Pendidikan merupakan proses yang
berlangsung sepanjang hayat. Proses tersebut diawali bahkan sebelum seseorang
terlahir ke dunia. Semasa dalam kandungan, seorang bayi mulai “belajar” dan
mendapatkan didikan melalui ibunya. Otak janin mulai memeroleh stimulasi dari
apa yang didengarnya sejak dalam kandungan dan akan menjadi pembentuk awal kepribadian
anak. Dalam pandangan Islam, didikan
tersebut terutama ia peroleh dari perilaku dan sifat kedua orang tuanya. Maka
tak heran bila seseorang harus selektif dalam memilih jodoh, terutama memenuhi
kriteria agamanya yang baik.
Berbagai suku di Indonesia memiliki
aturan adat yang berkaitan dengan anjuran dan pantangan bagi ibu hamil. Aturan
tersebut dapat berkaitan dengan makanan maupun perilaku, sikap, dan perbuatan
calon ibu dan bapaknya. Secara logis, asupan makanan yang baik pastilah
berpengaruh positif secara langsung kepada janin. Sementara perilaku, sikap,
bahkan ucapan ibu dan ayah si bayi tidaklah berpengaruh seperti asupan makanan.
Akan tetapi hal itu dimaksudkan untuk menciptakan suasana lingkungan yang baik,
sebab tetap akan memengaruhi kondisi janin. Hal ini menjadi keyakinan masyarakat
bahwa janin dalam kandungan dapat dipengaruhi oleh kondisi di luar rahim. Terlepas
dari berupa mitos ataupun bukan, pada dasarnya aturan itu diberlakukan untuk
memberikan pengaruh positif terhadap janin. Terciptanya kondisi calon bayi dan
lingkungannya yang baik tentu saja menjadi harapan bagi setiap keluarga.
Banyak penelitian modern
akhirnya membuktikan bahwa janin dalam kandungan sudah dapat berinteraksi dan
dipengaruhi lingkungannya. Don Campbell (1997) menyimpulkan bahwa mendengarkan
musik klasik berpengaruh positif bagi pengembangan mental bayi, walaupun
mendapat banyak penentangan. Penelitian lain menyatakan bahwa janin dalam
kandungan telah mampu mendengar sejak masa kehamilan 23 pekan. Eino Partanen (2013) melaporkan hasil penelitian
mereka bahwa bayi dapat mengenal musik dan suara dari luar kandungan serta berefek
mengembangkan dan meningkatkan daya tanggap otak dan tersimpan dalam ingatan
hingga empat bulan setelah bayi lahir tanpa stimulasi tambahan.
Setelah seorang bayi lahir ke dunia,
peran stimulasi dari orang tua dan keluarga lebih dibutuhkan. Bayi akan
menerima ransangan dengan semua panca inderanya. Ia mulai belajar dari apa yang
dilihat, didengar, dirasa, dibau, dan diraba. Kemampuan belajar tersebut akan
berkembang pesat selama masa keemasan (golden
age) bayi, yaitu hingga usia lima tahun. Pada masa tersebut, pembentukan
watak, sifat, dan kepribadian bayi juga berkembang seiring pertumbuhan
fisiknya. Seorang balita akan lebih mudah belajar tentang sesuatu dan juga
mudah meniru dan merekamnya dalam ingatan. Oleh karena itu, penumbuhan karakter
positif harus sedini mungkin dilakukan. Orang tua adalah model pembelajaran
bagi anak-anaknya (Jatnika, 2018a). Dengan demikian karakter maupun sikap yang
berkaitan dengan proses belajar juga harus ditanamkan lebih awal. Beberapa di
antara sikap tersebut adalah rasa ingin tahu, minat baca, berpikir kritis,
mandiri, disiplin, dan kebutuhan untuk berprestasi. Bila sikap-sikap tersebut
tertanam dengan baik maka pada usia sekolah hingga dewasa pun sikap tersebut
akan terbawa dan selalu diterapkannya.
Sehubungan dengan pembelajaran
bermutu, maka hasil bentukan watak setiap siswa di rumah pada dasarnya akan
memengaruhi proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru. Tentu saja proses
pembelajaran akan berbeda bila siswa memiliki karakter positif dibandingkan
jika tidak. Siswa dengan karakter mandiri, disiplin, memiliki rasa ingin tahu
yang tinggi, rajin membaca, dan terpacu untuk selalu berprestasi akan
menghasilkan proses pembelajaran yang aktif dan partisipatif. Pembelajaran akan
berlangsung dengan partisipasi tinggi dari siswa (student centered). Selain itu, guru akan mudah untuk menerapkan
pendekatan saintifik seperti inquiry, problem
based, project based, dan discovery learning. Mereka akan
menghidupkan suasana belajar dengan berbagai pertanyaan yang mungkin saja tidak
disangka-sangka akan muncul. Suasana kelas akan menjadi “gaduh” dengan berbagai
argumentasi kritis yang dipaparkan oleh mereka dalam diskusi.
Selanjutnya, setiap siswa akan
mengalami pembiasaan dalam menghargai pendapat orang lain, mudah bekerja sama
dalam tim, bersikap toleran terhadap perbedaan, dan berpikiran terbuka. Para
siswa akan terbiasa hidup dalam masyarakat ilmiah. Berikutnya, penciptaan
suasana persaingan sehat juga akan berlangsung dengan mudah bila setiap siswa memiliki
kebutuhan untuk berprestasi. Demikian pula penumbuhan semangat kebersamaan dan
patriotisme kebangsaan, pun dapat ditumbuhkan melalui proses pembelajaran yang
bermutu.
Pada akhirnya, tentu saja peran guru
secara optimal akan menjadi keniscayaan untuk mendukung perwujudan suasana
belajar yang bermutu. Guru akan selalu merasa tertantang untuk menghadirkan
pembelajaran yang lebih baik dari hari ke hari. Ia tidak akan tinggal diam
untuk memenuhi kebutuhan siswa yang istimewa tersebut sehingga guru akan
terpacu untuk senantiasa meningkatkan kompetensi dan keprofesionalan mereka. Guru
akan terpicu untuk menjadi teladan bagi siswanya termasuk dalam menghasilkan
karya gemilang dan prestasi mengagumkan. Bila hal ini terjadi maka pembelajaran
yang berlangsung akan lebih meningkat dan juga akan mencetak siswa yang bermutu,
baik aspek penguasaan ilmu pengetahuan maupun aspek sikap dan kepribadian.
Akan tetapi upaya perwujudan
pembelajaran bermutu tidak hanya sampai di situ. Tidak berhenti pada upaya
setiap orang tua membentuk karakter positif anaknya dan dukungan guru profesional
yang hebat. Lebih jauh lagi, orang tua dapat menjadi supervisor dan bahkan
evaluator terhadap kinerja guru. Orang tua siswa tidak boleh berdiam diri terhadap
pembelajaran yang diikuti anaknya di sekolah. Mereka dapat berkomunikasi
terhadap guru dalam hal upaya peningkatan mutu pembelajaran. Orang tua memiliki
tanggung jawab terhadap keberhasilan sekolah dalam menyajikan pembelajaran yang
bermutu (Jatnika, 2018b). Misalnya, orang tua dapat menyampaikan koreksi
bilamana terdapat kekeliruan penyampaian materi ajar yang diterima anaknya.
Atau dapat pula memberikan saran dan perbaikan terhadap metode pembelajaran
yang dilaksanakan oleh guru.
Pada tingkatan peran yang lebih
dalam, orang tua dan sekolah dapat membentuk kelompok atau forum komunikasi
antara guru atau sekolah dan orang tua. Mereka dapat membahas upaya pelibatan keluarga
dan masyarakat dalam meningkatkan mutu pembelajaran. Sebagai contoh, orang tua
dapat bergotong royong dalam memenuhi kebutuhan sekolah akan alat pelajaran,
alat praktikum, media pembelajaran berbasis teknologi informasi, pengadaan alat
olahraga dan kesenian serta kebutuhan kegiatan ekstrakurikuler lainnya. Atau
secara bersama-sama mereka dapat merancang kegiatan ilmiah ataupun kebudayaan,
misalnya melaksanakan pekan sains atau pekan kesenian baik dalam bentuk
kompetisi ataupun pameran dan pementasan. Tentu saja semua itu menjadi
kebutuhan bukan hanya bagi sekolah tetapi terlebih bagi siswa dan juga orang tuanya.
Apabila siswa dapat mengikuti pembelajaran yang bermutu karena ketersediaan
fasilitas dan peluang berprestasi maka tentu saja mereka dapat menjadi generasi
harapan orang tua, negara, dan bangsa di masa mendatang.
Secara luas, keseluruhan keluarga dan
masyarakat dari banyak elemen seperti para pakar, peneliti, dosen, birokrasi,
dan bahkan tentara, polisi, hakim, pemilik usaha kecil, pengusaha besar,
pemilik bengkel, olahragawan, seniman, dan budayawan pun pada dasarnya dapat
memberikan sumbangsih bagi pembelajaran bermutu di sekolah. Berbagai pihak
tersebut dapat dihadirkan di sekolah untuk menjadi “guru praksis” bagi siswa
sesuai dengan kebutuhan pembelajaran yang dirancang guru di kelas. Hal ini
didasari oleh pemikiran bahwa guru memiliki keterbatasan terutama terkait
dengan penerapan ilmu dalam kehidupan sehari-hari dan kebutuhan lapangan kerja.
Tidak semua materi pelajaran yang diberikan kepada siswa mampu diajarkan oleh
guru untuk kepentingan praktis. Oleh karena itu, pelibatan keluarga dan masyarakat
luas tersebut akan sangat membantu untuk menyediakan pembelajaran nyata bagi
siswa. Siswa dapat belajar dari pelaku profesional dan pelaku ekonomi serta
penggiat seni ataupun lainnya secara langsung yang mungkin tidak tercakup dalam
pelajaran teori di sekolah. Di samping itu, menghadirkan sosok yang sukses di
bidangnya dapat dijadikan motivator yang efektif bagi siswa.
Mungkin aktivitas tersebut pada
langkah awal tampaknya terlalu idealis dan berlebihan. Akan tetapi hal itu
bukan sesuatu yang mustahil untuk dilakukan. Sebagai tahap awal perintisan,
pelibatan masyarakat dari berbagai profesi dan jenis mata pencaharian tersebut
dapat dimulai dari orang tua siswa sendiri. Setiap sekolah tentu saja memiliki
data nama orang tua siswa yang lengkap dengan jenis pekerjaan, alamat dan bahkan
nomor telepon. Sekolah dapat mendata semua orang tua siswa yang dapat
dilibatkan dalam proyek pembelajaran praktis bagi siswa. Jadi, pihak yang
menjadi narasumber atau “guru praksis” dalam kegiatan pembelajaran di kelas
adalah orang tua siswa sendiri.
Tentu saja tidak semua materi ajar
akan menjadi objek pembelajaran praktis tersebut. Harus ada perancangan materi
dan waktu pembelajaran, misalnya dalam satu pekan disediakan satu kali
pertemuan untuk setiap mata pelajaran. Materi ajar yang disajikan tersebut
ditentukan oleh guru dengan mendapat kesepakatan dari “guru praksis” yang akan
dihadirkan untuk menjadi narasumber. Selain itu, kisah pengalaman narasumber
saat menuntut ilmu atau saat bekerja akan menjadi sumber belajar yang kaya dan
menjadi nilai tambah bagi siswa untuk meningkatkan motivasi belajar mereka.
Kebutuhan akan prestasi juga dapat lebih dibangkitkan melalui kisah nyata para narasumber.
Kegiatan pembelajaran praktis tersebut dapat
menjadi program tahunan maupun setiap semester. Dapat pula dilengkapi dengan
pembelajaran luar sekolah dengan mengunjungi tempat-tempat industri atau
pabrik, sawah, kebun, lokasi kebakaran hutan, lokasi bekas tanah longsor atau
gempa bumi, sanggar seni, pengadilan, pasar, laboratorium, dan lain-lain.
Kombinasi program tersebut tentu akan memberikan pengetahuan dan pengalaman yang
lebih beragam kepada siswa dan juga bagi guru serta orang tua siswa. Setiap
pihak akan belajar dari apa yang dilakukannya, setidaknya pengalaman tersebut
dapat menambah wawasan berpikir sehingga semuanya akan menjadi lebih dewasa dan
bijak. Bila proyek pelibatan masyarakat tersebut dapat diterapkan oleh sekolah,
maka jargon pembelajaran sepanjang hayat akan tercipta sebab belajar
dilaksanakan sejak bayi hingga usia lanjut sekalipun. Sejatinya, siapapun jua
pasti selalu mendapat pelajaran dari berbagai peristiwa yang dialami dan
disaksikan hingga akhir hidupnya. Belajar adalah proses yang tiada
henti. #sahabatkeluarga.
Referensi:
Jatnika, Y., 2018a. Orang tua adalah Model
Pembelajaran bagi Anak-anaknya (online) https://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id/laman/index.php?r=tpost/xview& id=4832,
diakses 25 Juni 2018.
Jatnika, Y., 2018b. Tiga R untuk Kemitraan Sekolah
dengan Orang tua (online) https://sahabat-keluarga.kemdikbud.go.id/laman/index.php?r=tpost/xview& id=4830,
diakses 25 Juni 2018.
Partanen, E., 2013. Prenatal Music Exosure Induces Long-Term
Neural Effects (online). http://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0078946,
diakses 1 April 2013.
Wikipedia, 2018. Mozart Effect (online) https://en.wikipedia.org/wiki/Mozart_effect, diakses 26 Juni 2018.
Wikipedia, 2018. Mozart Effect (online) https://en.wikipedia.org/wiki/Mozart_effect, diakses 26 Juni 2018.