialisasi di tengah masyarakat.
Aturan lain yang mengatur suatu masyarakat adalah sistem nilai, di antaranya kejujuran. Nilai kejujuran menjadi salah satu hal pokok yang membentuk kepribadian seseorang. Kejujuran dapat melandasi perilaku lain seperti disiplin dan bekerja keras. Seseorang akan melaksanakan tugas dengan disiplin dan kerja keras jika hatinya penuh diwarnai kejujuran, demi memeroleh hasil yang berberkah. Demikian pula siswa, mereka akan belajar dengan disiplin dan sungguh-sungguh demi memeroleh hasil dan prestasi yang membawa berkah. Oleh sebab itu, nilai kejujuran harus ditanamkan sejak dini kepada setiap siswa.
Masalahnya, saat ini terjadi penurunan ketaatan siswa dalam menjalankan norma kesopanan dan nilai kejujuran. Sejatinya, pergaulan di sekolah seharusnya tetap mengindahkan sopan santun dan kejujuran yang berlaku dalam masyarakat. Dengan demikian, siswa sebagai warga sekolah dan juga masyarakat wajib taat dan menjalankan norma tersebut. Terlebih lagi karena sikap dan perilaku yang taat pada norma kesopanan dan kejujuran menjadi cerminan keberhasilan pendidikan. Hal ini berkaitan dengan tujuan pendidikan untuk menciptakan manusia Indonesia yang cerdas dan berbudi pekerti luhur. Apabila siswa belum memiliki budi pekerti luhur dan kejujuran tinggi maka dapat dinyatakan bahwa pendidikan belumlah berhasil.
Akan tetapi dalam kenyataan saat ini, tidak sedikit siswa yang melanggar norma kesopanan, baik di sekolah maupun di tempat lain. Sopan santun yang seringkali dilanggar antara lain adalah berjalan seenaknya tanpa minta tabe’ (tabik) atau pamit di hadapan orang tua maupun guru. Seringkali juga siswa terlihat duduk di atas meja dengan kaki di atas kursi, atau duduk di kursi dan kaki juga di kursi. Selain itu, dalam bercakap banyak siswa yang tidak lagi berbahasa halus terutama kepada teman sendiri. Bahasa kasar yang umum diucapkan oleh kebanyakan siswa di Palopo seperti penggunaan kata sapaan “ko” yang seharusnya “ki”, kata “mu” seharusnya “ta”, dan kata sapaan “baga” yang berarti tolol.
Demikian pula nilai kejujuran, banyak siswa yang tidak menjalankannya dengan ketat. Hal ini sangat mudah terlihat saat pelaksanaan ulangan harian, ulangan semester, bahkan ujian akhir. Siswa menyontek menjadi hal umum padahal ini dapat menjadi cikal bakal tindakan koruptif. Meskipun di bawah pengawasan ketat, ada saja cara siswa untuk menyontek. Terlebih lagi dengan maraknya penggunaan telepon canggih, cara menyontek pun semakin beragam. Hal ini menjadi tantangan tersendiri dunia pendidikan. Pengawasan ketat dan sanksi pada dasarnya bukanlah solusi yang baik. Pembiasaan dan pembudayaan nilai kejujuran seharusnya ditumbuhkan dan bukan dipaksakan. Maka dari itu, penanaman dan pembudayaan nilai kejujuran harus menjadi prioritas utama.
Banyak hal yang dapat dinyatakan sebagai penyebab menurunnya ketaatan siswa dalam bersopan santun dan berperilaku jujur. Berkembangnya teknologi informasi dapat dijadikan faktor utama yang memengaruhi siswa, sebab tidak sedikit informasi dan tayangan teve serta internet yang memaparkan ketidaksopanan dan ketidakjujuran secara terbuka. Faktor ini memicu pula berkembangnya sikap individualis karena mencontoh budaya yang katanya modern. Akibatnya siswa bersikap semaunya karena merasa punya hak individu yang tidak boleh diganggu. Tentu saja ini pernyataan yang salah sebab manusia adalah makhluk sosial, semua sikap, ucapan, dan tindakan seseorang pasti berdampak pada orang lain.
Hal lain yang dapat ditemukenali sebagai penyebab menurunnya kesopanan dan kejujuran siswa adalah ketiadaan teladan, khususnya di rumah. Orang tua adalah pemberi teladan yang paling tepat bagi anaknya. Apabila orang tua memberi teladan yang baik maka anaknya akan berperilaku baik pula. Sayangnya, saat ini tidak sedikit orang tua terlalu sibuk dengan aktivitasnya sendiri sehingga kurang memerhatikan kebutuhan anaknya akan teladan yang baik dalam bersikap, bertutur, dan bertindak. Keteladanan juga menjadi tanggung jawab guru dan tenaga kependidikan di sekolah. Setiap mereka hendaknya memberikan teladan yang baik sebab siswa akan langsung melihat dan mencontoh. Akan tetapi, tidak jarang guru bersikap, bertutur, dan bertindak yang tidak tepat sehingga menjadi contoh yang kurang baik. Misalnya, mungkin ada oknum guru tidak menyadari ketika mengajar sambil duduk di atas mejanya. Atau ketika lewat di hadapan guru lain apalagi di depan siswa tidak meminta pamit atau tabe’ terlebih dahulu. Bahkan ada saja oknum yang mengucapkan kata-kata yang kurang sopan – seperti dituliskan di atas – dalam bercakap. Begitu pula jika seorang guru bertindak tidak adil, akan memicu siswa menjadi tidak jujur. Misalnya, terjadi pembiaran bila siswa menyontek dan tidak diberi sanksi secara adil oleh guru. Hal ini dapat membuat siswa yang sebelumnya jujur dapat terpicu untuk berbuat tidak jujur pula. Semua itu tentu saja akan memengaruhi kepribadian siswa.
Selanjutnya, faktor lingkungan tidak bisa diabaikan dalam pembentukan watak dan kepribadian anak. Betapapun baiknya orang tua memberikan teladan tetapi jika lingkungan pergaulan anak tidak mendukung maka keteladanan itu akan terkikis. Apabila lingkungan pergaulan kurang bagus – karena tidak semua anak bersopan santun dan jujur – maka secara perlahan akan memengaruhi kepribadian anak lainnya.
Terkikisnya norma kesopanan dan nilai kejujuran di sekolah bukanlah hal sepele, tidak boleh dibiarkan terjadi. Sebab sikap, ucapan, dan tindakan seseorang mencerminkan pribadinya. Bahkan seringkali aspek tersebut menjadi unsur penilaian terhadap keberhasilan orang tua dan sekolah dalam mendidik. Sehingga jika seorang siswa berperilaku sopan, bertutur santun, dan bertindak kebajikan maka orang akan menanyakan siapa orang tuanya atau di mana sekolahnya. Namun demikian pula sebaliknya, apabila seorang siswa bertindak kasar, bertutur tidak sopan, dan melanggar peraturan maka orang tua dan sekolahnya pulalah yang dinilai jelek dan gagal.
Walaupun agaknya tampak sepele, tetapi terkikisnya norma kesopanan dan nilai kejujuran di lingkungan sekolah perlu untuk menjadi keprihatinan bersama. Betapa tidak, pada saatnya nanti mereka akan menjadi penggerak utama pembangunan nasional. Mereka akan menjadi pemimpin yang harus dapat diteladani semua aspek kehidupannya. Maka keberhasilan pembangunan nasional akan ditentukan bagaimana mereka menerapkan norma kesopanan dan nilai kejujuran dalam masyarakat.
Para pejuang dan pendiri bangsa tidak menginginkan pembangunan fisik bergerak melaju tetapi moral masyarakat hancur. Impian dan cita-cita mereka adalah negara Indonesia menjadi negara maju dengan mengedepankan norma dan nilai luhur sebagai kebudayaan dan jati diri bangsa. Zaman jangan sampai mengikis budi pekerti sebagai bukti kesuksesan dalam menguatkan pendidikan dan keberhasilan memajukan kebudayaan.
Oleh sebab itu, solusi yang harus dijalankan untuk mengatasi terkikisnya budi pekerti adalah memajukan pendidikan yang menjunjung tinggi norma dan nilai luhur dalam masyarakat. Orang tua, guru, masyarakat, tokoh agama, dan pemerintah harus bergandeng tangan membentuk budi pekerti luhur setiap anak sedini mungkin. Semua pihak harus memberi teladan yang baik sesuai jati diri bangsa. (Jidint/16042018).