Semasa
kecil salah satu impian terbesarku adalah terbang dengan menggunakan pesawat
terbang. Tentu saja waktu itu aku tidak tahu bagaimana caranya untuk meraih
impian itu. Hidup di kampung yang terpencil dengan masyarakat petani yang serba
sederhana adalah kesaharian kami. Walaupun ayahku seorang guru matematika dan
bahasa Inggris di satu-satunya SMP di Kec. Sabbangparu, Kab. Wajo namun itu
belum cukup membuka cakrawala berpikirku tentang pesawat terbang. Betapa tidak,
kapal terbang – begitulah kami menyebutnya – yang biasa kami lihat hanya
sesekali melintas jauh di angkasa di atas kampung kami, Ugi. Saat itu, aku dan
teman-teman sebayaku akan berteriak-teriak dan melonjak-lonjak gembira ketika kapal
terbang itu terlihat meskipun hanya beberapa detik.
“
Oee….. kappala luttuuuu… nonnoki mae….,”
suara teriakan kami dengan bahasa Bugis. Artinya, “Hai kapal terbang… turunlah
kemari…”
“Buangakki mae doweee….,” suara teriakan
lain yang kami lantungkan tanpa pikir bahwa itu takkan berguna. Artinya, “Jatuhkan
uang buat kamiiii….”
Saat
kapal terbang itu menghilang di balik awan maka kami merasa kehilangan sebab
tidak tahu kapan lagi kami akan mengalami kegembiraan serupa. Apalagi saat
musim hujan, tentulah kami tidak bisa melihat kapal terbang sebab tertutup awan
tebal. Kalau pun ada yang melintas, biasanya hanya dapat kami dengar suara
gemuruhnya, itupun jika hujan tidak turun.
Hingga
keluarga kami pindah bermukim ke Ujungpandang (sekarang Makassar) di akhir
tahun 1970-an aku tak pernah membayangkan untuk bisa terbang. Padahal SD, SMP,
dan SMA aku jalani di kota besar itu. Bahkan saat kuliah di IKIP Ujungpandang,
mimpi itu belum terbayang sama sekali. Ternyata takdirku untuk terbang mendekapku saat mendapat predikat sebagai
Mahasiswa Berprestasi IKIP Ujungpandang tahun 1992. Saat itulah pertama kalinya
aku terbang menggunakan pesawat. Aku berangkat ke Jakarta tanpa ditemani siapa
pun, maksudku tentulah hanya bersama kru pesawat dan sesama penumpang saja.
Meskipun bukan pesawat besar namun pesawat itu jenis jet milik maskapai Sempati
Air.
Salah
satu rangkaian acara yang kami ikuti adalah Peringatan Detik-Detik Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia ke-47 di Istana Negara. Sebelum memasuki pintu
gerbang istana, kami antre untuk diperiksa. Salah satu obyek yang diperiksa
dengan teliti adalah kamera. Setiap kamera harus dikutip kosong oleh petugas
untuk memastikan bahwa benda itu tidak berbahaya. Tentu saja waktu itu kami
menggunakan kamera roll film, kamera
digital belum umum dipakai. Bahkan kamera roll
film saja masih menjadi barang mewah. Aku belum sanggup memilikinya
sehingga harus meminjam milik Suparno, teman kuliahku.
Saat
tiba giliranku diperiksa, petugas hendak meraih kamera di tanganku tapi
kucegah. Kupikir daripada satu kutipan terbuang percuma, mendingan aku memotret
diriku sendiri. Jadilah aku melakukan “selfie”
pertamaku tepat di usia 23 tahun tanggal 17 Agustus 1992. Menurutku itu
merupakan salah satu momen terbaik dalam hidupku yang hingga sekarang foto
hasil cetaknya masih tersimpan.
Nah,
setelah masa itu, aku tidak ingat lagi kapan persisnya mulai hobi memotret diri
sendiri. Meskipun masih menggunakan kamera roll
film sering kali aku selfie
apalagi sejak memiliki kamera sendiri. Aku sering selfie jika berada pada lokasi tertentu yang unik atau tempat yang
pertama kali kudatangi. Aku pernah selfie
dengan latar belakang siswaku di SMP Negeri 5 Takalar ketika kami belajar di luar
kelas tahun 2003. Bahkan aku pernah selfie
bersama Prof. Bambang Sudibyo saat beliau menjabat masih Menteri Pendidikan.
Hobiku
berselfie makin menjadi-jadi sejak aku memiliki handphone berkamera 2 MP hadiah dari Pantech. Hadiah itu kuperoleh
melalui seleksi karya tulis tingkat nasional tahun 2006. Meskipun hape itu
belum memiliki kamera depan tapi aku sudah terbiasa menggunakan kamera belakang
sebelumnya. Bahkan hingga saat ini aku alergi menggunakan kamera depan untuk
berselfie, termasuk untuk merekam video. Menggunakan hape berkamera digital
membuatku lebih leluasa berselfie. Sejak 2007 aku telah memotret maupun berselfie
dengan sejumlah pejabat dan artis nasional, termasuk Presiden Susilo Bambang
Yudoyono kala itu.
Pada
tahun 2015 aku pernah melakukan selfie dengan Presiden Joko Widodo menjadi
latar belakangku sekitar dua meter jaraknya. Waktu itu usai acara puncak
Peringatan Hari Guru Nasional, Pak Presiden mendatangi kerumunan guru yang
antusias mau berjabat tangan. Aku pun ikut berjejal mendekat dan berhasil
berjabat tangan dengan beliau. Malahan aku sempat menyampaikan kiriman salam
dari rekan guru di Palopo dan beliau menimpali dengan ramah. Kemudian aku
bermaksud berselfie dengan jarak dekat tetapi pengawal beliau melarang dengan
tegas. Agaknya waktu itu Pak Jokowi belum hobi selfie deh. Akhirnya aku mundur menjauh beberapa langkah dan “mencuri”
kesempatan berselfie dengan gerak cepat, tentu saja tidak menggunakan kamera
depan ya!
Momen
kedua, saat puncak Peringatan Hari Guru tahun 2018 di Stadion Pakansari Bogor.
Sebenarnya aku bahkan duduk berdampingan dengan Presiden Joko Widodo di tribun
utama dan sambil ngobrol. Akan tetapi karena momennya tidak cocok akhirnya aku
tidak bisa berselfi dengan beliau saat itu. Lalu saat beliau berpidato di
podium maka kesempatan itu kumanfaatkan lagi untuk berselfie dengan latar
belakang Pak Jokowi meskipun Prof. Unifah, Ketua Umum PGRI, menjadi agak kesal
dengan tingkahku itu. Hehehehe…. Maafkan daku ya, Bu. Efek guru “agak nakal” nih?
Seusai
acara itu tentu saja aku sempatkan berjabat tangan dan berfoto dengan Pak
Presiden, meskipun bukan selfie tapi
dipotret oleh pengawal beliau. Di ruang bawah tribun utama, saat beliau hendak
pulang para penerima Satyalancana Pendidikan berfoto bersama. Usai foto bareng,
Pak Jokowi berselfie dengan kami tapi karena aku berada di belakang maka
pastilah tidak termuat di hape beliau. Makanya aku dengan sigap berselfi dengan
obyek Pak Jokowi berselfi juga. Hahahaha…
Maaf,
nah kira-kira dengan bekal kisah nyata itu sudah pantaskah aku disebut seorang selfie expert? Silakan kawan menilai
sendiri, aku cuma bisa mengklaim sepihak. Jika diakui ya… tidak masalah,
kalaupun masih meragukan ya… juga tidak masalah sih. Tapi perlu diketahui bahwa
aku tidak egois ya, aku tetap memotret objek menarik apapun walau tanpa ada aku
di dalamnya. Jika hal itu belum cukup untuk meraih gelar selfie expert apalagi pakai kata
in Beijing maka mari melanjutkan membaca kisahku.
Terbang
ke Beijing pada tanggal 17 April 2017 merupakan salah satu kisah luar biasa
yang kualami. Betapa tidak, meskipun aku sudah puluhan kali naik pesawat tapi itu
merupakan pengalaman pertama kali terbang keluar negeri. Selain itu, sejak SD
aku sudah mengenal tujuh keajaiban dunia, salah satunya adalah Tembok Raksasa
China. Berkunjung ke negara itu, apalagi ke tembok raksasanya menjadi obsesiku
sejak lama. Saat duduk di SMP dan SMA aku sangat antusias membaca majalah
tentang negara itu dan berbagai kisah kekaisarannya. Malah aku sudah tahu kisah
kaisar terakhirnya, Kaisar Puyi sebelum film The Last Emperior menjadi booming.
Aku kagum dengan kemajuan teknologi dan budaya negara itu yang bahkan banyak
menjadi teknologi dasar pertama di dunia, misalnya asal muasal bubuk mesiu,
roket, dan kertas. Belakangan, saat kuliah, barulah kusadari pula betapa
pentingnya negara itu bagi perdagangan dunia hingga kisah Jalur Sutera
melegenda. Bahkan menurutku wajarlah negara itu disebutkan dalam hadits Nabi
Muhammad SAW terkait dengan kewajiban mencari ilmu.
Terbang
ke Beijing menjadi lebih fantastis bagiku sebab sebelumnya terjadi “arogansi”
pejabat daerah Sulawesi Selatan yang hampir membuat kami gagal berangkat. Kami
yang kumaksud adalah aku dan kawan sekampungku, Burhanuddin (Juara 1 OGN
Ekonomi) dari Sengkang. Aku tidak tahu persis sebab musababnya, yang jelas saat
SK para peserta Benchmarking ke
Beijing sudah kami terima tiba-tiba keluar SK baru yang tidak memuat kedua nama
kami. Akhirnya kami hanya bisa pasrah, berarti belum rezekinya. Akan tetapi
rupanya Alloh Sub’hanahuu Wata’ala menakdirkan lain. Setelah mengalami
pembatalan keberangkatan dan perseteruan tersebut bisa selesai maka terbitlah
SK terbaru yang mencantumkan lagi kedua nama kami. Alhamdulillah. Salah satu
impianku dapat terwujud.
Lalu
apa kaitannya dengan selfie expert?
Hahaha…. sabar ya….
Sejatinya,
istilah selfie expert itu kupinjam
dari salah satu tagline merek hape
yang kebetulan kupakai. Kisah awalnya, saat mengikuti Pemilihan Guru
Berprestasi Tingkat Nasional tahun 2016, aku meminjam hape anakku. Hape itulah
yang kupakai mendokumentasikan semua kegiatanku, tentu saja termasuk berselfie
ria, baik sendiri maupun berdua, bertiga, berempat, dan beramai-ramai. He eh,
kalau lebih dari satu orang bukan selfie
ya? Hehehe… terserahlah apa istilahnya, wefie
atau groufie kali ya?
Sepulang
dari acara tersebut, aku mendapatkan hadiah istimewa dari pacar alias istri
tercinta, bukan mantan pacar ya – pasalnya kami masih pacaran lho hingga kini
sebab begitu kenal sehari esoknya langsung nikah. Eits! Jangan bilang “wow” ya?
Itu kisahku yang fantastis juga. Ups, koq membahas itu.
Nah,
hadiah itu berupa hape Op*o F1 yang tagline-nya selfie expert. Sejak itu aku makin menjadi-jadi berselfie,
berwefie, maupun bergroufie, sekali lagi dengan menggunakan kamera belakang ya.
Bukan hanya berfoto, merekam video pun aku melakukannya sendiri. Tentu saja
hasilnya berbeda dan jelas terlihat. Kelebihan saat mengambil foto dan merekam
video dengan kamera belakang adalah kita akan tampil apa adanya dan tidak
terbalik. Tulisan yang terekam tetap seperti seharusnya. Misalnya, jika
memotret tulisan “AMBULANCE” menggunakan kamera depan maka tulisannya menjadi
terbalik seperti pada mobil ambulance. Sedangkan jika menggunakan kamera
belakang maka tulisan itu tidak terbalik, tetap “AMBULANCE”. Hehehe… aku yakin
Anda pasti paham maksudku!
Berangkat
ke Beijing merupakan hadiah istimewa buatku dari pemerintah. Pasalnya, itu
kuperoleh melalui perjuangan panjang hingga meraih penghargaan sebagai Pemenang
I Guru SMA Berprestasi Tingkat Nasional. Saat mengikuti pembekalan sebelum ke
Beijing, aku sempat berfoto dengan fotoku yang terpajang dalam bingkai besar di
dinding ruangan. Ini juga kuanggap menjadi selfie
istimewaku lho. Ndak apa ‘kan?
Ketika
waktu keberangkatan tiba, tentu saja kami sempatkan berfoto bersama di bandara.
Aku tentu ikutan, tapi juga sambil selfie
dengan mengambil obyek rombongan, hahaha… Saat kami telah berada di dalam
pesawat – ingat bukan di atas ya – kami berfoto lagi dan aku berselfie juga.
Setelah terbang hampir selama tujuh jam, kami pun mendarat dan menghirup udara
non-tropis. Kami turun melalui garbarata menuju tempat pengambilan bagasi.
Selfie pertama yang kulakukan saat itu adalah mengambil latar belakang
garbarata yang di atasnya terpajang neonbox
warna kuning dengan angka unik, 212. Hahaha… aku penggemar Wiro Sableng,
meskipun tanpa embel-embel kata “berat”.
Selanjutnya,
petualang selfie expert semakin meraja
lela. Selama delapan hari di Beijing, tiga hari kami habiskan untuk mengikuti
pelatihan dan kunjungan ke SMA dan SMK berstandar internasional. Kami juga
mengunjungi beragam obyek wisata, di antaranya kompleks olimpiade Beijing,
Tembok Raksasa China, Istana Musim Semi, Lapangan Tiananmen, dan Kota Terlarang.
Kami sempat pula melakukan sholat jumat di masjid tertua dan terluas di
Beijing, Masjid Niujie yang terletak di jalan lembu di pusat kota. Masjid
tersebut dibangun tahun 996 pada zaman Dinasti Liao, bandingkan dengan Masjid
Agung Banten yang tertua di Indonesia dibangun tahun 1552 dan Masjid Jami’
Palopo dibangun tahun 1604.
Selama
berada di Beijing, aku berhasil mengambil foto lebih dari 1.200 buah. Sangat
sedikit ‘kan??? Dari jumlah itu, sekitar 640 foto merupakan hasil selfie, wefie maupun groufi. Gayaku
berselfie dengan cepat dan menggunakan kamera belakang sempat membuat heran
beberapa teman seperjalanan. Bahkan ada yang sampai minta diajari segala, dan
berhasil juga.
Jumlah
foto tersebut dilengkapi dengan belasan video yang didominasi video selfie juga. Namun dari sekian foto itu ada
beberapa yang menurutku lebih istimewa, bukan hanya karena lokasinya. Foto
selfieku peringkat ketiga terbaik adalah saat memegang batu bongkahan bekas
renovasi lantai Kota Terlarang. Aku berselfie bersama pekerja yang memberikan
batu itu dan menjadi oleh-oleh istimewa yang kubawa pulang ke rumah. Peringkat
kedua adalah saat aku selfie di
Tembok Raksasa China dengan latar belakang salah satu menaranya di puncak gunung.
Dan….. yang terbaik adalah…. saat aku selfie
di Lapangan Tainanmen dengan mengacungkan jengkal kiriku seakan mengukur
ketinggian Monumen Pahlawan Rakyat di kejauhan. Foto itu kuambil hanya satu
kali jepret dengan menggunakan kamera belakang. Ujung jari manisku selurus ujung
atas monumen sementara ibu jariku selurus dengan landasan monumen.
Demikian
kisahku demi menjadi selfie expert
meskipun mungkin di luar ekspektasi Anda. Tak apalah jika memang begitu
meskipun aku tetap berharap semoga ada secuil yang dapat menjadi inspirasi,
biar tulisanku ini ada manfaatnya walau hanya secuil pula. Hmmm….. Terima kasih
telah rela membaca dengan sabar! Wassalam (29042020-tiga tahun terlambat dari
yang harusnya).