Friday, October 6, 2017

MENUMBUHKAN SCIENTIFIC THINKING SEJAK DINI


Pendidikan, menurut Ki Hajar Dewantara harus dirumuskan sebagai “daja-upaja untuk memadjukan bertumbuhnja budi pekerti (dalam Rohman, 2017). Pendidikan hendaknya membuat manusia memiliki budi pekerti luhur dan mengubah keadaan dari tidak tahu menjadi tahu serta dari tidak berdaya menjadi berdaya. Perubahan tersebut hanya dapat berlangsung melalui proses belajar. Proses belajar tidak hanya terjadi di lembaga formal dan untuk usia sekolah semata. Belajar sepatutnya berlangsung di mana saja dan oleh siapa pun sebab sejatinya manusia adalah makhluk pembelajar. Dari unsur waktu, belajar dimulai dari buaian hingga akhir hayat.
Akan tetapi, kemampuan belajar seseorang berubah seiring pertambahan usia sehingga kemajuan tingkat berpikir kanak-kanak berbeda dengan remaja dan dewasa. Menurut Colarusso (2011), usia Sekolah Dasar (SD) adalah masa keemasan anak (the Golden Age of Childhood) sebab mereka memiliki waktu yang panjang, kehidupan yang wajar (tidak banyak beban, pen.), pertumbuhan fisik, dan lompatan besar dalam perkembangan secara intelektual dan sosial.
Pemenuhan faktor belajar yang baik seperti kurikulum, guru, proses, dan sarana belajar seharusnya menjadi perhatian utama sektor pendidikan. Faktor-faktor tersebut tidak boleh terpisahkan dalam upaya pencapaian tujuan belajar. Proses pembelajaran menjadi salah satu faktor yang penting sebab menyangkut aktivitas anak dalam menimba ilmu dan keterampilan. Karena itu, sekolah wajib menyediakan proses belajar yang baik, yaitu setidaknya menarik dan efektif membelajarkan anak. Melalui proses belajar seorang anak dibentuk cara berpikir, bersikap, dan berperilaku serta ditingkatkan pengetahuan dan keterampilannya. Pembentukan cara berpikir sejak dini akan mewarnai seluruh proses belajar yang akan dijalani seseorang. Ketika dibiasakan untuk berpikir ilmiah dan bersikap kritis, anak akan memiliki kecakapan bertanya, analisis, dan pemecahan masalah. Hasil belajar itulah yang akan menjadi landasan bagi peningkatan kompetensi anak untuk menjawab tantangan hidup. Dengan demikian, tahap ini menjadi sangat krusial bagi pembentukan masa depan anak.

Potensi para pemikir ilmiah
Scientific thinking (berpikir ilmiah) adalah keterampilan dalam melibatkan diri pada proses inkuiri, eksperimen, analisis bukti, dan penarikan kesimpulan yang dilaksanakan sebagai upaya memahami suatu objek kajian (Zimmerman, 2007). Senada dengan itu, berpikir ilmiah menurut Larm dan Jaros (2017), meliputi kecakapan dalam mengamati, bertanya, memperkirakan, menguji ide-ide, pendokumentasian data, dan penyampaian pemikiran. Demikian pula Kundu (2015) menyatakan bahwa keterampilan berpikir ilmiah terdiri atas tahap mengamati, membandingkan, mengorganisasi, menduga, bereksperimen, mengevaluasi, dan menerapkan. Sementara Kuhn (2010) menyatakan tahapan berpikir ilmiah adalah inkuiri, analisis, kesimpulan, dan argumentasi.
Terdapat beberapa kesamaan unsur berpikir ilmiah pada beberapa pendapat tersebut. Proses inkuiri, eksperimen, analisis, dan kesimpulan merupakan proses belajar yang memungkinkan anak dapat memahami substansi materi ajar melalui kegiatan mandiri. Saat melakukan pengamatan, analisis, dan penyimpulan, anak sekaligus berlatih agar cakap dalam berpikir kritis dan bertindak ilmiah. Pada kegiatan eksperimen, anak dapat menyaksikan langsung suatu fenomena yang boleh jadi sulit diamati secara langsung di alam. Sebagai contoh, eksperimen letusan gunung berapi, pembentukan tornado atau proses kejadian geyser akan sangat menarik bahkan mungkin menakjubkan bagi anak. Kegiatan belajar yang aktif dan mengasyikkan memungkinkan anak dapat mengingat apa yang dipelajarinya dalam waktu lama.
Keterampilan berpikir ilmiah dapat menjadi landasan berpikir untuk diterapkan pada semua aspek kehidupan, termasuk sosial kemasyarakatan (Zimmerman, 2007). Keterampilan berpikir ilmiah dapat melahirkan beragam budi pekerti dan karakter luhur. Para pemikir ilmiah (scientific thinker) mampu berpikir jernih, cermat, dan komprehensif. Mereka dapat memikirkan hal-hal yang tampaknya sepele padahal mungkin sangat penting dalam pemecahan masalah. Para pemikir ilmiah mampu “melihat” apa yang tidak terlihat dan tidak penting bagi orang lain.
Para pemikir ilmiah fokus pada apa yang menjadi tujuan aktivitasnya. Segala permasalahan serta kendala akan diantisipasinya lebih dini. Pikiran mereka penuh dengan beragam pertanyaan lalu mencari jawaban dan menyimpulkannya dengan berbagai sudut pandang, sebelum menentukan langkah terbaik yang akan diterapkan. Mereka mampu menemukenali faktor-faktor kekuatan dan kelemahan serta peluang dan tantangan dari semua alternatif tindakan yang ada. Mereka selalu bersungguh-sungguh untuk memeroleh data akurat, tepat, dan sesuai kebutuhan. Pemikir ilmiah juga terobsesi untuk berpikir logis dan sedetail mungkin, bersikap bijak, adil, dan objektif serta memiliki komitmen dan integritas tinggi. Selanjutnya, menurut Paul dan Elder (2012) mereka mampu menerapkan beragam keterampilan tersebut baik dalam kehidupan pribadi maupun aktivitas profesionalnya. Mereka akan mengungkapkan pikiran sesuai kenyataan (jujur) dan serasi antara perkataan dan perbuatan.
Potensi dan keterampilan para pemikir ilmiah tentu saja sangat dibutuhkan dalam pembangunan nasional. Apalagi pemerintah menjadikan revolusi karakter bangsa melalui pendidikan sebagai salah satu nawacita. Negara sangat membutuhkan para pemikir ilmiah untuk membentuk karakter bangsa yang menumbuhkembangkan nilai-nilai patriotis dan cinta tanah air serta semangat bela negara dan berbudi pekerti yang luhur. Bila para pemikir ilmiah dengan integritas tinggi menjadi penggerak utama pemerintahan dan pembangunan maka Indonesia dapat menjadi negara maju dan terkemuka.  

Perlu reformasi pembelajaran di SD
Pada banyak sekolah dasar di Indonesia, proses pembelajaran masih jauh dari harapan, bahkan tidak sedikit yang sangat memprihatinkan. Masih banyak sekolah yang kondisi bangunannya pun sudah tidak layak, apatah lagi sarana belajarnya. Lantai masih berupa tanah, dinding papan sudah tidak utuh, atap bocor di sana sini, dan kekurangan alat belajar, buku, dan guru. Tentu saja keadaan itu tidak kondusif untuk belajar.
Pada banyak sekolah lainnya, dengan kondisi gedung dan fasilitas yang jauh lebih baik, permasalahan pembelajaran pun masih ditemukan. Secara umum, kondisi dan aktivitas belajar jauh panggang dari api. Betapa tidak, masih ditemukan proses pembelajaran yang kurang optimal, antara lain guru masih menjadi pemeran utama pembelajaran (teacher centered) dan anak didik hanya datang, duduk, diam, dan dengar apa yang disampaikan oleh guru. Bahkan mereka tidak memiliki keberanian untuk bertanya, apalagi berdiskusi. Selain itu, aktivitas anak lebih banyak belajar secara teoritis daripada aplikasi atau praktik.
Kondisi tersebut membuat anak menjadi terbiasa menurut dan mengiakan apa yang disampaikan oleh guru. Mereka tidak memiliki keberanian untuk meminta penjelasan lebih rinci, memprotes atau sekadar mengkonfirmasi ketidakpuasan. Sementara itu, tidak banyak guru yang memberikan ruang untuk menumbuhkan daya pikir ilmiah anak didiknya. Mereka lebih senang ketika anak duduk diam dan tidak membuat kegaduhan. Mereka lebih senang anak didiknya selalu belajar di kelas daripada sesekali beraktivitas dan bermain sambil belajar dari lingkungan.
Anak tidak memiliki peluang untuk menemukenali “keunikan” lingkungannya. Mereka tidak dilatih untuk mengamati dan mengidentifikasi substansi materi ajar yang melimpah di sekitarnya. Padahal guru dapat menerapkan pembelajaran yang memungkinkan anak belajar sambil bermain. Mereka dapat belajar tanpa harus kehilangan masa indah kanak-kanaknya. Misalnya, anak diajak ke lapangan atau kebun untuk menangkap serangga lalu mempelajari karakteristiknya. Dapat pula guru mengajak mereka menggali tanah dan mengamati jasad renik atau belajar tentang erosi dan kesuburan tanah di kebun sekolah. Atau mereka diajak mengamati kegiatan jual-beli di pasar tradisional atau kondisi sosial di sekitar rumah. Malah anak dapat belajar sambil bekerja, misalnya bercocok tanam secara hidroponik, membuat karya kerajinan dan mainan dari barang bekas atau mendaur ulang sampah kertas.
Pada aktivitas lain, anak dapat belajar melakukan eksperimen sains menggunakan bahan dan peralatan sederhana. Sebagai contoh, eksperimen magnet menggunakan baterai atau membuat baling-baling yang menggerakkan dinamo untuk menghasilkan listrik. Beragam contoh tersebut adalah bentuk sederhana proses belajar sambil bermain atau bekerja yang sejalan metode inkuiri. Anak dapat menemukan sendiri substansi materi ajar melalui pengamatan, praktikum, analisis, dan penarikan kesimpulan. Langkah-langkah tersebut menjadi dasar keterampilan berpikir ilmiah.
Aktivitas yang memberikan keasyikan bagi anak dalam belajar tentu menyediakan momen penumbuhan rasa ingin tahu dan semangat belajar yang tinggi. Mereka dilatih berpikir kritis dan memecahkan masalah serta disiplin dan bekerja sama. Bahkan sejatinya, mereka telah dilatih untuk berpikir secara mendalam dan menyeluruh namun tidak merasa terbebani seperti ketika belajar teori semata.
Pada tahapan lebih lanjut, anak dapat dilatih mengungkapkan ide, pikiran, dan pendapatnya melalui diskusi dan pembuatan laporan kegiatan. Keterampilan berdiskusi akan menumbuhkan rasa percaya diri, teguh dalam pendirian, dan saling menghargai.
Oleh sebab pada kenyataannya proses pembelajaran di SD secara umum belum sejalan dengan penumbuhan scientific thinking pada anak usia dini, maka  sepatutnyalah bila reformasi pembelajaran di SD menjadi keharusan. Dibutuhkan langkah nyata untuk melakukan perubahan besar dan harus mendapat dukungan penuh dari pemerintah dan pemerhati pendidikan.
Namun, masih ada faktor utama lain yang sangat menentukan keberhasilan reformasi pembelajaran, yaitu guru. Guru menjadi ujung tombak penumbuhan keterampilan berpikir ilmiah sebab merekalah yang mengendalikan proses belajar di kelas. Dengan demikian, sebelum reformasi pembelajaran dilakukan maka guru terlebih dahulu harus disiapkan. Guru hendaknya telah memiliki keterampilan berpikir ilmiah agar dapat menjadi teladan. Keteladanan menjadi penting sebab anak usia SD masih sangat labil. Jika lingkungannya menciptakan teladan yang baik maka anak akan terbentuk menjadi sosok yang baik pula.
  
Berbagai kendala
Penumbuhan keterampilan berpikir ilmiah sejak dini tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Banyak yang harus disiapkan dan membutuhkan kesungguhan. Walaupun demikian, langkah awal yang perlu ditempuh adalah menemukenali kendala dan cara mengatasinya. Kendala yang mungkin ditemui dalam menumbuhkan keterampilan berpikir ilmiah di SD, pertama kekurangan sarana belajar. Sarana belajar sangat penting dilengkapi untuk mendukung upaya penumbuhan keterampilan berpikir ilmiah. Anak didik dapat melakukan banyak aktivitas belajar bilamana sarana tersedia. Penggunaan alat belajar memungkinkan anak menguji dan membuktikan kebenaran suatu teori. Bahkan anak dapat dilatih kreativitas dan nalarnya melalui beragam percobaan ilmiah. Alat yang dimaksud bukan hanya yang canggih tetapi dapat pula berupa perlengkapan sederhana seperti ember, mangkuk, sekop, cangkul, gunting, sabit, tajak, dan juga barang bekas seperti botol, stoples, dan gelas plastik. Sementara bahan dapat berupa kertas, tanah, air, garam, cuka, susu, pewarna, dan sabun.
Kekurangan sarana belajar dapat ditangani dengan beragam cara. Misalnya, anak membawa sendiri alat dan bahan yang dibutuhkan dari rumah. Atau sekolah melengkapi kebutuhan belajar dengan membeli secara bertahap. Mungkin pula dilakukan pemberdayaan orang tua dan masyarakat melalui komite sekolah untuk pengadaan alat terutama yang mahal atau sulit diadakan.
Kedua, kelemahan penguasaan metode mengajar guru. Metode mengajar yang diterapkan guru sangat menentukan keberhasilan pembelajaran. Begitu pula dengan pengaruhnya terhadap pembentukan keterampilan anak, termasuk dalam berpikir ilmiah. Oleh sebab itu, maka guru hendaknya dapat menerapkan metode mengajar yang bersesuaian dengan penumbuhan keterampilan berpikir ilmiah, yaitu metode inkuiri. Metode ini tidak hanya diterapkan dalam pembelajaran sains, namun juga dapat diterapkan untuk pembelajaran sosial dan humaniora.
Akan tetapi masih banyak guru belum cakap dalam melaksanakan pembelajaran yang menumbuhkan keterampilan berpikir ilmiah anak. Mereka cenderung menjelaskan materi ajar dengan ceramah sepanjang waktu pembelajaran. Selain itu, variasi metode pembelajaran jarang dilakukan sehingga sulit menciptakan suasana belajar yang menyenangkan.
Kekurangan penguasaan metode mengajar guru dapat diatasi dengan menggiatkan mereka dalam berbagai pelatihan yang sesuai. Di samping itu, guru juga dapat belajar dari guru lain yang telah berhasil, misalnya melalui Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) dan kegiatan kolegial lain. Dapat pula dilaksanakan program pertukaran guru dengan mendesiminasikan praktik terbaik. Berbagai sumber belajar juga banyak tersedia di internet sehingga guru dapat meningkatkan kompetensi mengajarnya melalui usaha mandiri.
Terakhir, kurangnya daya kreasi dan inovasi guru. Pada dasarnya, guru yang memiliki cukup daya kreasi dan inovasi tidak banyak mengalah pada keadaan. Kekurangan alat belajar dapat dijadikannya sebagai tantangan untuk berkarya, bukannya berpangku tangan. Daya kreasi dan inovasi mendorong guru untuk memenuhi kebutuhannya dengan cara kreatif. Ketika kekurangan alat peraga dan alat praktikum, guru kreatif dapat mengatasinya dengan membuat alat rancangan sendiri.
Bilamana guru belum memiliki daya kreasi dan inovasi yang cukup maka masih ada cara lain yang dapat ditempuh. Mereka dapat membuat alat belajar dengan meniru karya guru lain, atau bila mungkin dapat memodifikasinya. Selain itu, guru juga dapat menerapkan beragam praktik sains sederhana untuk anak yang sangat banyak tersedia di internet.

Sejatinya, penumbuhan keterampilan berfikir ilmiah tidak hanya dapat dilakukan di sekolah dan oleh guru. Seharusnya keterampilan ini dimulai dan ditumbuhkan sejak di rumah, saat usia anak masih balita. Menurut Larm dan Jaros (2017), orang tua dapat menyediakan beragam peluang bagi anak untuk melakukan percobaan, penjelajahan, dan mengenali berbagai praktik dan permainan sains untuk membangun pondasi yang kuat bagi penerapan aktivitas sains di masa mendatang. Keterampilan berpikir ilmiah sangat penting untuk ditumbuhkan sebelum anak menjadi dewasa. Kemampuan tersebut akan mewarnai sikap, tindakan, dan perilakunya kelak.
Menciptakan pondasi yang kokoh melalui keterampilan berpikir ilmiah setidaknya secara formal harus dimulai sejak SD. Pendekatan pembelajaran yang mendukung upaya tersebut adalah scientific approach (pendekatan ilmiah). Dalam upaya menumbuhkan keterampilan berpikir ilmiah maka metode ataupun teknik pembelajaran yang bersesuaian adalah metode inkuiri. Metode ini memberikan kemerdekaan belajar secara substantif pada anak namun tetap dalam kendali dan bimbingan guru (dan orang tua). Jidint-05102017.

Sumber bacaan:
Colarusso, Calvin A. (2011). The Golden Age of Childhood: The Elementary School Years. www.child-adolescent-adult-development.info/the-golden-age-of-childhood.html (online). Diakses 21 September 2017.

Kuhn, Deanna (2010). What is Scientific Thinking and How Does it Develop? (online). https://www.tc.columbia.edu/faculty/dk100/faculty-profile/files/ 10_whatisscientificthinkingandhowdoesitdevelop.pdf. Diakses 10 September 2017.

Kundu, Subhash C. (2017). Scientific Thinking is Knowledge Seeking. https://www.researchgate.net/post/What_is_Scientific_thinking_and_how_it_formed (online). Diakses 21 September 2017.

Paul, Richard & Linda Elder (2012). The thinker’s guide to scientific thinking (3rd ed.). https://www.criticalthinking.org/store/get_file.php?inventories_id=170&inventories_files_id=382 (online). Diakses 10 September 2017.

Rohman, Saifur (2017). “Pendidikan Minus Karakter”. Kompas, Senin/18 September 2017.

Zimmerman, Corinne (2007). The development of scientific thinking skills in elementary and middle schools. http://www.cogsci.ucsd.edu/~deak/classes/EDS115/ ZimmermanSciThinkDR07.pdf (online). Diakses 10 September 2017.



Penulis:
MUJAHIDIN AGUS

Guru geografi SMAN 3 Palopo

No comments: