Pendidikan, menurut Ki Hajar Dewantara harus
dirumuskan sebagai “daja-upaja untuk
memadjukan bertumbuhnja budi pekerti (dalam Rohman, 2017). Pendidikan hendaknya
membuat manusia memiliki budi pekerti luhur dan mengubah keadaan dari tidak
tahu menjadi tahu serta dari tidak berdaya menjadi berdaya. Perubahan tersebut
hanya dapat berlangsung melalui proses belajar. Proses belajar tidak hanya
terjadi di lembaga formal dan untuk usia sekolah semata. Belajar sepatutnya
berlangsung di mana saja dan oleh siapa pun sebab sejatinya manusia adalah
makhluk pembelajar. Dari unsur waktu, belajar dimulai dari buaian hingga akhir
hayat.
Akan tetapi, kemampuan belajar seseorang berubah
seiring pertambahan usia sehingga kemajuan tingkat berpikir kanak-kanak berbeda
dengan remaja dan dewasa. Menurut Colarusso (2011), usia Sekolah Dasar (SD) adalah
masa keemasan anak (the Golden Age of Childhood) sebab mereka
memiliki waktu yang panjang, kehidupan yang wajar (tidak banyak beban, pen.),
pertumbuhan fisik, dan lompatan besar dalam perkembangan secara intelektual dan
sosial.
Pemenuhan faktor belajar yang baik seperti
kurikulum, guru, proses, dan sarana belajar seharusnya menjadi perhatian utama
sektor pendidikan. Faktor-faktor tersebut tidak boleh terpisahkan dalam upaya pencapaian
tujuan belajar. Proses pembelajaran menjadi salah satu faktor yang penting sebab
menyangkut aktivitas anak dalam menimba ilmu dan keterampilan. Karena itu, sekolah
wajib menyediakan proses belajar yang baik, yaitu setidaknya menarik dan
efektif membelajarkan anak. Melalui proses belajar seorang anak dibentuk cara berpikir,
bersikap, dan berperilaku serta ditingkatkan pengetahuan dan keterampilannya. Pembentukan
cara berpikir sejak dini akan mewarnai seluruh proses belajar yang akan
dijalani seseorang. Ketika dibiasakan untuk berpikir ilmiah dan bersikap
kritis, anak akan memiliki kecakapan bertanya, analisis, dan pemecahan masalah.
Hasil belajar itulah yang akan menjadi landasan bagi peningkatan kompetensi
anak untuk menjawab tantangan hidup. Dengan demikian, tahap ini menjadi sangat
krusial bagi pembentukan masa depan anak.
Potensi para pemikir ilmiah
Scientific
thinking (berpikir ilmiah) adalah
keterampilan dalam melibatkan diri pada proses inkuiri, eksperimen, analisis bukti,
dan penarikan kesimpulan yang dilaksanakan sebagai upaya memahami suatu objek
kajian (Zimmerman, 2007). Senada dengan itu, berpikir ilmiah menurut Larm dan Jaros (2017), meliputi kecakapan dalam mengamati, bertanya,
memperkirakan, menguji ide-ide, pendokumentasian data, dan penyampaian
pemikiran. Demikian pula Kundu (2015) menyatakan bahwa keterampilan berpikir
ilmiah terdiri atas tahap mengamati, membandingkan, mengorganisasi, menduga, bereksperimen,
mengevaluasi, dan menerapkan. Sementara Kuhn (2010) menyatakan tahapan berpikir
ilmiah adalah inkuiri, analisis, kesimpulan, dan argumentasi.
Terdapat beberapa kesamaan unsur berpikir
ilmiah pada beberapa pendapat tersebut. Proses inkuiri, eksperimen, analisis, dan
kesimpulan merupakan proses belajar yang memungkinkan anak dapat memahami
substansi materi ajar melalui kegiatan mandiri. Saat melakukan pengamatan,
analisis, dan penyimpulan, anak sekaligus berlatih agar cakap dalam berpikir
kritis dan bertindak ilmiah. Pada kegiatan eksperimen, anak dapat menyaksikan
langsung suatu fenomena yang boleh jadi sulit diamati secara langsung di alam. Sebagai
contoh, eksperimen letusan gunung berapi, pembentukan tornado atau proses
kejadian geyser akan sangat menarik
bahkan mungkin menakjubkan bagi anak. Kegiatan belajar yang aktif dan
mengasyikkan memungkinkan anak dapat mengingat apa yang dipelajarinya dalam
waktu lama.
Keterampilan
berpikir ilmiah dapat menjadi
landasan berpikir untuk diterapkan pada semua aspek kehidupan, termasuk sosial
kemasyarakatan (Zimmerman, 2007). Keterampilan berpikir ilmiah dapat melahirkan
beragam budi pekerti dan karakter luhur. Para pemikir ilmiah (scientific thinker) mampu berpikir
jernih, cermat, dan komprehensif. Mereka dapat memikirkan hal-hal yang
tampaknya sepele padahal mungkin sangat penting dalam pemecahan masalah. Para
pemikir ilmiah mampu “melihat” apa yang tidak terlihat dan tidak penting bagi
orang lain.
Para pemikir ilmiah fokus pada apa yang menjadi
tujuan aktivitasnya. Segala permasalahan serta kendala akan diantisipasinya
lebih dini. Pikiran mereka penuh dengan beragam pertanyaan lalu mencari jawaban
dan menyimpulkannya dengan berbagai sudut pandang, sebelum menentukan langkah
terbaik yang akan diterapkan. Mereka mampu menemukenali faktor-faktor kekuatan
dan kelemahan serta peluang dan tantangan dari semua alternatif tindakan yang
ada. Mereka selalu bersungguh-sungguh untuk memeroleh data akurat, tepat, dan
sesuai kebutuhan. Pemikir ilmiah juga terobsesi untuk berpikir logis dan sedetail
mungkin, bersikap bijak, adil, dan objektif serta memiliki komitmen dan
integritas tinggi. Selanjutnya, menurut Paul dan Elder (2012) mereka mampu
menerapkan beragam keterampilan tersebut baik dalam kehidupan pribadi maupun
aktivitas profesionalnya. Mereka akan mengungkapkan pikiran sesuai kenyataan
(jujur) dan serasi antara perkataan dan perbuatan.
Potensi dan keterampilan para pemikir ilmiah tentu
saja sangat dibutuhkan dalam pembangunan nasional. Apalagi pemerintah menjadikan
revolusi karakter bangsa melalui pendidikan sebagai salah satu nawacita. Negara
sangat membutuhkan para pemikir ilmiah untuk membentuk karakter bangsa yang
menumbuhkembangkan nilai-nilai patriotis dan cinta tanah air serta semangat
bela negara dan berbudi pekerti yang luhur. Bila para pemikir ilmiah dengan
integritas tinggi menjadi penggerak utama pemerintahan dan pembangunan maka
Indonesia dapat menjadi negara maju dan terkemuka.
Perlu reformasi pembelajaran di
SD
Pada banyak sekolah dasar di Indonesia, proses
pembelajaran masih jauh dari harapan, bahkan tidak sedikit yang sangat
memprihatinkan. Masih banyak sekolah yang kondisi bangunannya pun sudah tidak
layak, apatah lagi sarana belajarnya. Lantai masih berupa tanah, dinding papan sudah
tidak utuh, atap bocor di sana sini, dan kekurangan alat belajar, buku, dan
guru. Tentu saja keadaan itu tidak kondusif untuk belajar.
Pada banyak sekolah lainnya, dengan kondisi
gedung dan fasilitas yang jauh lebih baik, permasalahan pembelajaran pun masih
ditemukan. Secara umum, kondisi dan aktivitas belajar jauh panggang dari api.
Betapa tidak, masih ditemukan proses pembelajaran yang kurang optimal, antara
lain guru masih menjadi pemeran utama pembelajaran (teacher centered) dan anak didik hanya datang, duduk, diam, dan
dengar apa yang disampaikan oleh guru. Bahkan mereka tidak memiliki keberanian
untuk bertanya, apalagi berdiskusi. Selain itu, aktivitas anak lebih banyak belajar
secara teoritis daripada aplikasi atau praktik.
Kondisi tersebut membuat anak menjadi terbiasa
menurut dan mengiakan apa yang disampaikan oleh guru. Mereka tidak memiliki
keberanian untuk meminta penjelasan lebih rinci, memprotes atau sekadar
mengkonfirmasi ketidakpuasan. Sementara itu, tidak banyak guru yang memberikan
ruang untuk menumbuhkan daya pikir ilmiah anak didiknya. Mereka lebih senang
ketika anak duduk diam dan tidak membuat kegaduhan. Mereka lebih senang anak
didiknya selalu belajar di kelas daripada sesekali beraktivitas dan bermain sambil
belajar dari lingkungan.
Anak tidak memiliki peluang untuk menemukenali
“keunikan” lingkungannya. Mereka tidak dilatih untuk mengamati dan
mengidentifikasi substansi materi ajar yang melimpah di sekitarnya. Padahal guru
dapat menerapkan pembelajaran yang memungkinkan anak belajar sambil bermain. Mereka
dapat belajar tanpa harus kehilangan masa indah kanak-kanaknya. Misalnya, anak diajak
ke lapangan atau kebun untuk menangkap serangga lalu mempelajari
karakteristiknya. Dapat pula guru mengajak mereka menggali tanah dan mengamati
jasad renik atau belajar tentang erosi dan kesuburan tanah di kebun sekolah. Atau
mereka diajak mengamati kegiatan jual-beli di pasar tradisional atau kondisi
sosial di sekitar rumah. Malah anak dapat belajar sambil bekerja, misalnya bercocok
tanam secara hidroponik, membuat karya kerajinan dan mainan dari barang bekas
atau mendaur ulang sampah kertas.
Pada aktivitas lain, anak dapat belajar
melakukan eksperimen sains menggunakan bahan dan peralatan sederhana. Sebagai
contoh, eksperimen magnet menggunakan baterai atau membuat baling-baling yang
menggerakkan dinamo untuk menghasilkan listrik. Beragam contoh tersebut adalah
bentuk sederhana proses belajar sambil bermain atau bekerja yang sejalan metode
inkuiri. Anak dapat menemukan sendiri substansi materi ajar melalui pengamatan,
praktikum, analisis, dan penarikan kesimpulan. Langkah-langkah tersebut menjadi
dasar keterampilan berpikir ilmiah.
Aktivitas yang memberikan keasyikan bagi anak dalam
belajar tentu menyediakan momen penumbuhan rasa ingin tahu dan semangat belajar
yang tinggi. Mereka dilatih berpikir kritis dan memecahkan masalah serta
disiplin dan bekerja sama. Bahkan sejatinya, mereka telah dilatih untuk
berpikir secara mendalam dan menyeluruh namun tidak merasa terbebani seperti
ketika belajar teori semata.
Pada tahapan lebih lanjut, anak dapat dilatih
mengungkapkan ide, pikiran, dan pendapatnya melalui diskusi dan pembuatan
laporan kegiatan. Keterampilan berdiskusi akan menumbuhkan rasa percaya diri,
teguh dalam pendirian, dan saling menghargai.
Oleh sebab pada kenyataannya proses pembelajaran
di SD secara umum belum sejalan dengan penumbuhan scientific thinking pada anak usia dini, maka sepatutnyalah bila reformasi pembelajaran di
SD menjadi keharusan. Dibutuhkan langkah nyata untuk melakukan perubahan besar dan
harus mendapat dukungan penuh dari pemerintah dan pemerhati pendidikan.
Namun, masih ada faktor utama lain yang sangat menentukan
keberhasilan reformasi pembelajaran, yaitu guru. Guru menjadi ujung tombak
penumbuhan keterampilan berpikir ilmiah sebab merekalah yang mengendalikan
proses belajar di kelas. Dengan demikian, sebelum reformasi pembelajaran
dilakukan maka guru terlebih dahulu harus disiapkan. Guru hendaknya telah memiliki
keterampilan berpikir ilmiah agar dapat menjadi teladan. Keteladanan menjadi
penting sebab anak usia SD masih sangat labil. Jika lingkungannya menciptakan
teladan yang baik maka anak akan terbentuk menjadi sosok yang baik pula.
Berbagai kendala
Penumbuhan keterampilan berpikir ilmiah sejak
dini tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Banyak yang harus disiapkan
dan membutuhkan kesungguhan. Walaupun demikian, langkah awal yang perlu
ditempuh adalah menemukenali kendala dan cara mengatasinya. Kendala yang mungkin
ditemui dalam menumbuhkan keterampilan berpikir ilmiah di SD, pertama kekurangan
sarana belajar. Sarana belajar sangat penting dilengkapi untuk mendukung upaya
penumbuhan keterampilan berpikir ilmiah. Anak didik dapat melakukan banyak
aktivitas belajar bilamana sarana tersedia. Penggunaan alat belajar memungkinkan
anak menguji dan membuktikan kebenaran suatu teori. Bahkan anak dapat dilatih
kreativitas dan nalarnya melalui beragam percobaan ilmiah. Alat yang dimaksud
bukan hanya yang canggih tetapi dapat pula berupa perlengkapan sederhana
seperti ember, mangkuk, sekop, cangkul, gunting, sabit, tajak, dan juga barang
bekas seperti botol, stoples, dan gelas plastik. Sementara bahan dapat berupa kertas,
tanah, air, garam, cuka, susu, pewarna, dan sabun.
Kekurangan
sarana belajar dapat ditangani dengan beragam cara. Misalnya, anak membawa
sendiri alat dan bahan yang dibutuhkan dari rumah. Atau sekolah melengkapi kebutuhan
belajar dengan membeli secara bertahap. Mungkin pula dilakukan pemberdayaan
orang tua dan masyarakat melalui komite sekolah untuk pengadaan alat terutama
yang mahal atau sulit diadakan.
Kedua,
kelemahan penguasaan metode mengajar guru. Metode mengajar yang diterapkan guru
sangat menentukan keberhasilan pembelajaran. Begitu pula dengan pengaruhnya
terhadap pembentukan keterampilan anak, termasuk dalam berpikir ilmiah. Oleh
sebab itu, maka guru hendaknya dapat menerapkan metode mengajar yang
bersesuaian dengan penumbuhan keterampilan berpikir ilmiah, yaitu metode
inkuiri. Metode ini tidak hanya diterapkan dalam pembelajaran sains, namun juga
dapat diterapkan untuk pembelajaran sosial dan humaniora.
Akan
tetapi masih banyak guru belum cakap dalam melaksanakan pembelajaran yang
menumbuhkan keterampilan berpikir ilmiah anak. Mereka cenderung menjelaskan
materi ajar dengan ceramah sepanjang waktu pembelajaran. Selain itu, variasi
metode pembelajaran jarang dilakukan sehingga sulit menciptakan suasana belajar
yang menyenangkan.
Kekurangan
penguasaan metode mengajar guru dapat diatasi dengan menggiatkan mereka dalam
berbagai pelatihan yang sesuai. Di samping itu, guru juga dapat belajar dari
guru lain yang telah berhasil, misalnya melalui Musyawarah Guru Mata Pelajaran
(MGMP) dan kegiatan kolegial lain. Dapat pula dilaksanakan program pertukaran
guru dengan mendesiminasikan praktik terbaik. Berbagai sumber belajar juga
banyak tersedia di internet sehingga guru dapat meningkatkan kompetensi
mengajarnya melalui usaha mandiri.
Terakhir,
kurangnya daya kreasi dan inovasi guru. Pada dasarnya, guru yang memiliki cukup
daya kreasi dan inovasi tidak banyak mengalah pada keadaan. Kekurangan alat belajar
dapat dijadikannya sebagai tantangan untuk berkarya, bukannya berpangku tangan.
Daya kreasi dan inovasi mendorong guru untuk memenuhi kebutuhannya dengan cara
kreatif. Ketika kekurangan alat peraga dan alat praktikum, guru kreatif dapat
mengatasinya dengan membuat alat rancangan sendiri.
Bilamana
guru belum memiliki daya kreasi dan inovasi yang cukup maka masih ada cara lain
yang dapat ditempuh. Mereka dapat membuat alat belajar dengan meniru karya guru
lain, atau bila mungkin dapat memodifikasinya. Selain itu, guru juga dapat
menerapkan beragam praktik sains sederhana untuk anak yang sangat banyak
tersedia di internet.
Sejatinya, penumbuhan keterampilan berfikir
ilmiah tidak hanya dapat dilakukan di sekolah dan oleh guru. Seharusnya
keterampilan ini dimulai dan ditumbuhkan sejak di rumah, saat usia anak masih
balita. Menurut Larm dan
Jaros (2017), orang tua dapat
menyediakan beragam peluang bagi anak untuk melakukan percobaan, penjelajahan,
dan mengenali berbagai praktik dan permainan sains untuk membangun pondasi yang
kuat bagi penerapan aktivitas sains di masa mendatang. Keterampilan berpikir ilmiah sangat
penting untuk ditumbuhkan sebelum anak menjadi dewasa. Kemampuan tersebut akan mewarnai sikap,
tindakan, dan perilakunya kelak.
Menciptakan pondasi yang kokoh melalui
keterampilan berpikir ilmiah setidaknya secara formal harus dimulai sejak SD.
Pendekatan pembelajaran yang mendukung upaya tersebut adalah scientific approach (pendekatan ilmiah).
Dalam upaya menumbuhkan keterampilan berpikir ilmiah maka metode ataupun teknik
pembelajaran yang bersesuaian adalah metode inkuiri. Metode ini memberikan
kemerdekaan belajar secara substantif pada anak namun tetap dalam kendali dan
bimbingan guru (dan orang tua). Jidint-05102017.
Sumber bacaan:
Colarusso, Calvin A.
(2011). The Golden Age of Childhood: The
Elementary School Years. www.child-adolescent-adult-development.info/the-golden-age-of-childhood.html (online). Diakses 21
September 2017.
Kuhn, Deanna (2010). What is Scientific Thinking and How Does it
Develop? (online). https://www.tc.columbia.edu/faculty/dk100/faculty-profile/files/
10_whatisscientificthinkingandhowdoesitdevelop.pdf. Diakses 10 September 2017.
Kundu, Subhash C. (2017). Scientific Thinking is Knowledge Seeking. https://www.researchgate.net/post/What_is_Scientific_thinking_and_how_it_formed (online). Diakses 21 September 2017.
Paul, Richard & Linda Elder (2012).
The thinker’s guide to scientific thinking
(3rd ed.). https://www.criticalthinking.org/store/get_file.php?inventories_id=170&inventories_files_id=382
(online). Diakses 10 September 2017.
Rohman, Saifur (2017).
“Pendidikan Minus Karakter”. Kompas,
Senin/18 September 2017.
Zimmerman, Corinne (2007). The development of scientific thinking skills
in elementary and middle schools. http://www.cogsci.ucsd.edu/~deak/classes/EDS115/
ZimmermanSciThinkDR07.pdf (online). Diakses 10 September 2017.
Penulis:
MUJAHIDIN AGUS
Guru geografi SMAN 3 Palopo