PELUANG 1 : 3.366
Berawal dari
panggilan telepon Kabag Kepegawaian Dinas Pendidikan, Dra. Najasi yang terkesan
sangat mendadak, aku mendapat sebuah tantangan besar untuk menjadi peserta
Simposium Guru 2015. Naskahku yang sempat terbengkalai dengan semangat
kuselesaikan sebab tenggat waktu tinggal dua pekan. Untunglah karya ilmiah itu
sudah selesai separuhnya.
Tiga hari
kemudian, naskah itu berhasil ku-upload
ke dalam web panitia. Awalnya aku tidak terlalu berharap untuk lolos seleksi,
250 orang! Karena kuyakin pesertanya pastilah ribuan. Terbukti aku menjadi peserta
ke-2.000 sekian-sekian. Tetapi yang membuatku lebih pasrah lagi adalah panitia
mendasarkan penilaiannya 60% naskah dan 40% pilihan pengunjung web (penyuka
tanda bintang). Huh! Aku kesal dan mendongkol dengan syarat 40% itu! Puluhan
kali aku mengikuti lomba karya ilmiah tingkat nasional, baru kali ini sangat
aneh syarat seleksinya.
Walhasil, aku
tidak dapat menghindar, tentu saja! Akhirnya aku membuat selebaran untuk
mencari dukungan, setidaknya dari siswa-siswiku, baik secara langsung maupun
melalui pengurus OSIS dan sejawat guru. Terus terang, aku sangat malu. Maluuuu
banget amat sekali! Soalnya, aku takut malah nantinya malu-maluin, kalau tidak
lolos!
Untunglah,
akhirnya aku berhasil meraih bintang sekitar 200-an. Tapi, aku masih apatis
sebab banyak peserta yang sudah ribuan bintangnya, bahkan ada yang mencapai 4.000
lebih. Wow hebaaaaat! Syukurlah, jauh di lubuk hatiku yang paling dalam aku
tetap menyimpan setitik harapan dan segunung do’a selalu terpanjatkan ke
hadirat Ilahi Robbi.
Singkat
cerita, ya disingkat, sebab ternyata waktu menunggu pengumuman yang hanya
sepekan rasanya seakan berbulan-bulan lamanya. Ternyata pada hari yang dijanjikan,
waktu bergulir terasa jauh lebih lama. Detik demi detik berganti seakan dalam
gerakan lambat hingga seperti sejam rasanya. Aku menunggu, setiap saat membuka
web dan akun facebook panitia. Namun hingga lewat pukul 23.59’.59” WITA pengumuman
itu tidak ada. Aku belum tidur. Aku menunggu hingga satu jam lagi dengan
harapan patokan waktu WIB yang dijadikan batas waktu. Ternyata panitia
mengabarkan bahwa pengumuman ditunda hingga esok hari. Terus terang, hatiku
semakin mendongkol dan juga mulai curiga. Apalagi komen para peserta di
facebook mulai rada-rada aneh dan seakan mengajukan mosi tidak percaya. Namun
aku masih tetap berharap dan mengomentari secara positif di facebook.
Singkat
cerita lagi, waktu terasa makin melambat, lebih pelan daripada gerakan lambat.
Akhirnya, pada ba’da isya keesokan harinya, aku membuka akun facebook panitia.
Rupanya, pengumumannya belum juga dimuat! Huh! Rasa sebal makin membuncah.
Akhirnya aku berbaring untuk tidur saja. Untunglah aku tidak pernah bermasalah
dengan yang satu ini, tidur. Tentu saja aku tak ingat lagi pukul berapa aku
berhasil tidur, pokoknya aku tertidur pulas tanpa rasa gelisah (teman yang tahu
pastilah tidak heran dengan kelebihanku yang satu ini).
Ba’da subuh,
esok harinya lagi. Aku membuka akun facebook yang baru dua hari terakhir sangat
aktif kubuka. Aku hanya membaca komen dari akun Om Thamrin: “selamat
bersimposium”. Alhamdulillah, aku
berucap. Meskipun aku belum melihat pengumumannya tentu saja aku yakin bahwa
aku lolos seleksi. Dengan semangat yang menyala, aku mencari pengumuman
resminya. Sayangnya, passwordku di web panitia terlupakan. Maka kucarilah dari
akun facebook panitia, dan berhasil. Kulihat namaku terdaftar di nomor urut 133.
Sayangnya hanya dua orang dari Luwu Raya, berdua dengan Ibu Nur Amaliah, S.Pd.
dari SMKN 1 Terpadu Bua Ponrang (selamat ya Bu).
Sekali lagi,
singkat cerita. Alhamdulillah, 21
November 2015 aku sampai dengan selamat di sebuah hotel di bilangan Mampang
Prapatan, Jakarta. Walaupun panitia terkesan belum siap, namun akhirnya aku
berhasil mendapatkan kamar di lantai 3, berdua dengan Pak Rubiman, S.Pd.,M.Pd.,
seorang pengawas dari Lombok Timur, NTB. Itupun setelah berpromosi bahwa aku
mencari pasangan lalu beliau menyambutku untuk menjadi teman sekamar. Siang
hingga sore itu belum ada kegiatan resmi. Malam harinya, kami berkumpul di
Ballroom untuk pembukaan dan pembagian kelompok presentasi karya. Aku bertemu
dengan sejumlah guru senior yang pernah beberapa kali kami satu acara lomba
ataupun pelatihan sebelumnya. Sejatinya, nyaliku mulai ciut juga. Tapi
kuyakinkan diri bahwa aku juga bukan guru biasa, pede aja lagi, selangit! Aku
berhasil menjadi satu di antara 250 orang dengan total jumlah peserta 3.366
orang, menurutku itu sudah luar biasa. Peluang 1 : 3.366 berhasil kuraih!
Keesokan
harinya, tepat pukul 08.00 WIB, sesuai jadwal kami telah berada di kelompok
masing-masing untuk tampil menyajikan karya. Namun rupanya beberapa waktu
kemudian, masalah mulai muncul. Panitia menyatakan bahwa hanya 60 orang terbaik
yang akan presentasi, sisanya hanya menjadi pendengar, termasuk aku! Padahal
sebelumnya, melalui web dan pengumuman dinyatakan bahwa 250 orang tersebut
adalah pemenang dan akan menyajikan karya serta mendapat hadiah. Makanya aku,
termasuk sebagian besar peserta lain membawa alat peraga hasil inovasi
masing-masing untuk ditampilkan. Awalnya, acara berjalan hingga siang hari
dengan agenda mendengarkan 60 peserta saja. Hasilnya, pada sesi berikutnya
banyak peserta tidak hadir sebab tidak menjadi penyaji. Aku dan Pak Rubiman
tetap antusias, kami duduk di bagian depan. Menurutku, gagal menjadi penyaji
akan lebih buruk bila tidak mendapat tambahan ilmu dan pengalaman dari peserta
lain. Keanehan berikutnya yang kuketahui, ternyata beberapa peserta berhasil
lolos seleksi walaupun tanda bintangnya sedikit dan bahkan nol! Yah, begitulah,
rezeki tak bakalan tertukar, hiburku dalam hati. Sejak muncul komen di facebook
memang aku pun membalasnya bahwa meskipun nol tanda bintangnya jika lolos
pastilah karyanya terbilang luar biasa. Itu wajar kan?
Siang hari,
pukul 13.48 WIB, tak disangka ternyata Pak Anies Baswedan, Mendikbud datang
berkunjung. Saat masuk ke kelompok kami dan duduk di belakang, sejumlah peserta
menghampiri beliau untuk berfoto. Pak Rubiman pun tak mau ketinggalan momen
langka itu. Aku hanya sempat menengok ke belakang tapi tidak beranjak dari kursi.
Sejatinya akupun ingin berfoto dengan menteri hebat itu, tapi aku lebih memilih
mendengarkan presentasi Ibu Wahyu Ratnawati, guru SD Cemara Dua No. 13
Surakarta, Jawa Tengah.
Ternyata di
balik layar terjadi kasat kusut setelah kedatangan Pak Anies. Banyak peserta
yang menyampaikan keluhan dan protes tentang gagalnya sebagian besar peserta
untuk presentasi padahal mereka telah bersiap (terima kasihku untuk itu). Akhirnya
panitia menyampaikan bahwa semua peserta akan tampil dan kelompok dibagi
menjadi lima. Malam harinya setelah aku tampil, tiba-tiba Pak Dirjen Guru dan
Tenaga Kependidikan, Sumarna Surapranata, Ph.D. datang ke ruangan di kelompok
kami. Awalnya sih aku tak mengenal beliau apalagi baru beberapa bulan menjabat.
Setelah sekat-sekat ruang dibuka, peserta diminta untuk masuk dan sebagian
besar berdiri di bagian belakang dan pinggir ruangan. Pak Dirjen menyampaikan
bahwa semua guru yang datang di acara ini adalah pemenang. Setiap orang akan
menerima hadiah berupa laptop dan dana pembinaan. Tentu saja kami semua
kegirangan. Alhamdulillah. Hanya saja,
menurut beliau sementara ini laptop baru tersedia 90 buah sehingga peserta dari
luar Jawa yang didahulukan. Apabila peserta luar Jawa lebih dari 90 orang maka
pembagian laptop tersebut dilakukan dengan undian. Laptop bagi peserta lain
akan dikirimkan sekitar bulan Februari dan Maret langsung ke sekolah
masing-masing.
Saat itu, aku
yang tepat duduk di hadapan Pak Dirjen langsung ditunjuk beliau mendapat amanah
untuk menjadi ketua dan penanggung jawab pembagian laptop tersebut. Sejatinya
aku sangat terkejut dan tak menyangka sama sekali. Sempat pula Pak Dirjen
memperlihatkan alat peraga sederhana ciptaanku sebagai sebuah karya kreatif. Aku
diminta untuk mendaftarkan karya itu ke HAKI. Aku sempat besar kepala, manusiawi
kan? Malam itu, hati kami terutama guru dari luar Jawa sangat berbunga-bunga.
Peserta dari Jawa masih was-was dan berkali-kali memintaku untuk memperjelas
janji Pak Dirjen. Bahkan mereka mendesakku untuk meminta hitam di atas putih
atas janji tersebut. Aku memahami keraguan teman-teman tersebut, namun panitia
berhasil meyakinkan mereka bahwa janji Pak Dirjen adalah janji pejabat yang
tentu saja akan menjadi bumerang apabila tidak dipenuhi. Malam itu, kami
mengikuti acara presentasi hingga pukul 01.00, bahkan ada kelompok yang puluhan
menit lebih lama.
Keesokan
harinya, setelah sholat subuh, seperti yang diminta oleh panitia, usai sarapan kami
sudah berada di lobby hotel dengan pakaian batik untuk mengikuti acara di
Istora Senayan. Kami meninggalkan hotel sekira pukul 06.15 WIB dengan lima buah
bis besar. Setiba di Istora Senayan, kelompok kami, Simposium Guru (250 orang)
menuju pintu masuk yang masih berpagar rapat. Saat itu aku bertemu lagi
beberapa orang guru yang pernah bertemu di berbagai lomba sebelumnya. Mereka
bukan dari kelompok kami tetapi dari berbagai acara lainnya seperti Lomba
Inovasi Pembelajaran SMP, P4TK IPA, P4TK Bahasa, Guru Berprestasi, Lomba
Kreativitas Guru, dan lain-lain deh. Akhirnya kami harus masuk lewat pintu
utama yang ternyata mulai sesak. Nyaris setengah jam baru aku berhasil masuk ke
bagian belakang deretan kursi utama.
Acara inti
hari itu adalah pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan.
Selanjutnya para guru dari berbagai unsur disajikan materi dokumenter,
motivasi, dan hiburan berupa lagu dan tari. Pada bagian akhir acara, para guru
dibagi berdasarkan kelompok dan masing-masing mengikuti penyajian materi
terpilih di tempat terpisah. Kami dari kelompok Simposium Guru tetap berada di
ruang utama untuk menyaksikan 10 penyaji terbaik. Sayang sekali aku tidak
termasuk kategori dari kelompok ini. Selesai acara, kami berdesakan menuju
panggung utama untuk mengambil gambar. Aku dihampiri teman, Amirullah, M.Pd.
dari SMP Khusus Jeneponto. Diperlihatkannya padaku label bertulis Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan. Label itu bekas ditempelkan di kursi Pak Anies
Baswedan. Terus terang aku merasa kecolongan, biasanya aku yang agresif
mengumpulkan label seperti itu. Aku merasa kalah. Untuk pengobat hati, aku
ambil label kursi Dirjen Dikdasmen. Menjelang ashar, aku pun meninggalkan Istora
Senayan menuju bis.
Keesokan
harinya, pukul 06.00 WIB lewat beberapa menit bis kami telah meninggalkan hotel
menuju Istora Senayan. Hari itu kami tampil berbeda, baju putih dengan bawahan
hitam. Banyak teman yang berpakaian sangat parlente, sangat rapi. Aku cuma
menirukan gaya Pak Jusuf Kalla, kaki baju di luar dengan lengan baju digulung
di tengah hasta. Santai. Kami berdesakan masuk melalui pintu berbeda dengan
kemarin. Terpaksa kelompok kami harus mengalah dari guru berprestasi yang
memang kompak dan tertib. Akhirnya aku dan beberapa teman berhasil masuk ke
ruang utama Istora Senayan. Cukup lama kami berada di ruangan itu. Kami
menyempatkan diri mengabadikan momen itu termasuk ber-selfie ria. Namun
tiba-tiba, terdengar pengumuman bahwa semua guru yang sudah berada di dalam
gedung harus keluar dan memberikan waktu bagi Paspampres melakukan sterilisasi
untuk kedatangan presiden.
Aku tidak
menunggu pengumuman itu diulangi. Aku langsung keluar dan menuju pintu masuk
lalu mengambil posisi antri di bagian terdepan di dekat detector dan scanner
Paspampres. Kami menunggu sekitar 40 menit sebelum akhirnya antrian masuk satu
persatu melalui detector. Tentu saja
aku yang masuk paling dahulu. Aku bergegas menuju ruang utama dan mencari
posisi strategis di bagian tengah di belakang kursi kehormatan. Meskipun sudah
banyak guru yang mendahuluiku, namun aku mendapat posisi yang cukup bagus atas
pertolongan seorang ibu guru dari Palu (maaf namanya kulupa). Tak lama
berselang, Pak Anies Baswedan serta sejumlah menteri dan undangan kehormatan
lainnya mulai memasuki ruang utama.
Selang
beberapa puluh menit kemudian, Pak Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia
memasuki ruang utama Istora Senayan dan sekaligus tempat Peringatan Hari Guru
Nasional, 24 November 2015. Acara inti antara lain adalah pidato Mendikbud lalu
pemberian penghargaan bagi pemateri terpilih dan pemenang berbagai lomba ilmiah
guru (terus terang lagi, aku cemburu). Acara lainnya adalah pemberian tanda
kehormatan bidang pendidikan bagi perwakilan guru dan pidato oleh Presiden
Jokowi (aku semakin cemburu). Pada acara tersebut, panitia juga menghadirkan
sejumlah guru Pak Jokowi saat mengenyam pendidikan di SMP dan SMA. Usai
berpidato, Pak Jokowi menyalami satu persatu guru beliau sebelum berfoto
bersama dan kembali ke tempat duduknya. Uniknya, kursi yang diduduki oleh
presiden dan pejabat lainnya adalah kursi yang sama dengan kursi undangan khusus,
bukannya sofa mewah. Perbedaannya dengan kursi kami (undangan biasa) hanya
karena kursi mereka berbungkus kain putih seperti halnya di pesta pernikahan. Sementara
kursi kami tanpa pembungkus.
Seusai acara,
presiden menghampiri para undangan untuk berjabat tangan. Tentu saja terjadi
kerumunan yang padat, semua hendak berebut. Awalnya aku tidak tertarik untuk
ikut berjubel. Namun karena mengingat amanah dari sejumlah rekan guru dan siswa
SMA Negeri 3 Palopo yang berpesan untuk menyampaikan salam mereka bagi presiden,
akhirnya aku berdiri dan nekat juga, apalagi memang beliau menuju ke arah
tempatku duduk. Awalnya aku hanya hendak ber-selfie dari jauh dengan Pak Jokowi
namun dilarang oleh Paspampres. Akhirnya aku menunggu momen yang tepat dan
berhasil berjabat tangan dengan Pak Jokowi. “Kiriman salam dari Palopo, Pak!”
ujarku saat itu. “Oo… Palopo,” jawab Beliau. Entah apa maksudnya dengan jawaban
itu. Ah, aku tak mau ambil pusing, yang penting amanah sudah kupenuhi buat
sejawat guru dan siswaku. Beberapa detik kemudian aku menjauh memberi
kesempatan bagi yang lain. Lalu aku nekat, aku ber-selfie dengan Pak Jokowi di
belakangku. Wow…… berhasil!
Entah berapa
lama, Pak Jokowi pun berhasil keluar dari kerumunan lalu menghilang ke pintu
VVIP. Akhirnya aku dan banyak peserta lainnya menuju panggung untuk berfoto
bersama dan ber-selfie ria. Lalu di antara kerumunan orang, kudekatilah kursi
Presiden dan kursi Mendiknas yang tentu saja memang berdampingan. Tak lama
kemudian, tak sengaja aku bertemu dengan Pak Amirullah, M.Pd. di depan
panggung. Lalu secara diam-diam kuperlihatkanlah dua label istimewa berlogo
garuda yang kulekatkan di bagian dalam tasku. Ha… aku puas telah membalas
“dendamku” padanya! Aku tahu ia terdiam dengan senyum misterius. Kemenangan
telak bagiku. Maaf Pak Amirullah, agak lebay nih!
Hari itu dan
kemarin, aku sempat bertemu dan berfoto dengan keluarga besarku yang juga mengikuti
acara lomba. Aku bertemu dengan Tante Lia, Tante Evie, dan Adik Aan. Sayang sekali
aku tidak sempat bertemu dengan Om Kadir dan Om Sidin.
Singkat
cerita lagi, kami tiba di hotel saat matahari telah condong ke barat. Sore itu
aku dihubungi oleh panitia agar menyiapkan nama-nama penerima 90 buah laptop.
Terus terang aku sudah siapkan namun ada beberapa penyesuaian yaitu aku
mengutamakan rekan guru yang berasal dari provinsi atau pulau jauh. Namun
ternyata aku melakukan kekeliruan sebab dari 24 orang guru dari Sulawesi
Selatan, aku hanya menjatahkan 10 laptop dan itupun untuk guru yang jauh dari
Makassar dan Gowa. Walhasil, pada malam penyerahan laptop tersebut, sejumlah
teman guru dari Makassar, Gowa, Pangkep, Parepare, dan Soppeng mengajukan protes
kepadaku. Puluhan kali aku meminta maaf atas kesalahan yang kulakukan. Aku
terdesak dan tak menyangka akan jadi kacau begitu. Namun akhirnya diputuskan
bahwa laptop yang menjadi bagianku diserahkan ke F (maaf sengaja disingkat),
guru dari Soppeng yang memang ngotot. Malam itu, aku gelisah dan agak susah
tidur.
Namun
rupanya, benarlah bahwa rezeki tak pernah tertukar. Alloh telah menentukan dan
tak ada yang dapat mengubahnya. Keesokan harinya, hari terakhir, aku mendapat
telepon dari Pak Husni, guru dari Soppeng. Pak Husni menyampaikan bahwa F
meminta maaf atas kejadian semalam dan bermaksud untuk menyerahkan kembali
laptop itu kepadaku. Aku bertemu langsung dengan Pak Husni di lantai dua, dia
menjelaskan dengan lengkap mengapa F akhirnya mau menerima kenyataan bahwa ia
harus menunggu kiriman laptop bagiannya sendiri. Menjelang siang, aku menuju
kamar Pak Husni di lantai lima dengan pertolongan petugas hotel. Memang setiap
kartu kunci kamar hanya dapat dipakai di lantai sesuai posisi kamar setiap
penghuni. Jadi penghuni tidak bisa bebas menuju kamar di lantai lain. Di kamar
Pak Husni yang rupanya juga menjadi kamar F, aku mengambil laptop hadiahku
setelah mengobrol beberapa saat.
Hari itu, aku
menikmati makan siang terakhir lalu meninggalkan hotel menuju Bandara
Soekarno-Hatta. Namun karena salah mengambil metromini, aku tersesat ke
terminal Kampung Rambutan. Keadaan itu tak kusia-siakan, aku naik ojek menuju
Gang Mandor Hasan di mana dua orang adik kandungku dan keluarga menetap. Aku
berhasil menemui Adik Diah yang tentu saja sangat terkejut, namun gagal bertemu
Adik Sirun yang masih di kantor. Aku bertemu dengan beberapa anak mereka. Menjelang
pukul 15.00 WIB aku naik Gojek kembali ke terminal lalu naik Damri menuju
bandara.
Aku
senantiasa berucap syukur, alhamdulillah.
Tak lupa kuucapkan terima kasih buat seluruh pendukungku (he eh, kayak pilkada
saja). Juga beribu maaf dan berjuta terima kasih buat sejawat guru dari
Sulawesi Selatan yang belum saatnya menerima laptop secara langsung atas kebesaran
hati dan segala pengertiannya. Terima kasih but Pak Husni. Terima kasih banyak buat Pak Rubiman atas segala arahan dan saran serta pengalaman yang dibaginya. He-eh, terima kasih juga atas bajunya yang tertinggal, padahal sudah kuingatkan untuk periksa lemari pakaian saat masih di kamar hotel. Terima kasih buat semuanya, mari tetap semangat. (Jidint)
Mujahidin Agus, S.Pd.,M.Si.,M.Pd.
Guru geografi SMAN 3 Palopo